Archive for May, 2010|Monthly archive page

Usrah Bulanan – Jun 2010

Usrah bulanan MUAFAKAT akan diadakan seperti berikut:

Tarikh: 1 Jun 2010 (Selasa)

Tajuk: Dakwah Islamiyyah dan Agenda Ummah

Pembentang: Sdr. Presiden – Prof. Emeritus Datuk Osman Bakar

Tempat: Kediaman Sdr. Timbalan Presiden – Datuk Ahmad Ismail

Alamat: Lot 410-1 Jalan Changkat Mulia Off Jalan Berjaya 6, 68100 Batu Caves, Selangor (Klik untuk paparan peta yang lebih besar)

Interfaith Dialogue: ‘Kuda Troy’ dari Vatican?

Kertas ini adalah salah satu dari yang dibentangkan semasa Wacana Fahaman Pluralisme Agama dan Implikasinya Terhadap Masyarakat Islam:

Interfaith Dialogue: ‘Kuda Troy’ dari Vatican?

Dr Syamsuddin Arif

Banyak proyek yang telah dan sedang digarap atas nama ‘dialog antaragama’, namun sedikit mereka yang mengetahui asal muasal serta latarbelakangnya, dan lebih sedikit lagi yang memahami andaian dan tujuan sebenar yang terselip di balik pelbagai aktiviti dialog antaragama. Tulisan ini saya pecah menjadi dua bahagian: bahagian pertama mengulas sejarah dialog antaragama dan latarbelakangnya, manakala bahagian kedua menghurai pola hubungan antara Islam dengan agama lain –khususnya agama Kristen sebagaimana tercermin dalam sikap, perilaku dan karya tulis ulama Islam sepanjang sejarah sejak zaman dahulu hingga sekarang ini.

Dari Toleransi ke Dialog

Istilah ‘dialog antaragama’ adalah terjemahan dari interfaith atau interreligious dialogue yang pertama kali dicetuskan oleh Gereja Katholik selepas Konsili Vatikan II, dimana antara lain dibahas sikap Gereja terhadap agama-agama lain. Dalam sebuah dokumen rasmi berjudul Nostra Aetate (“Di Zaman Kita”) dinyatakan bahwasanya Gereja Katholik tidak mengingkari adanya kebenaran dan kesucian pada agama-agama selain Kristen (Ecclesia catholica nihil eorum, quae in his religionibus vera et sancta sunt, reicit), bahwasanya agama-agama lain tersebut adalah pantulan cahaya kebenaran yang menerangi seluruh umat manusia (haud raro referunt tamen radium illius Veritatis, quae illuminat omnes homines), namun tetap menegaskan pendiriannya bahwa Jesus Kristus ialah satu-satunya jalan [keselamatan], satu-satunya kebenaran, dan satu-satunya kehidupan (Annuntiat vero et annuntiare tenetur indesinenter Christum, qui est via et veritas et vita’ [Gospel Yohannes (John) 14.6] yang hanya dengannya manusia dapat hidup beragama secara utuh dan sempurna (in quo homines plenitudinem vitae religiosae inveniunt). Di sini tersirat ambivalensi Gereja: di satu sisi mengesankan perubahan sikap dari eksklusif menjadi inklusif, tetapi di sisi lain tetap meyakini bahwa keselamatan hanya bisa diraih oleh para pemeluk Kristen. Seperti kata St. Cyprianus: “Salus extra ecclesiam non est, tak ada keselamatan di luar gereja.”

Selanjutnya Gereja mengimbau kepada ‘anak-anaknya’ supaya mengadakan dialog dan kerja-sama dengan pemeluk agama lain secara hati-hati dan penuh cinta kasih dengan tetap menyatakan  keyakinan dan kehidupannya sebagai seorang Kristen demi memelihara dan meningkatkan kebaikan moral maupun spiritual yang terdapat pada agama-agama tersebut beserta nilai-nilai masyarakat dan budayanya (Filios suos igitur hortatur, ut cum prudentia et caritate per colloquia et collaborationem cum asseclis aliarum religionum, fidem et vitam christianam testantes, illa bona spiritualia et moralia necnon illos valores socio-culturales, quae apud eos inveniuntur, agnoscant, servent et promoveant). Dari sini juga jelas bahwa dialog dan kerjasama itu tidak boleh melunturkan apalagi menggugurkan keyakinan alias akidah yang sedia ada.

Dialog dengan kaum Yahudi dan Muslim konon bertujuan mengikis rasa permusuhan serta menumbuhkan sikap saling memahami (ad comprehensionem mutuam), saling memaklumi dan saling menghormati (mutuam utriusque cognitionem et aestimationem). Namun sekali lagi ditegaskan bahwa sikap bersahabat dan non-diskriminatif kepada semua bangsa (conversationem … inter gentes habentes bonam (1 Petrus 2,12) yang mengiringi dialog antaragama, selain dimaksudkan untuk hidup rukun damai dengan sesama (cum omnibus hominibus pacem habeant), pada hakikatnya dan akhirnya adalah upaya halus agar seluruh manusia menjadi ‘anak-anak Tuhan Bapak di Sorga’ (ita ut vere sint filii Patris qui in caelis est). Kesimpulannya, dialog antaragama merupakan pakej terbaru Kristenisasi yang dibungkus dalam misi perdamaian, kemanusiaan, dan persaudaraan.

Untuk tujuan tersebut Paus Paulus VI mendirikan Segretariato per i non-Cristiani pada 1964 yang pada 1988 ditukar namanya menjadi The Pontifical Council for Interreligious Dialogue (PCID). Sekretariat ini diberi tugas menyelenggarakan pelbagai forum antaragama, membentuk dan –kalau sudah ada- mendukung individu maupun organisasi atau lembaga yang mau bekerjasama dan aktif terlibat dalam kegiatan mereka. Melalui Dewan Gereja se-Dunia (The World Council of Churches) telah diadakan secara rutin dialog antaragama di berbagai belahan dunia. Sekretariat tersebut juga menerbitkan sebuah buku panduan, khususnya untuk ‘berdialog’ dengan kaum Muslim. Di tataran akademik telah diluncurkan pula jurnal ilmiah bernama Islamochristiana (terbitan Pontificio Istituto di Studi Arabi e d’Islamistica, Vatikan), jurnal Studies in Interreligious Dialogue (oleh The European Society for Intercultural Theology and Interreligious Studies bekerjasama dengan penerbit Peeters, Belgia), Bulletin of the Royal Society for Inter-Faith Studies, dan jurnal Islam and the Christian-Muslim Relations (terbitan Department of Theology and Religion, Universitas Birmingham, Inggris). Misi baru ini didukung oleh sejumlah tokoh akademik kelas dunia. Sebutlah diantaranya Karl Rahner yang membuat istilah anonymous Christian untuk orang-orang non-Kristen yang tidak menyadari bahwa dirinya Kristen. Profesor Hans Küng dari Universitas Tübingen yang mengetuai ‘Foundation for A Global Ethic’ menekankan pentingnya dialog antaragama karena perdamaian dunia mustahil tercapai, katanya, selagi konflik antar agama tidak diselesaikan. Sementara itu, Profesor John Hick dari Universitas Birmingham melontarkan gagasan Global Theology (satu teologi bagi semua pemeluk agama sedunia) sebagai konsekuensi dari dialog antaragama dan pluralisme agama.

Di Indonesia, gerakan dialog antaragama dimulai pada 1970-an. Pionirnya adalah A. Mukti Ali (Menteri Agama waktu itu) diiringi Ahmad Wahib, Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo dan Djohan Efendi. Kemudian pada 1990-an dialog antaragama digerakkan oleh beberapa tokoh Kristen semacam Th. Sumartana. Beberapa lembaga non-pemerintah lalu didirikan untuk menyebarluaskan gagasan inklusivisme dan pluralisme agama. Contohnya, Masyarakat Dialog Antar-agama (MADIA) yang dirintis oleh Budhy Munawar-Rachman, Bernardia Guhit, Trisno Sutanto, Retnowati, Kautsar Azhari Noer dan Komaruddin Hidayat. Adapula yang namanya DIAN –kependekan dari Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia (Interfidei) Yogyakarta yang sering menggelar pertemuan antar jejaring kelompok agama seperti di Malino dan Banjarmasin. Kemudian muncul pula Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) yang diresmikan oleh Gus Dur (ketika itu masih Presiden RI) dan dimotori oleh orang-orang semacam Djohan Effendi, Siti Musdah Mulia, dan lain-lainnya. Pada tahun 2000 berdiri pula Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) dimana salah satu mata kuliahnya adalah Inter-Religious Dialogue dengan ko-instruktur J.B. Banawiratma, Zainal Abidin Bagir dan Fatimah Husein. Pesan yang acapkali didengungkan adalah bagaimana merayakan perbedaan, mencari persamaan dan titik-temu untuk membangun kehidupan bersama yang aman, damai dan harmonis. Dalam praktiknya kemudian para penganjur dan peserta dialog antargama bisa melakukan ‘sembahyang bersama’ (common prayer) dan bahkan nikah dengan orang dari agama lain, sebagaimana kita saksikan dalam trilogi film dokumenter produksi CRCS berjudul ‘Uniting the divided’ (Menyatukan yang terbelah), ‘Inter-religious marriage’ (Menikahi agama), dan ‘I am a pious kid’ (Aku anak sholeh) yang diluncurkan pada 2007. Pembenaran atas praktik keliru ini disediakan oleh Nurcholish Madjid dan rekan-rekannya dalam buku Fiqih Lintas Agama.

Tipologi Hubungan Islam dengan Kristen

Apabila diteliti dengan saksama, hubungan Islam dan Kristen pada tataran intelektual maupun sosio-kultural serta ekonomi-politik terjadi dalam tiga pola. Pertama, pola polemis-apologetik; kedua, pola konflik-konfrontatif; dan ketiga, pola irenik-dialogis. Pola pertama, dari perkataan Yunani kuno ‘polemikos’, artinya suka berlawan atau bermusuhan, dan apologetik (juga dari bahasa Yunani kuno ‘apo’ dan ‘legô’, bicara menjauhi persoalan untuk membela diri, ditandai dengan perang keyakinan, dimana masing-masing pihak berusaha menjatuhkan pihak lain. Pola kedua berupa aksi militer dan pertempuran fisik. Adapun pola ketiga menunjukkan toleransi penuh, hidup bersama dengan rukun dan damai (peaceful coexistence) bersama umat agama lain sebagaimana dipraktikkan selama berabad-abad sejak zaman Rasulullah di Madinah dan generasi sesudahnya.

Polemik Cendekiawan

Pola polemik-apologetik kita temukan akar-akarnya di dalam kitab suci al-Qur’an. Terdapat cukup banyak ayat-ayat al-Qur’an mengkritik dan mengecam akidah orang Kristen yang hakikatnya adalah koreksi langsung dari Allah SWT. Namun sayangnya, bagi mereka yang kafir kepada Nabi Muhammad SAW, semua teguran dan koreksi tersebut dianggap sekadar opini pribadi beliau. Hal ini tidak mengejutkan, mengingat sejak awal pun mereka sudah mengingkari kenabian dan kerasulan beliau, sehingga kitab suci al-Qur’an mereka pikir cuma karangan Nabi Muhammad SAW–argumen tipikal orang kafir sebagaimana disitir dalam surah al-Muddatstsir ayat 25: “Ini kan cuma perkataan manusia” (in hadza illa qawlu ’l-basyar). Rasulullah SAW juga dilarang berkompromi dalam perkara akidah maupun ibadah, sebagaimana ditegaskan dalam surah al-Kafirun: “Katakanlah: Wahai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak menyembah apa yang kusembah. Dan aku bukan penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah apa yang kusembah. Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.” Ayat-ayat suci ini tidak menyuruh perang dan tidak pula menganjurkan permusuhan. Apa yang diperintahkan di sini adalah orang Islam mesti bersikap tegas dan kukuh dengan keyakinan dan kebenaran agamanya.

Sudah barang tentu polemik tersebut berlangsung cukup seru. Dari pihak Kristen terkenal Yahya ad-Dimasyqi alias Johannes Damascenus (hidup sekitar 655-750 Masehi) yang pertama kali menulis karya berjudul Peri Haireseôn. Dituduhnya agama Islam itu sesat dan menyeleweng karena mengajarkan fatalisme dan bermacam-macam tuduhan lain. Upayanya itu diteruskan oleh generasi berikutnya. Kaisar Byzantium Leo III konon pernah mengirim surat polemik kepada Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz di Damaskus. Sementara itu Theodore Abu Qurrah (w. 820), ‘Abd al-Masih al-Kindi (fl. 830), dan ‘Ammar al-Basri (fl. 850) pun aktif membuat tulisan-tulisan polemik-apologetik sebagai pembelaan terhadap doktrin-doktrin Kristen. Di abad kesepuluh, Yahya ibn ‘Adi (w. 974) membuat karya serupa dalam bahasa Arab untuk menangkis serangan al-Kindi. Selanjutnya Petrus Venerabilis (w. 1156), Ricoldo de Monte Croce (w. 1320), Nicolaus Cusanus (w. 1464) dan Martin Luther (w. 1546) bertungkus-lumus mencipta imej buruk mengenai Islam dan Nabi Muhammad SAW dalam karya tulis mereka. Di zaman modern muncul intelektual semacam Voltaire (w. 1778) dan orientalis-misionaris seperti Aloys Sprenger (1893), William Muir (w. 1905) dan rekan-rekannya yang melakukan pelecehan serupa. Mereka gambarkan Nabi Muhammad itu seolah-olah ‘sakit jiwa’, ‘penganjur sektarianisme’, ‘padri pembelot’, ‘pengobar peperangan’, ‘penggemar wanita’ dan sebagainya.

Sementara dari pihak Islam dikenal sejumlah tokoh-tokoh ulama dan cendekiawan yang aktif dalam polemik dan meninggalkan karya tulis. Menurut catatan Ibn an-Nadim dalam kitab al-Fihrist, hampir semua ‘pentolan’ Mu‘tazilah pernah menulis karya polemik terhadap Kristen, mulai dari Abu ’l-Hudzayl al-‘Allaf dan al-Jahizh hingga al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar. Ulama Syi‘ah pun tak ketinggalan. Tokoh Syi‘ah Zaydiyyah di Yaman bernama al-Qasim ibn Ibrahim al-Hasani al-Rassi (w. 246/899) dikenal dengan kitabnya ar-Radd ‘ala n-Nashara. Bahkan cendekiawan liberal seperti al-Warraq pun menyerang doktrin-doktrin Kristen. Dari kalangan Ahlus Sunnah tercatat nama-nama Ibn Sahnun (w. 256/870) yang menulis kitab al-Hujjah ‘ala n-Nashara, Abu l-Qasim al-Balkhi (w. 319/931) yang mengulas ajaran Kristen secara kritis dalam kitabnya: Awa’il al-Adillah. Di abad sesudahnya ada Imam al-Juwayni (w. 478/1085) yang menulis kitab Syifa’ al-‘Alil fi r-Radd ‘ala man baddal at-Tawrat wa al-Injil dan murid beliau Imam al-Ghazali (w. 505/1111) dengan kitabnya yang berjudul ar-Radd al-Jamil li Ilahiyyati ‘Isa bi-sharih al-Injil.

Karya-karya polemik terus bermunculan, seperti ditunjukkan Imam Fakhruddin ar-Razi (w. 606/1209) dalam Munazharah fi r-Radd ‘ala l-Yahud wa n-Nashara. Disamping beliau, ada dua lagi tokoh penting yang juga aktif berpolemik di abad ke-7 hijriah ini. Mereka adalah Najmuddin az-Zahidi (658/1260), penulis ar-Risalah an-Nashiriyyah, dan Syihabuddin al-Qarafi (w. 684/1285) yang menulis al-Ajwibat al-Fakhirah ‘an al-As’ilat al-Fajirah. Abad berikutnya menyaksikan Ibn Taymiyyah (w. 728/1328) dengan kitabnya yang berjudul al-Jawab as-Shahih li-man baddala Din al-Masih, disambung murid setia beliau, Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 751/1350) dengan risalahnya, Hidayat al-Hayara fi Ajwibat al-Yahud wa an-Nashara. Generasi sesudahnya pun tak kalah hebat. Abdullah at-Tarjuman (ca. 823/1420) menulis Tuhfat al-Arib fi r-Radd ‘ala Ahli s-Shalib, manakala Abu’l-Fadhl al-Maliki as-Su‘udi (ca. 942/1535) menerbitkan al-Muntakhab al-Jalil min Takhjil man harrafa al-Injil. Perlu diingat bahwa abad ini adalah permulaan apa yang kemudian disebut sebagai Zaman Modern, dimana orang-orang Eropa (Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda) mulai berlayar keluar ke Asia, Afrika, dan Amerika dengan tujuan mencari mangsa. Di antara karya-karya polemik yang ditulis di zaman modern adalah kitab Izhar al-Haqq oleh Syaikh Rahmatullah (w. 1310/1891) dari India, kitab Muhadharah fi an-Nashraniyyah oleh Syaikh Muhammad Abu Zahrah (w. 1393/ 1973) dari Mesir, dan The Choice oleh Ahmed Deedat (w. 1426/2005).

Pertempuran dan Perang

Pola kedua adalah hubungan konfrontasi fisik dan konflik bersenjata. Sejarah mencatat hal ini adakalanya sukar dielakkan. Musuh-musuh agama ada pada setiap zaman, aktif bergentayangan dan patah tumbuh hilang berganti. Serangkaian Perang Salib yang berlangsung sejak abad ke-11 hingga abad ke-13 Masehi, pembantaian massal dan pengusiran orang Islam secara besar-besaran dari Andalusia (jazirah Iberia yang sekarang menjadi Portugis dan Spanyol) serta kolonisasi negeri-negeri Islam di seluruh dunia (Timur Tengah, Asia dan Afrika), semuanya adalah fakta keras yang menunjukkan bahwa konfrontasi fisik dengan para kolonialis-imperialis dan misionaris memang tak dapat dihindari. Pada bulan Maret tahun 1095 Kaisar Alexius I minta bantuan Sidang Gereja untuk menghadang pergerakan tentara Turki Usmani yang berhasil menguasai Anatolia dan berencana merebut Konstantinopel. Paus Urbanus II menulis surat kepada raja-raja Eropa supaya mengirim tentara dan sukarelawan perang dengan iming-iming sorga dan penghapusan dosa. Sekitar 40,000 orang berkumpul di Konstantinopel untuk memulai perjalanan panjang melawan pasukan Turki dan merebut Jerusalem dari tangan orang Islam. Setelah berhasil mengusai Antioch, Syria, tentara salib bergerak menuju Jerusalem. Tanpa perlawanan yang berarti, Baitulmuqaddis jatuh ke tangan mereka pada hari Jum’at, 5 Juli 1099. Ribuan orang Islam dan Yahudi dibantai. Kaum Muslim tidak serta merta menyerang Jerusalem, akan tetapi mengadakan perjanjian damai yang ditandatangani oleh Shalahudin al-Ayyubi dan Raja Baldwin IV, penguasa Jerusalem waktu itu. Peperangan baru meletus akibat ulah Reynald Chatillon, seorang pembesar Perancis yang sangat membenci Islam dan sengaja menyerang kafilah-kafilah Islam semasa perjanjian damai. Terjadilah Perang Hittin dan Acre yang dimenangkan oleh pasukan Islam. Wilayah Palestina dari Gaza hingga Jubayl berhasil dikuasai pada awal September 1187. Sebulan kemudian, tepatnya pada hari Juma‘t, 2 Oktober 1187, Sultan Shalahudin membebaskan Jerusalem dari tentara salib.

Jika hubungan antara Umat Islam dan penganut Kristen terlihat banyak diwarnai ketegangan dan konflik maka hal itu dikarenakan beberapa perkara. Pertama, agama Islam dan Kristen sama-sama berwatak misionaris-ekspansionis, dalam arti menghendaki pemeluknya supaya berdakwah kepada orang lain sehingga benturan kepentingan acapkali terjadi. Kedua, perang salib (crusades) selama beberapa abad meninggalkan seribu satu kesan yang sulit dilupakan. Ketiga, penjajahan dan penjarahan terhadap negeri-negeri orang Islam oleh bangsa-bangsa Kristen Eropa juga masih segar dalam ingatan. Lantas pada tataran intelektual-akademik, perang pemikiran semakin gencar dimainkan oleh para orientalis. Nah, semua faktor ini punya andil besar merusak keharmonisan hubungan Islam-Kristen. Bahwa kedatangan bangsa-bangsa Eropa bukan sekadar untuk berdagang, akan tetapi bertujuan menjajah, menjarah dan menyiarkan agama Kristen (proselytizing) adalah fakta yang mustahil dibantah. Orang Inggris memasukkan Kristen ke negeri-negeri jajahan mereka (India, Afrika, dan kepulauan Melanesia, sebagaimana orang Spanyol mengkristenkan orang-orang Moro di kepulauan Philippines dan orang Belanda membaptis orang-orang di Jawa, Sumatra dan lain-lain. Siapakah yang mendirikan gereja di Jepang dan Cina kalau bukan orang-orang Eropa?

Sikap Toleran dan Menghargai

Adapun corak ketiga dari hubungan orang Islam dengan orang bukan Islam adalah toleransi penuh, hidup bersama dengan rukun dan damai (peaceful coexistence) bersama umat agama lain sebagaimana dipraktikkan selama berabad-abad sejak zaman Rasulullah di Madinah, di Baghdad dan di Andalusia serta negeri-negeri lain. Dalam konteks ini menarik kita simak kesimpulan Bernard Lewis, pakar sejarah dari Universitas Princeton:

“In considering the long record of Muslim rule over non-Muslims, a key question is that of perception and attitudes. How did Muslims view their dhimmi subjects? … One important point should be made right away. There is little sign of any deep-rooted emotional hostility directed against Jews-or for that matter any other group-such as the anti-Semitism of the Christian world. … On the whole, in contrast to Christian anti-Semitism, the Muslim attitude toward non-Muslims is one not of hate or fear or envy but simply contempt [for those who had been given the opportunity to accept the truth and who willfully chose to persist in their disbelief]”.

Jadi, kaum Yahudi sendiri mengakui bahwa berabad-abad lamanya mereka hidup di bawah naungan orang Islam dalam keadaan selamat dan aman, sehingga mereka pun berpeluang membuat karya-karya yang menyumbang bagi kegemilangan tamadun Islam. Umat Islam tidak menunjukkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap kaum Yahudi atas dasar etnik atau rasnya. Kaum Yahudi tidak ditindas, tidak diteror dan tidak dirampas hak-haknya sebagai manusia. Mereka diberikan hak untuk hidup sesuai dengan ajaran agama dan bidang profesinya. Mereka hanya dikecam lantaran menolak kebenaran dan lebih memilih kafir daripada masuk Islam meski mereka sudah diberikan penjelasan dan kesempatan untuk itu. Beda halnya dengan pengalaman mereka hidup di bawah pemerintahan raja-raja Kristen di Eropa, dimana mereka dipandang dan diperlakukan dengan sangat buruk bahkan dihalau dari England pada tahun 1290, dari Perancis pada tahun 1391, dari Austria pada tahun 1421, kemudian dari Spanyol dan Portugis pada tahun 1492. Di Russia dan sekitarnya kaum Yahudi sejak 1881 secara rutin menjadi mangsa kerusuhan alias pogrom, yang mencapai klimaksnya pada zaman Nazi Jerman di abad keduapuluh.

Pendekatan Dialog

Pola lainnya adalah dialog. Pola ini sebenarnya terbilang baru, sebab tak satu ayat pun kita temukan dalam kitab suci al-Qur’an yang menganjurkan dialog. Sebagaimana telah diuraikan di atas, istilah dan gagasan dialog antar agama dicetuskan oleh Gereja Kristen karena dan untuk tujuan tertentu. Inilah sebabnya mengapa tokoh-tokoh Muslim kontemporer berselisih pendapat dalam soal ini. Mereka yang setuju dan melibatkan diri dalam dialog antaragama antara lain alm. Profesor Isma‘il Raji al-Faruqi dan Profesor Mahmoud Ayoub, manakala almarhum Profesor Fazlur Rahman dan Profesor Naquib al-Attas termasuk yang tidak merestui dialog semacam itu. Mereka yang pro dialog kerap mengutarakan alasan berikut: dialog bertujuan mengenyahkan salah paham, prejudices, dan kebencian antara satu sama lain; dialog adalah upaya menjalin tali persahabatan dengan pemeluk agama lain, mengendurkan ketegangan, mendorong kerjasama, saling hormat dan saling mengerti. Semua ini penting dilakukan terutama oleh kaum Muslim yang hidup di negara-negara Barat sebagai kelompok minoritas agar tidak dibenci, dimusuhi, dan ditindas. Adapun mereka yang kontra dialog melihat aktivis dialog antaragama umumnya tidak menyadari bahwa dialog semacam itu secara halus menggiring mereka kepada confusion, kompromisme, sinkretisme, relativisme dan pluralisme agama, sehingga terbentanglah jalan bagi pemurtadan (proselytization). Padahal, tokoh-tokoh Kristen sendiri ada yang menentang dialog antaragama karena alasan sederhana: andaikata semua agama itu benar, maka Gereja Vatikan sudah lama bubar!

Maka penting digarisbawahi bahwa dialog antaragama mengandung beberapa andaian dan harapan. Pertama, setiap peserta dikehendaki menganggap semua partisipan sama statusnya. Kedua, peserta dialog sejak awal beranggapan bahwa keyakinan agama lain belum tentu salah. Dengan kata lain, partisipan sadar atau tanpa sadar disuntikkan paham relativisme, bahwa semua agama boleh jadi benar. Ketiga, peserta dialog biasanya dimohon mengetepikan masalah-masalah pokok yang menjadi titik-sengketa, seraya mengedepankan masalah remeh-temeh yang mereka anggap sebagai titik-temu agama-agama. Apa yang ingin dicapai dari dialog? Selesai dialog diharapkan para peserta tidak hanya saling memahami tetapi juga ‘saling mengakui’ dan mau meyakini kebenaran agama lain! Bagi orang Islam yang menyertai dialog semacam ini diharapkan supaya membuang jauh-jauh keyakinan kepada Islam sebagai satu-satunya agama yang benar. Pendek kata, dialog antar agama pada intinya akan menguntungkan misi Gereja untuk mengkristenkan dunia.

Kesimpulan

Fakta sejarah maupun bukti tekstual menunjukkan bahwa yang dilakukan Umat Islam sejak abad pertama Hijriah adalah satu dari atau kombinasi strategi-strategi berikut ini: (i) dakwah secara bijak, rasional dan persuasif (da‘wah bil hikmah wal maw‘izhah al-hasanah), yakni mengajak orang-orang Kristen untuk masuk Islam, karena mereka yakin bahwa Islamlah agama yang benar. Berbeda dengan ‘dialog’ yang menganggap semua agama sama benarnya, ‘dakwah’ berangkat dari kesadaran penuh dan keyakinan keukeuh sang juru dakwah bahwa agama selain Islam itu keliru dan sesat. Dakwah tidak bertolak dari relativisme atau pluralisme agama. Strategi kedua (ii) adalah debat secara santun dan tegas (jidal billati hiya ahsan), yakni menjawab argumentasi orang Kristen dalam berbagai forum dan media, menyanggah mereka dengan hujah-hujah yang logis rasional, secara lisan maupun tulisan. Jalan terakhir (iii) adalah aksi militer alias perang, apabila semua jalan tersebut di atas ditutup atau disekat, sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Adapun dialog antaragama seperti yang digagas dan dipraktikkan oleh kalangan tertentu belakangan ini tak lain dan tak bukan bertujuan menggeser posisi keyakinan kita supaya lebih atau makin dekat lagi kepada kekufuran. Apabila kita sudah mengakui dan meyakini bahwa agama-agama itu sama benar dan sama intinya, maka kemurtadan hanya tinggal selangkah. Wa min dzālika na‘ūdzu billāh!

Tren Keruhaniyan Di Malaysia: Kebenaran, Khurafat Dan Penyelewengan ‘Aqidah

[Untuk kemudahan cetakan klik versi pdf ini: Tren Keruhaniyan Di Malaysia-pdf]

Tren Keruhaniyan Di Malaysia: Kebenaran, Khurafat Dan Penyelewengan ‘Aqidah

Dan katakanlah: Ya Tuhanku, masukkanlah saya ( dengan ) masuk yang benar dan keluarkanlah  ( pula ) saya ( dengan ) cara keluar yang benar dan berikanlah kepada saya dari sisi Tuanhamba kekuasaan yang menolong. Al-Isra’:80.

Sesungguhnya iman di dalam  hatimu akan usang sebagimana pakaian, maka mintalah kepada Allah agar ( Dia ) memperbaharui iman di dalam hatimu. HR al-Hakim; al-Thabaraniy.

Muqaddimah

Al-Qur`an amat menekankan peri pentingnya kebersihan ruhaniyy. ( al-Baqarah:129; al-Baqarah:151; an-Nazi‘at:18; asy-Syams:9-10 ). Ia merupakan salah satu pilar utama dalam Islam dan neraca kehidupan dalam menentukan untung nasib seseorang disisi Allah SwT. Namun, dalam melayari kehidupan ruhaniyyah kadang-kadang terdapat beberapa penyelewengan yang boleh membawa kepada kesalahan ruhaniyy dan kerusakan ‘Aqidah.

Dasar Ruhaniyy Islam

Madrasah ruhaniyyah dalam Islam ialah institusi ta’lim, tarbiyyah dan yang berkaitan dengannya. Ia  berpaksikan dan  berpegang teguh pada al-Qur`an dan al-Sunnah dan menjadikan Nabiyy s‘aw sebagai uswah dan qudwah dalam setiap sa‘at kehidupannya. Rindu dan cinta kepada Allah SwT  dijadikan wasilah untuk ma‘rifah dan wusul kepada-Nya. Dasar ini akan menzahirkan mujahadah yang  sungguh-sungguh. Untuk tujuan tersebut, para pencinta Allah itu, akan menjadikan setiap ruang dan kesempatan sebagai mihrab untuk bermunajat kepada-Nya, tidak pernah berhenti menyebut-Nya, tidak pernah penat menyembah-Nya demi untuk bertaqarrub kepada-Nya kerana cinta dan untuk mendapat ridha-Nya. Mereka bekerja keras membebaskan ruh mereka dari penjara ghaflah dan waham dan merdeka yang sebenar-benarnya. Justeru, mereka  amat tekun mencari ‘ilmu yang benar lagi haqiqi, mengamalkannya dengan tekun, kemudian merealisasikannya dalam setiap rongga kehidupan sehingga terjadilah paduan antara ‘ilmu, ‘amal dan haqiqat. Mereka adalah individu-individu yang paling aktif dan dinamis dan merupakan pemikir besar Ummat.

Antara dasar utama madrasah ruhaniyyah  ini ialah ‘ilmu. ‘Ilmu yang dipelajari dan dipegang ialah dari al-Qur`an dan al-Sunnah. Para pembina dan pembimbing kumpulan ini pada peringkat awal,  adalah murid-murid kepada Sahabat-Sahabat Nabiy s‘aw. Mereka benar-benar menekuni al-Qur`an bukan sahaja dalam bidang ‘ilmu qira`ah dan hukum-hakam, tetapi amat mahir dan piawai dalam memahami makna zahir dan batin al-Qur`an dan segala ‘ilmu yang berkaitan dengannya. Demikian juga mereka amat menguasai  ‘ilmu yang berkaitan dengan al-Sunnah, yang bukan sahaja dapat membuat istinbat hukum daripadanya tetapi juga dapat memahami isyarat-isyarat yang terdapat di dalamnya. Kefahaman ‘ilmu yang mereka dapati itu adalah dari susur galur yang sah dari Nabiy s‘aw yang kemudiannya  dihurai dan diajar oleh ‘Ulama Ahli Sunnah wa al-Jama‘ah. Jadi, wajah keruhaniyan mereka ialah wajah keruhaniyan yang ada dalam al-Qur`an dan sebagaimana yang ajar, dihurai dan diteladani oleh Rasululllah s‘aw dalam hidupnya.

Tokoh-tokoh selepas Sahabah r ‘aa yang menjadi rujukan sepanjang zaman antaranya ialah Hasan al-Basri, Muhasibi, Tustariy, Junayd, Sarraj, Qusyairiy dll dan tokoh-tokoh terkemudian seperti Abu Tolib al-Makki, al-Ghazzaliy dll, dan kemudiannya lagi seperti al- Mursi, al-Sakandariy dan kemudiannya lagi seperti Dawud al-Fatoniy, ‘Abdul Somad al-Falimbaniy dll. Mereka ini, dengan  ‘ilmu yang dalam dan padu, berjaya menggempur kesesatan-kesesatan falsafah dan ajaran sesat yang lain, yang menyusup masuk ke dalam ajaran keruhaniyan Islam. Kata al-Sarraj rh ( w 378 H ): tidak ada ‘ilmu dan kefahaman melainkan semuanya tecatat dalam Kitab Allah ‘Azza wa Jalla atau bersumberkan Hadith-Hadith RasululLah s‘aw.

Kesimpulannya, dari aspek ‘ilmu, mereka memiliki berpuluh-puluh jenis ‘ilmu dan menguasainya dengan mendalam lagi benar,  baik ‘ilmu yang bersifat zahir mahupun ‘ilmu yang bersifat ruhaniyy-batin.

Selain dari  ‘ilmu, dasar  mereka yang lain adalah ber‘amal. Mereka amat mementingkan ‘amal zahir dan batin dan tidak menangguh-nangguhkannya kerana mereka sedar bahawa ‘amalan itu merupakan salah satu ajaran asasi ruhaniyyah  Islam. Mereka ber‘amal secara intensif dan mendalam dengan memelihara segala adab-adabnya dan segala keutamaan-keutamaannya. Hidup mereka adalah di dalam lingkungan hukum yang lima dan juga hukum keutamaan seperti yang diajar oleh Fuqaha’ ASWJ. Mereka tidak membezakan satu keutamaan di atas keutamaan yang lain. Aktiviti ‘amalan dan keruhaniyan,  semuanya   berdasarkan qaedah yang Syar‘i  seperti yang dihurai oleh ‘Ulama ASWJ. ‘Amalan mereka adalah berdasarkan ‘ilmu, tidak seperti sesetengah golongan,  ber‘amal tanpa ‘ilmu!. Mereka  mementingkan Syari‘at dan haqiqat, ‘amal zahir dan ‘amal batin, dakwah dan jihad dan sebagainya. Dalamnya tidak ada khurafat, bid‘ah dan percanggahan dengan perjalanan Sunnah dan Salaf al-Solih.

Perhatian dizaman kita sekarang kebanyakan pendukung keruhaniyan tidak mementingkan ‘ilmu dan ‘amal. Mereka tersilap dalam memahami ajaran para  Syaikh-Syaikh muhaqqiqin mengenai ‘ilmu.

Tren Keruhaniyyan

Terdapat berbagai-bagai tren keruhaniyan sepanjang sejarah Islam – dari yang paling simpel kepada yang paling kompleks, dari yang penuh dengan khurafat hingga kepada tergelincir ‘Aqidah. Tren-tren itu  antaranya ialah keruhaniyan jenis Jabariyyah, keruhaniyan yang menolak Syari‘at, keruhaniyan bersifat Murji`ah, keruhaniyan yang mementingkan falsafah semata-mata, keruhaniyan transendental, keruhaniyan Hikmah Abadi, keruhaniyan ASWJ dsb. Ada  juga beberapa tren zaman sekarang yang tidak terdapat dizaman klasik. Di Malaysia antara yang biasa terdengar ialah Ajaran Hasan Anak Rimau, Ahmad Laksamana, Ayah Pin, Aurat Muhammadiyah dan yang baru mula nak berkembang ialah Aurat Isma‘iliyyah, Pluralisme mazhab religious equality dll, yang semuanya di hukum sesat. Namun terdapat beberapa ajaran yang benar yang terdiri dari tariqah-tariqah yang mempunyai susur-galur yang muktabar.

Penyelewengan ‘Aqidah

Para peminat keruhaniyan perlu sedar bahawa kedudukan keruhaniyan amat berkait rapat dengan ‘Aqidah. ( al-Muddaththit:3-4 ).  ‘Aqidah  merupakan tunggak terpenting dalam proses membentuk kejernihan ruhaniyy.  Dalam sejarah Islam, terdapat berbagai-bagai huraian mengenai ‘Aqidah-Tawhid dari berbagai-bagai aliran. Dari semua aliran ini,  hanyasanya huraian dari aliran Ahli Sunnah wa al-Jama‘ah ( ASWJ ) sahaja yang diterima ( lihat kertas Usrah MUAFAKAT yang terdahulu ). Antara beberapa penyelewengan ‘Aqidah dikalangan peminat-pengamal keruhaniyan ialah:

  1. Orang yang asalnya bukan Islam, kemudian masuk Islam dan ibu-bapa mereka masih kekal dalam ugama asal mereka, dan mereka ini mati dalam keadaan bukan Islam, maka Allah akan ampunkan dosa mereka. Keyakinan ini bercanggah dengan ayat al-Qur’an yang Allah tidak ampun dosa syirik ( al-Nisa’: 48 ). Kumpulan ini tidak diperkenal ‘Aqidah-Tawhid yang sohih kerana syaikh mereka tidak memiliki ‘ilmu tersebut. Syaikh kumpulan ini hanya bercerita kepada ahlinya  mengenai kehidupan Syaikh-syaikh mereka yang terdahulu.
  2. Mereka diajar mempercayai sepenuhnya syaikh mereka dan tidak perlu bersusah payah beramal, kerana syaikh akan menyelamatkan mereka, baik di dalam  ‘alam qubur atau di Mahsyar nanti. Allah perintah beramal – aamanuu wa ‘amilu ’s-soolihaat; i‘maluw dsb.
  3. Sesiapa yang mengasingkan diri selama 40 hari di Adam’s Peak, Sri Lanka, dengan bacaan tertentu akan diampunkan dosanya.  Tiada nass menyokong hal itu. Berdasarkan nass, tempat paling mulia ialah Haramayn.
  4. Syaikh mereka akan hidup kembali untuk menjadi imam solat janazah Imam al-Mahdi di al-Quds. Ini bertentangan ijma‘. Tidak sesiapa akan hidup melainkan di Mahsyar.
  5. Syaikh mereka mendapat wahyu dari Allah. Ini bercanggah dengan ajaran Islam kerana tiada sesiapa yang boleh mendapat wahyu melainkan para Rasul ‘ass.
  6. Syaikh mereka boleh menentukan masuk syurga-neraka.
  7. Meyakini bahawa semua agama adalah sama dan diterima amalan masing-masing agama itu oleh Allah.Ini bercanggah dengan nass: Allah tidak terima agama selain Islam. Ali ‘Imran:85. Ajaran sesat yang bercanggah dengan ‘aqidah ini, mula menampakkan diri di Malaysia.
  8. Tidak boleh mengatakan ‘aqidah agama selain Islam salah. Pemikiran yang berasal dari Barat ini, sudah mula berkembang di Alam Melayu termasu Malaysia. Fahaman ini  bercanggah dengan nass. ( al-Kaafiruun:6. Surah al-Kaafiruun yang mulia ini, elok difahami dan ditadabbur seluruhnya untuk memahami kedudukan golongan Pluralis mazhab religious equality dan menolak mereka! ).

Khurafat

Selain dari kesalahan ‘Aqidah, terdapat juga beberapa khurafat dari kumpulan yang menggelar diri mereka sebagai kumpulan keruhaniyan. Antara khurafat itu ialah:

  1. Syeikh kumpulan ini mendapat ‘ilmu terus dari Sidi ‘ Abdul Qadir al-Jailani rh.
  2. Dia boleh menentukan pemimpin tertinggi sesebuah negara.
  3. Dia akan menjadi pemimpin sebuah negara atas nama kepimpinan keruhaniyyan.
  4. Syaikh kumpulan ini mendakwa ia adalah wakil Imam Mahdi dan akan memerintah Malaysia tidak lama lagi.
  5. Syaikhnya memiliki tongkat Nabiyy Musa ‘as.

Untuk mengelakkan dari terjerumus kegaung khurafat dan bid‘ah dalam bidang keruhaniyan juga ‘Aqidah,  ‘Ulama kita telah menyenarai panjang nama-nama tokoh-tokoh dan sifat-sifat mereka dan nama-nama kitab yang wajar menjadi rujukan dan pegangan agar kita tidak sesat. Maka tugas kita hanyalah mendampingi kitab-kitab tersebut dengan penuh kesungguhan!.  Pada masa kita ini, munkin sukar untuk mencari tokoh ruhaniy yang benar dan thiqah, maka kita dianjurkan supaya memegang kukuh kepada al-Qur’an, al-Sunnah yang jelas dan membanyakkan bersolawat kepada kekasih yang mulia, Rasul s‘aw,  disamping berdu‘a ke Hadrat Allah Yang Maha Memberi Petunjuk dan Maha Kasih agar kita dituntun-Nya ke jalan yang di redhoi-Nya demi untuk mendapat keselamatan ruhaniyy yang berkekalan. Jangan terpedaya kepada syaikh-syaikh buatan atau yang di syaikhkan. Jangan bergantung kepada ular untuk mengelak buaya!

Keruhaniyan Islam Sebenar

Dalam sejarah Islam  terdapat beberapa golongan yang amat kuat amalan keruhaniyan. Selain ASWJ,   mereka ialah penganut Syi‘ah dan Mu‘tazilah. Secara rengkas, golongan Syi‘ah ialah golongan yang beriman kepada Imam Ghaiyb iaitu Hasan ‘Askari yang  telah ghayb dan  berada di Samarra dan akan keluar nanti pada akhir zaman. Ia disebut juga sebagai Imam Mahdi. Mereka mempunyai kitab hadith tersendiri dan tidak menerima hadith riwayat Sahabat r‘aa  kerana mereka menganggap semua Sahabat kafir,  kecuali beberapa orang sahaja. Mereka menafsirkan jib wa ’t-taghut ( al-Nisa’:51) sebagai Abu Bakar r‘a dan  ‘Umar r‘a. Mereka berburuk sangka terhadap  Ummahatul Mu’minin r‘ah yang bersih itu dan yaqin kepada doktrin  al-raj‘ah iaitu ‘Aisyah r‘ah akan dihidupkan semula oleh Allah sebelum Qiyamat untuk menerima hukuman. Semua ‘aqidah ini adalah tertolak kerana ia bertentangan dengan ‘Aqidah yang sohih. Sebab itulah al-Ghazzaliy rh mengatakan amalan mereka – golongan Syi‘ah – tertolak, walaupun dahi mereka hitam kerana kuat sujud!. Betapa ‘aqidah mereka diterima, padahal mereka mengkafirkan sebahagian besar Sahabah!. Demikian juga dikalangan Mu‘tazilah seperti ‘Amru bin ‘Ubayd yang disebut seperti malaikat kerana semalaman dirikan solat dan siang hari berpuasa, pada hal dalam i‘tiqad, beliau menolak doktrin Sifatiyah.

Atas dasar inilah, maka  ‘Ulama keruhaniyan Islam sepanjang masa, sangat-sangat mengingatkan dan menekan berulang kali supaya berpegang semata-mata kepada ajaran keruhaniyan seperti yang diajar oleh ASWJ. Ajaran keruhaniyan Islam sebenar ialah ajaran yang menekankan supaya beri‘tiqad dengan i‘tiqad ASWJ dan perjalanan keruhaniyan ASWJ. Adalah amat rapat kaitan dan tidak boleh terpisah antara ‘Aqidah yang benar dengan kejayaan ruhaniyyah.   Oleh yang demikian para  Salaf al-Solih telah mengarang beratus-ratus kitab-kitab dalam subjek keruhaniyan untuk memandu Ummah dalam kehidupan keruhaniyan dan membezakannya dari keruhaniyan yang salah dan tertolak. Mereka  adalah paling berotoriti kerana merekalah yang  merupakan penafsir sebenar kepada perjalanan hidup keruhaniyan Sayyiduna Rasul s ‘aw dan para Sahabat r ‘aa. Mereka yang terkemudian pula menekuni karya-karya keruhaniyan  Salaf itu  melalui jalan-jalan yang masyhur dan sah.  ‘Aqidah mereka ialah samaada tafwidh atau takwil, beraliran Sifatiyah. Mereka menolak keruhaniyan ala Jabariyah atau mana-mana aliran zindiq. Golongan keruhaniyyan ASWJ  tidak melihat karya-karya dari ajaran keruhaniyan Islam itu sebagai  buku falsafah semata-mata tanpa melihatnya sebagai ajaran puncak dari  keruhaniyan; sementara golongan yang terkeluar dari lingkungan keruhaniyan ASWJ, mereka ini tidak begitu gemar berusaha untuk mencari jalan bagaimana untuk mencapai puncak  itu – sudah tentu melalui jalan ‘Aqidah yang benar. Mereka hanya asyik  berfalasafah dan menceritakan peri hal puncak tersebut – mengenai hal dan maqam! . Golongan ini tidak memperdulikan persoalan ‘Aqidah dan peri hal hati. Pendeknya, kata Qusyairiy rh dalam Risalahnya: ….para Syaikh golongan ini membina qaedah-qaedah mereka di atas dasar-dasar Tawhid yang benar. Dengan itu mereka menjaga  ‘aqidah mereka dari segala bid‘ah, sesuai dengan tawhid Salaf dan ASWJ.

Sekiranya diamati kitab-kitab keruhaniyan Islam, para syaikh keruhaniyan ini, amat sangat menekankan betapa penting orang yang ingin memasuki  ‘alam keruhaniyan ini, mempelajari ‘ilmu ‘Aqidah ASWJ dengan mantap kerana ditakuti mereka menjadi zindiq seperti golongan hulul zaman klasik dan kaum Pluralis mazhab religious equality zaman ini. Adalah terlalu jelas, bahawa kegiatan keruhaniyan dalam erti membersihkan hati dari sifat-sifat muhlikat dan menghiaskannya dengan sifat-sifat munjiyat adalah wajib fardu ‘ayn atas setiap individu. Akan tetapi, apa yang ditekankan disini ialah bagi orang yang ingin mendalami dan berenang dalam kehidupan keruhaniyan yang melepasi fardu ‘ayn, maka mereka wajib mendalami dan menguatkan ‘Aqidah mereka. Untuk mengelakkan kecelakaan ruhaniyyah dan ‘aqidah menimpa orang yang tidak ada persediaan yang cukup itu, maka  para syaikh keruhaniyan yang tulin,  mengharamkan diajar ‘ilmu keruhaniyan peringkat tinggi kepada orang-orang yang tidak ada persediaan ‘Aqidah. Dewasa ini, ajaran keruhaniyan peringkat tinggi telah menjadi barang dagangan terlalu murah dan sesiapa sahaja boleh membelinya!

Pluralisme Agama dan Keruhaniyan Sesat

Satu tren baru di ‘Alam Melayu ialah kombinasi antara kesetaraan semua ugama dan kecenderungan keruhaniyan. Dulu, tren ini tidak ada, yang ada hanya kesesatan dalam faham dan amalan keruhaniyan. Mereka tidak menyamakan agama anutan mereka dengan agama lain. Sekarang ini terdapat tren menyatukan Pluralisme mazhab religious equality/semua agama sama dengan kegiatan  keruhaniyan sesat. Sesat di atas sesat!. Golongan Pluralis mazhab ini, salah dalam menafsir ungkapan-ungkapan mutasyabihat dari syaikh-syaikh keruhaniyan seperti Muhyiddin Ibn ‘Arabi rh, Mawlana Jalaluddin al-Rumi rh dll. Golongan ini tidak mantap dalam fiqh – pun keruhaniyan – padahal sepakat para syaikh keruhaniyan muhaqqiqin menyatakan, sesiapa yang bertasawwuf tanpa Fiqh apa lagi ‘Aqidah, adalah zindiq – na‘uzubillah!. Tren ini semakin berkembang di ‘Alam Melayu dengan tersebar karya-karya pelopornya dari Barat melalui agen-agennya dari kalangan orang Islam. Para agen-agen ini  baik yang berupa individu, institusi pendidikan mau pun NGO, akan membuat promosi melalui tulisan dan wacana-wacana dsb. Akibat tertipu dari ajaran Pluralisme mazhab religious equality ini, di Malaysia, sudah terdapat suara-suara sumbang yang mengatakan bahawa du‘a orang bukan Islam pun di makbulkan Allah, penganut agama lain yang ‘ baik ’ akan masuk syurga dsb. Ajaran Pluralisme Agama mazhab religious equality seperti ini boleh dikesan dalam bentuknya yang simpel seperti ajaran Ayah Pin hinggalah kepada ajaran yang lebih kompleks seperti ajaran falsafah Hikmah Abadi – Sophia Perennis.  Bagi penganut Pluralisme mazhab religious equality yang asal beragama Islam, mereka tidak akan membantah jika mayit mereka dibakar seperti amalan penganut Hindu atau ditanam di jirat China bersama dengan wang kertas palsu, kerana  mereka yakin kepada  ‘ salvation ’ adalah milik semua agama.

Kesimpulan

Seperti yang disebut diawal, kehidupan keruhaniyan amatlah dituntut dalam Islam. Namun, amalan-amalan keruhaniyan tersebut tidak mempunyai apa-apa erti disisi Allah SwT, sekiranya ‘Aqidah bertentangan dengan apa yang diajar oleh para syaikh muhaqqiqin dari kalangan ASWJ. Para pengamal keruhaniyan wajib senantiasa meneliti setiap sa‘at perihal ‘Aqidahnya: apakah percakapan, ucapan, tulisan, perbuatan zahir, i‘tiqad-kepercayaan-kefahaman bertentangan dengan ajaran dan tasawwur ASWJ yang Nabiy s ‘aw dan para Sahabatnya beri‘tiqad. Jangan terlalu berani atas nama kebebasan berfikir dan mahu membebaskan diri dari taqlid kepada doktrin ‘Aqidah ASWJ, pada hal, ia terjerumus kegaung taqlid kepada hawanafsu syaitoniyyah yang mencelakakan sepanjang hayat. Ya Allah selamatkanlah kami dan qawm Muslimin!. Kecenderungan tidak memperdulikan serta sikap memperlekeh ‘Aqidah ASWJ timbul semula dikalangan orang Islam dewasa ini. Antara sebabnya adalah akibat kemenangan revolusi Khumayni al-Syi‘i ke atas Redha Pahlavi dan kecenderungan politik partisan, padahal mereka klaim, mereka mencintai doktrin keruhaniyan al-Ghazzaliy rh atau ‘Abdul Qadir al-Jilaniy rh dsb yang amat kuat membela ‘Aqidah dan ajaran ASWJ itu. Sebahagian yang lain pula, lebih mengutamakan haqiqat – itu pun haqiqat dalam pengertian dan huraian mereka – dari Syari‘at, sehingga terkeluar dari ajaran ‘Aqidah ASWJ dan terjerumus ke lubang buaya  Jabariyah.

Kita lanjutkan sedikit perbincangan mengenai al-Ghazzaliy rh yang mana MUAFAKAT telah membuat seminar mengenainya. Perlukah kita bertanya diri masing-masing: sejauh mana diri ini memahami ajaran al-Ghazzaliy rh itu dalam  ‘Aqidah dan Syari‘ah dan menghayatinya dalam kehidupan harian, dalam  mu‘amalah, dalam berwirid-ber‘amal, dalam berjihad membersihkan hati dari hawa nafsu jahat, dalam beramar-makruf nahi-munkar; dan sekuat mana berjihad untuk keluar  dari kejahilan yang panjang yang menunjang dalam diri dan bangun menuntut ‘ilmu yang bermanfa‘at secara serious, dan sejauh mana  pula berusaha untuk membebaskan diri dari belenggu menjadi khadam dan hamba ‘abdi  manusia  kepada menjadi khadam dan hamba Allah yang sebenar; atau pun program seumpama itu, sekadar memenuhi kalendar dan dairi harian ataupun sekadar mental excercise! ataupun sekadar apa?. Setelah sekitar 40 tahun lebih terlibat dalam dakwah, maka pada penghujung hayat ini, amat wajar kita bermuhasabah mengenai kehidupan keugamaan kita dari aspek ‘aqidah, akhlaq, mu‘amalah, ‘ibadah, dakwah kita dsb.

Ummat Islam wajib berpegang kepada  ‘Aqidah yang sohih. Untuk tujuan itu, mereka perlu  menela‘ah kitab-kitab ASWJ berulang kali – berpuluh kali atau ratusan kali, menghadhamkannya dan ber‘amal dengannya. Justeru, atas dasar belas kasihan kepada orang ‘awam, ‘Ulama Islam  telah menyenaraikan kitab-kitab yang benar dan sohih untuk kita pelajari. Ini adalah kerana ‘ilmu ASWJ sahaja  yang  memberi manfa‘at dan menyelamatkan dari ‘azab dan neraka. Nabiyy s ‘aw melarang ummatnya menyerahkan ‘ilmu kepada yang bukan ahlinya kerana mereka akan menjadi bodoh!  ( saringan dari Hadith riwayat al-Daraamiy ) dan Baginda s ‘aw juga melarang Ummat mengangkat dan mengikut pemimpin bodoh ugama dan meminta fatwa daripada mereka – mereka sesat dan  pengikutnya pun sesat ( mafhum dari Hadith al- Bukhariy, Muslim dan al-Tirmizi ). Atas dasar inilah, Ummat dianjurkan supaya mendampingi ahli ‘ilmu yang benar lagi amanah dan senantiasa berdu‘a, barang dijauhkan Allah dari ‘ilmu yang tidak memberi manfa‘at.

Awasilah ‘Aqidah dan ruhaniyy setiap sa‘at supaya tidak tergelincir diakhir hidup. Pohonlah supaya mati dalam iman dan husnu’l-khaatimah!. Aamiin Ya Rabb.

wa maa tawfiiqi illa billah.

[Untuk kemudahan cetakan klik versi pdf ini: Tren Keruhaniyan Di Malaysia-pdf]

Akidah Islam dan Faham Pluralisme Agama

Kertas ini adalah salah satu dari yang dibentangkan semasa Wacana Fahaman Pluralisme Agama dan Implikasinya Terhadap Masyarakat Islam:

Akidah Islam dan Faham Pluralisme Agama[1]

Dr. Mohd Farid Mohd Shahran

MUKADDIMAH

Agama, bagi seorang Muslim,  bukan sekadar hal berkaitan dengan sudut pandangan (perspective) yang boleh dianggap benar secara nisbi walaupun berbeza dan kadangkala bertentangan antara satu dengan yang lain. Ia juga bukan persoalan selera yang boleh berubah dan boleh dipilih berdasarkan nafsu dan keinginan naluri rendah seseorang insan. Agama adalah urusan kebenaran yang akan menentukan keselamatan dan kebahagiaan hidup manusia bukan sahaja di dunia tetapi juga di negeri Akhirat yang kekal abadi. Agama adalah neraca yang mutlak mengenai hakikat-hakikat yang asasi dalam kehidupan seseorang Muslim. Sehubungan dengan itu, apa sahaja faham dan aliran yang merendahkan martabat kebenaran agama adalah satu gugatan terhadap hakikat kebenaran Islam. Faham pluralisme agama yang cuba menafikan kebenaran mutlak agama Islam atau paling tidak meletakkan kebenaran Islam sebagai salah satu kebenaran yang nisbi bersama agama-agama lain adalah salah satu contoh dari gugatan tersebut. Kefahaman sebegini mesti ditanggap dengan serius sebelum ia menjadi satu penyakit yang bakal melumpuhkan sistem kepercayaan masyarakat Islam yang telah teguh ditanam sejak sekian lama.

Kertas ringkas ini ingin melihat secara kritis intipati fahaman pluralisme agama dan melihat kedudukannya di sisi akidah Islam.

INTIPATI  FAHAM PLURALISME AGAMA

Pluralisme agama ditakrifkan sebagai “keadaan hidup bersama antara agama yang berbeza-beza dalam satu masyarakat dengan tetap mempertahankan ciri-ciri khusus atau ajaran masing-masing.”[2] John Hick, tokoh yang banyak mencanang faham ini menjelaskan maknanya sebagai “satu kefahaman bahawa agama-agama besar dunia mempunyai pandangan dan gambaran yang berbeza tentang Yang Benar dan Yang Agung dalam tataran budaya manusiawi yang berbeza-beza.”[3] Walaupun penjelmaannya dalam bentuk falsafah atau aliran pemikiran datang dalam bentuk yang pelbagai[4] merangkumi dimensi teologi, ruhaniah dan sosio-politik, intipati umum kepada faham pluralisme agama ini dapat diringkaskan seperti berikut:

  1. Semua agama secara asasnya adalah sama kerana terbit dari sumber yang sama iaitu dari Yang Mutlak (The Absolute, The Ultimate and the Real One). Tujuan akhir kewujudan agama-agama juga ialah untuk menuju dan menyerah diri kepada hakikat yang sama iaitu the Ultimate, the Truth walaupun diungkapkan oleh pelbagai agama yang berbeza dengan nama-nama yang berbeza. Justeru itu kewujudan agama yang pelbagai adalah bentuk-bentuk luahan keimanan dan ketundukan manusia terhadap Hakikat yang satu. Kepelbagaian agama adalah ibarat jari-jari roda yang banyak namun kesemuanya menuju kepada pusat roda yang melambangkan Hakikat yang Kekal. Kepelbagaian agama juga adalah ibarat lampu-lampu yang pelbagai namun hakikat cahayanya adalah sama “The lamps are different, but the Light is the same.” (Ungkapan yang diambil dari kata-kata Jalal al-Din al-Rumi dalam karya agungnya al-Mathnawi.
  2. Setiap agama bersifat nisbi (relative), terbatas dan tidak sempurna dan merupakan satu proses pencarian terhadap kebenaran yang berterusan.[5] Justeru itu, di samping kekurangannya, semua agama adalah jalan yang sah menuju kebenaran. Maka tidak ada agama yang boleh mendakwa mempunyai kebenaran yang lebih benar dan tinggi dari agama lain. Pandangan manusia terhadap agama adalah ibarat sekumpulan buta yang memegang bahagian-bahagian seekor gajah yang berbeza dan menyimpulkan hakikat gajah dari sudut pandangan masing-masing.
  3. Objek pengalaman keagamaan manusia terutama yang berkaitan dengan ketuhanan secara dasarnya terbahagi dua; yang pertama adalah hakikat yang dipanggil yang Kekal (the Eternal One) dan tidak terbatas (infinite) di luar dari jangkauan pengalaman, pemikiran dan bahasa manusia yang terbatas. Yang kedua ialah Tuhan yang di alami oleh manusia berdasarkan pengalaman, pemikiran dan bahasa mereka yang terbatas. Tuhan dalam aspek kedua ini lebih ‘personal’ dan merupakan penterjemahan hakikat yang pertama dalam bentuk yang berbeza-beza berdasarkan budaya, geografi, dan iklim berbeza yang melingkungi manusia.  Dengan meminjam kata-kata ahli teologi Kristian terkenal, St. Thomas Aquinas bahawa “the thing known is in the knower according to the mode of the knower”,[6] maka penganut agama yang berbeza-beza telah mengungkapkan pengetahuan mereka tentang ketuhanan berdasarkan pengalaman dan bentuk pengetahuan mereka yang subjektif. Justeru terdapat perbezaan di kalangan agama-agama dalam menzahirkan pengalaman keagamaan mereka terhadap Hakikat yang Kekal tersebut dengan nama-nama yang berbeza seperti Allah, Jesus, Yahweh, Krishna dan lain-lain.[7]
  4. Dalam pentafsiran yang lebih menekankan dimensi ruhaniah dan transcendent, hakikat agama terbahagi kepada dua aspek iaitu aspek exoteric dan esoteric, zahir dan batin, accident dan subtance, form dan essence. Di peringkat pertama, hakikat agama adalah berbeza dan tidak mempunyai kebenaran yang mutlak, sementara di peringkat kedua iaitu peringkat ruhaniah dan metafizik, kesemua kefahaman agama lebih hampir dan akan bertemu di satu titik kesatuan yang munazzah yang merujuk kepada Tuhan yang Mutlak. Kesatuan agama, dari sudut pandangan ini akan berlaku di peringkat ruhaniah yang tinggi melalui pengalaman kerohanian yang wujud dalam setiap agama.
  5. Doktrin-doktrin agama yang fundamental yang bersifat eksklusif dan hanya membenarkan satu agama sahaja haruslah di dilihat dari sudut majazi (metaphorical) dan harus dita’wil bersesuaian dengan sikap dan sifat pluralisme agama yang inklusif.
  6. Adalah tidak boleh diterima akal sekiranya Tuhan menciptakan begitu ramai manusia tetapi hanya sedikit sahaja yang benar dan yang dimasukkan ke dalam syurga. Ini sama sekali bertentangan dengan prinsip kasih sayang Tuhan.
  7. Pluralisme agama adalah Sunnatullah yang tidak berubah dan tidak boleh diingkari.[8]

LATARBELAKANG DAN SEBAB YANG MENYUMBANG KE ARAH KEMUNCULAN ALIRAN PLURALISME AGAMA

Secara historis, kemunculan faham aliran pluralisme agama in agak baru. Ia bermula sebagai reaksi sekelompok intelektual moden terhadap dakwaan kebenaran mutlak (absolute truth-claims) yang terdapat dalam pelbagai agama besar yang berasaskan landasan akidah dan keselamatan yang mutlak yang hanya wujud dalam agama atau berlandaskan faktor sejarah dengan dakwaan bangsa pilihan (chosen people), tanah yang dijanjikan (promised land) oleh penganut-penganut agama tertentu.[9] Sebahagian dakwaan-dakwaan ini membawa kepada konflik yang berterusan. Sebagai reaksi kepada suasana ini, didokong pula oleh arus sekularisasi dan liberalisasi agama yang menjadi ciri penting zaman moden, timbul kelompok yang liberal dan humanis yang lebih menekankan persoalan sosio-politis berbanding kebenaran agama mencanangkan ide pluralisme agama bagi mengelakkan konflik antara penganut agama berterusan. Jika dilihat konteks wacana pluralisme agama terkini yang ditonjolkan misalnya menerusi agenda dialog antara agama (interfaith dialogues), keprihatinan terhadap faktor sosio-politis ini amat jelas apabila ia dilihat timbul dari keperluan pragmatik kesan dari berlakunya ketegangan antara para penganut agama di dunia sama ada di peringkat dunia atau peringkat setempat. Mauduk-mawduk utama perbahasan pula berkisar sekitar persoalan kebebasan beragama, hak asasi manusia, toleransi, persamaan jantina dan dalam banyak keadaan mengenepikan persoalan kebenaran agama-agama itu sendiri. Muara akhirnya ialah kewujudan satu keadaan yang menyaksikan para penganut pelbagai agama hidup dalam keadaan aman (peaceful co-existence between religious communities).  Perkara ini jelas antara lain apabila dilihat melalui latar kehidupan John Hick, antara pelopor penting aliran ini, yang banyak terpengaruh dengan pengalaman penglibatan beliau dengan kepelbagaian kelompok masyarakat berbilang agama di England yang menyebabkan beliau merasakan keperluan untuk merubah pandangan beliau sendiri terhadap agama Kristian dari aliran yang eksklusif kepada aliran lebih liberal dan pluralis.[10] Beliau berhujah bahawa perubahan atau revolusi pandangan alam teologi Kristian harus dilakukan daripada menganggap hanya agama Kristian sahaja yang benar kepada kepercayaan terhadap kebenaran agama-agama lain seperti mana mereka pernah menerima perubahan  pandangan alam kosmologi dari kerangka Ptolemaic yang menerima bumi sebagai pusat semesta kepada pandanagan Copernican yang menerima matahari sebagai pusat semesta.[11]

Kemunculan faham ini juga amat berkait rapat dengan tradisi dan pengalaman keagamaan Kristian yang sememangnya telah mengalami nasib perubahan yang panjang dalam sejarah keagamaan mereka. Bermula dengan kemelut keaslian Injil, kerancuan pentafsiran kitab suci tersebut, ditambah dengan penyelewengan wibawa agama di kalangan kelompok Gereja dalam pentafsiran doktrin-doktrin agama dan disempurnakan dengan kemunculan kelompok ‘reformis’ dan liberalis yang berjaya mensekularkan agama Kristian, ternyata faham pluralisme agama yang selari dengan proses sekularisasi dan faham perubahan yang berterusan ini lebih mudah diterima oleh masyarakat Kristian.

Dari segi metodologi dan pendekatan ilmiah, walaupun kadangkala dicanangkan oleh ahli-ahli teologi, neraca dan pendekatan yang digunakan oleh kelompok aliran pluralisme agama sebahagian besarnya adalah pendekatan sosiologis yang melihat agama hanya sebagai salah satu variables dalam menilai corak sosial masyarakat. Agama bukan lagi sebagai neraca kebenaran yang mutlak akan tetapi hanya sebagai salah satu sudut pandangan yang bersifat nisbi. Atas nama objektiviti, ahli-ahli teologi ini seolah-olah keluar dari kerangka agama mereka untuk melihat agama ‘dari luar’ sebagaimana yang dilihat oleh golongan sosiologis.

PLURALISME AGAMA DARI SUDUT AKIDAH ISLAM

Sememangnya kalau dilihat dari sudut akidah dan tamadun Islam, faham pluralisme agama adalah amat asing sekali. Sepanjang sejarah, walaupun terdapat aliran-aliran yang dianggap ‘liberal’ dalam tradisi falsafah dan teologi Islam seperti golongan ahli-ahli falsafah dan Mu’tazilah dalam Ilmu Kalam, mereka tidak pernah mengetengahkan pandangan pluralisme agama. Dr. Anis Thoha menyatakan bahawa dalam kajiannya istilah al-ta’addudiyyah yang melambangkan pluralisme agama tidak dikenali secara popular dan tidak banyak dipakai di kalangan ilmuwan Islam kecuali sejak lebih kurang dua dekad terakhir abad ke 20 yang lalu.[12]

Ini tidak bermakna sepanjang sejarahnya Islam tidak mengiktiraf keperluan untuk umat Islam hidup dalam keadaan aman bersama dengan penganut agama-agama lain. Adalah penting untuk kita membezakan antara pluralisme agama sebagai satu faham falsafah (seperti yang sedang kita bicarakan) yang mengandaikan kebenaran nisbi semua agama dengan seperkara lain iaiatu suasana kehidupan antara pelbagai agama (yang secara teknikal di sebut religious plurality) yang mengisbatkan kewujudan pelbagai agama yang penganutnya hidup secara bersama dalam daerah yang sama. Kekeliruan dalam membezakan antara kedua-dua perkara ini dan kadangkala menyebabkan seseorang mencampuradukkan dalam menghujahkan keperluan pluralisme agama.  Islam sama sekali tidak pernah menolak aspek kedua iaitu hakikat kewujudan pelbagai agama dan hak untuk penganut agama-agama selain Islam untuk mempercayai agama mereka. Dalam banyak ayat al-Qur’an Islam mengiktiraf kewujudan agama-agama kepelbagaian agama seperti yang terakam dalam Surah al-Kafirun dan ayat al-Qur’an al-Hujurat:13. Akan tetapi Islam sebaliknya tidak menerima kebenaran relatif semua agama seperti yang dianjurkan oleh aliran pluralisme agama atau anggapan bahawa Islam, seperti agama-agama lain hanya mempunyai separuh dari kebenaran (partial truth). Ini kerana faham kebenaran relatif atau spara-kebenaran ini mengandaikan bahawa agama-agama ini tidak sempurna dan masih dalam proses kemenjadian (becoming) atau kematangan (maturization) sebagaimana yang dianjurkan oleh sebahagian ahli teologi Kristian terhadap agama Kristian.[13]

Kesempurnaan Islam Sejak Asal Tanzilan

Faham bahawa kesemua agama adalah tidak sempurna dan masih dalam proses pencarian, kemenjadian dan kematangan adalah sama sekali tidak selari dengan hakikat agama Islam. Islam, seperti yang dihujahkan oleh prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, memang sejak awal merupakan agama yang sempurna sejak mula tanzilannya dan tidak memerlukan usaha pembangunan, kematangan atau evolusi di pentas sejarah sebagaimana yang terjadi dalam tradisi agama lain.[14] Hakikat kesempurnaan ini tergambar jelas dalam ayat al-Qur’an Surah al-Maidah: 3, bahawa “pada hari telah Kusempurnakan untuk kamu agama kamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuredai Islam itu menjadi agama bagimu.” Segala-galanya dari aspek sistem kepercayaan, amalan dan peribadatan dan sistem nilai dan akhlak telah disempurnakan sejak awal dalam bentuk yang mutlak tanpa memerlukan revision atau tambahan. Malah nama agama Islam sendiri telah sempurna diberikan sejak awal oleh Tuhan melalui tanzilannya dan tidak memerlukan pertukaran sebagaimana yang cuba dipaksakan oleh sebahagian Orientalis.[15] Kebenaran yang terdapat dalam agama yang bernama ‘al-Islam’ ini juga merupakan pengisbatan melalui kata-kata Tuhan sendiri melalui tanzilannya dan bukan diungkap dan direka oleh ahli-ahli teologi Islam.

Agama, dalam Islam menayangkan hakikat kebenaran secara menyeluruh dan mutlak, meliputi semua aspek kehidupan samaada ruhaniah dan jasmaniah, akli dan amali, alam ghaib dan alam shahadah, justeru ia bukan sisi pandang dari pengalaman subjektif manusiawi. Berasaskan wahyu yang mutlak, kebenaran agama juga bersifat mutlak secara hakiki dan tetap tanpa menerima perubahan. Ia datang dari sumber yang mutlak, dari Tuhan yang Kekal, maka ia nilai-nilai yang dibawa juga kekal tanpa perubahan.

Tauhid sebagai Asas kebenaran Islam

Islam melalui akidahnya meletakkan asas tauhid sebagai dasar kebenaran agama. Ini jelas melalui ketegasan al-Qur’an menentang keshirikan orang-orang kafir dan penetapan al-Qur’an tentang besarnya dosa shirik berbanding dengan dosa-dosa yang lain. Ayat-ayat mengenai tauhid dalam al-Qur’an juga merupakan ayat-ayat yang muhkamat, menggunakan nas yang jelas maknanya dan tidak terbuka kepada ta’wil dan pentafsiran yang subjektif. Hakikat tauhid, menurut penjelasan al-Qur’an, bukan sekadar menekankan keesaan Allah tanpa berbilang, tetapi juga penegasan bahawa Allah adalah Zat yang tidak menyerupai segala sesuatu, di luar jangkauan inderawi insani dan Zat penuh dengan sifat-sifat kesempurnaan dan kekuasaan.  Faham tauhid sebeginilah yang menjadi asas kepada kebenaran agama Islam. Oleh kerana itulah keseluruhan para Rasul dihantar dengan risalah yang sama iaitu untuk mengisbatkan tentang keesaan Allah dan mengajak manusia semua untuk tunduk menghambakan diri kepada Allah dengan tulus. (al-Anbiya’:25). Maka, seluruh kelompok manusia yang menyahut seruan tauhid dan mengikuti saranan yang di bawa oleh para pesuruh Allah semenjak dari permulaan kejadian manusia adalah termasuk dalam kelompok agama yang benar. Dari segi itu, konsep kebenaran agama dalam Islam juga bersifat inklusif namun mempunyai asas dan hadnya yang jelas iaitu sejauh mana ia menuruti risalah tauhid yang perintahkan sendiri oleh Allah.

Oleh yang demikian, adalah amat sukar sekali, berdasarkan prinsip ini untuk kita menerima kebenaran agama-agama lain terutama yang secara jelas bertentangan dengan neraca tauhid yang telah diberikan oleh Islam secara jelas. Bukan juga termasuk dalam hak orang-orang Islam untuk merubah prinsip dan had yang telah ditetapkan ini walaupun atas alasan-alasan yang sosio-politik yang praktikal dan pragmatik. Segala keperluan kemasyarakatan dan siyasah mestilah diselesaikan di dalam lingkungan prinsip dan had tauhid. Islam tidak memerlukan Copernican Revolution dalam akidah seperti yang dianjur oleh John Hick untuk menyelesaikan persoalan umat kerana prinsip-prinsip yang mendasari agama ini adalah prinsip yang mutlak dan tidak berubah.

Pluralisme Agama Satu Bentuk Kekeliruan Ilmu (Sufasta’iyyah)

Disebabkan Islam merupakan agama yang berasaskan kepercayaan dan ilmu yang yakin sebagaimana yang dihuraikan dalam disiplin akidah, faham pluralisme agama yang menganjurkan kebenaran yang nisbi adalah sesuatu yang bertentangan dengan akidah Islam. Ia termasuk bentuk kekeliruan ilmu atau sufasta’iyyah (sophism) yang ditolak oleh akidah Islam. Para mutakallimun sejak awal telah mengenalpasti bahaya faham kenisbian ini yang bakal menghancurkan kebenaran ilmu pengetahuan dengan menamakan mereka sebagai golongan ‘al-‘indiyyah[16] iaitu golongan yang menerima kebenaran yang pelbagai berdasarkan sudut pandangan yang berbeza dan kadangkala bertentangan.[17] Pendekatan epistemologi ini akan menafikan wujudnya kebenaran yang objektif dan mutlak yang boleh diterima oleh semua sepertimana yang dibawa oleh akidah Islam. Berlawanan dengan pendekatan ini, akidah Islam, seperti yang dihuraikan oleh Imam al-Nasafi mengisbatkan kemampuan manusia untuk mencapai ilmu dan hakikat yang benar bertentangan dengan pandangan nisbi golongan sufasta’iyyah.[18] Dalam menghuraikan penegasan Imam al-Nasafi ini, Prof. al-Attas menjelaskan bahawa “penyangkalan terhadap kemungkinan dan objektiviti ilmu pengetahuan akan mengakibatkan hancurnya dasar yang tidak hanya menjadi akar bagi agama, tetapi juga bagi semua jenis sains.”[19]

Sekiranya kita menerima faham pluralisme agama, ia bukan sahaja bertentangan dengan prinsip akidah Islam, malah juga bertentangan dengan prinsip akal yang sihat. Ini kerana akal tidak boleh menerima dua hakikat yang sama-sama benar akan tetapi saling bertentangan untuk wujud di satu masa. Ini bertentangan dengan prinsip asas dalam logik iaitu the principle of non-contradiction. Mana mungkin kefahaman tentang Tuhan yang Maha Esa sama benar dengan faham ketuhanan yang pelbagai? Mana mungkin kepercayaan bahawa Nabi Isa tidak disalib sama benar dengan kepercayaan Nabi Isa wafat di pengsaliban, bangun semula dan menjadi sebahagian dari ketuhanan? Mana mungkin kepercayaan Tuhan yang tidak menyamai segala sesuatu adalah sama benar dengan kepercayaan bahawa Tuhan yang bersatu dengan makhluk dan menyerupai sebahagian besar makhluk yang diciptanya sendiri? Kefahaman begini hanya dipegang sama ada oleh seseorang yang menerima kenisbian hakikat (relative truth) yang menolak kebenaran yang mutlak, satu faham yang ditolak oleh Islam, atau mereka yang mempercayai bahawa faham keagamaan hanyalah khayalan manusia yang serba subjektif dan tidak benar, atau oleh mereka yang atheist yang langsung tidak menerima kewujudan Tuhan, lantaran itu melihat kepelbagai agama sebagai manifestasi rasa takut manusia kepada ‘alam ghaib’ ciptaan akal mereka. Atau mereka yang percaya kepada twofold truth untuk menjustifikasi fahaman gereja yang banyak bertentangan dengan pandangan akal dan pengalaman inderawi manusia. Kesemua ini ternyata bertentangan dengan ajaran Islam yang menegaskan kebenaran mutlak yang satu dan tiada pertentangan antara kebenaran akal dan wahyu.  Ironisnya, bagaimana faham yang tidak serasi dengan prinsip akal yang sihat dipelopori oleh ilmuwan dan intelektual dari tamadun yang amat mengagungkan akal?

Seperkara yang menarik untuk diketengahkan ialah dalam Akidah Islam dan juga penjelmaannya dalam sejarah dan tamadun Islam, berbanding dalam tradisi agama lain, tidak berlaku pertentangan antara prinsip-prinsip yang diketengahkan oleh akidah Islam dengan prinsip-prinsip akal. Al-Qur’an sendiri banyak menegaskan kepentingan akal melalui ayat-ayat yang mencela mereka yang tidak menggunakan akal.  Al-Qur’an juga menggunakan dalil-dalil akli dalam berhujah dengan kafir dan juga mencabar orang-orang kafir dengan meminta dalil (burhan) bagi membuktikan kebenaran pegangan mereka.[20] Justeru itu ulama-ulama akidah tidak teragak-agak untuk menyokong prinsip-prinsip akidah yang datang dalam al-Qur’an dengan hujah-hujah akliyah.

Islam dan Hubungan Antara Agama

Kepercayaan mutlak terhadap kebenaran umat Islam bukan bermakna Islam tidak memberi ruang kepada toleransi terhadap agama lain. Surah al-Kafirun merupakan antara surah yang definitif meletakkan sikap dan cara masyarakat Islam untuk berinteraksi dengan penganut agama lain. Ayat-ayat dalam surah tersebut di samping mengiktiraf kewujudan agama lain (lakum dinukum wa liya din) juga dengan tegas dan berulang menggariskan secara definitif perbezaan antara apa yang disembah oleh Rasulullah dan orang Islam dan apa yang disembah oleh orang-orang Kafir. Maka dalam persoalan akidah, prinsip yang harus melandasi hubungan antara agama islam dan agama lain ialah prinsip perbezaan dan bukannya persamaan. Justeru itu, bagi mengelakkan permasalahan dalam hubungan tersebut ialah pengiktirafan dan berlapang dada kepada perbezaan-perbezaan yang wujud dan bekerjasama pada perkara-perkara yang ada persamaan. Inilah bentuk kebebasan beragama yang dianjurkan oleh Islam dan sikap tasamuh yang ditanamkan kepada umat Islam terhadap masyarakat lain.

Di samping bersikap tegas dengan kebenaran dan perbezaan teologis antara agama Islam dengan agama lain, Islam juga sama sekali tidak memaksa kebenarannya kepada penganut agama lain. Pendekatan yang dianjurkan oleh Islam untuk menyampaikan kebenaran Islam kepada masyarakat bukan Islam adalah melalui dakwah dan bukan paksaan. Dalam ruanglingkup tersebut, al-Qur’an menyarankan tiga bentuk dakwah iaitu dengan kebijaksanaan (al-hikmah), nasihat yang baik (maw’izah hasanah) dan perdebatan yang baik (mujadalah hasanah).

Zahir dan Batin Agama

Mengenai dakwaan golongan pluralisme agama bahawa perbezaan agama hanya berlaku di peringkat zahir (exoteric) sahaja perlu ditegaskan bahawa Islam merupakan agama yang menggabungkan antara dimensi zahir dan batin agama. Oleh kerana itulah aspek ibadat yang menekankan amalan, walaupun dari segi keutamaan, berada selepas aspek akidah yang mewakili keimanan, namun ia tetap penting dan menjadi sebahagian dari rukun agama.  Islam juga menekankan tentang amalan yang benar sebagai pembuktian keimanan kepada Tuhan. Aspek amalan adalah sebahagian dari agama dan menjadi prasyarat kebenaran agama. Aspek amalan ini juga dijelaskan oleh agama dengan lengkap melalui pengutusan Rasul.

Adalah satu yang ganjil sekiranya kesatuan dan kebenaran agama yang mutlak hanya berlaku di peringkat ruhaniah dan metafizik sahaja sedangkan tujuan agama ialah untuk dilaksanakan di dalam kehidupan dunia yang meliputi zahir dan batin. Pandangan begini hanya akan menafikan kebenaran aspek lahiriyah agama Islam seperti peribadatan dan shari’ah sedangkan kesemua ini merupakan sebahagian dari tanzilan dari Tuhan dan  merupakan bahagian utama dari struktur agama itu sendiri. Sehubungan dengan ini, perlu ditegaskan bahawa istilah ‘Islam’ walaupun secara harfi bermaksud ‘penyerahan diri’ namun bentuk penyerahan itu juga dijelaskan oleh agama melalui sistem peribadatan yang diturunkan oleh wahyu dan dijelaskan oleh para Rasul, bukan dengan cara-cara yang mengikut pemikiran subjektif manusia dan yang lebih buruk, mengikuti hawa nafsu manusia semata-mata.

PENUTUP

Tanpa menafikan bahawa terdapat keperluan untuk penganut setiap agama mengurangkan ketegangan yang berlaku disebabkan salah faham dan sikap ekstrem sekelompok kecil masyarakat, pendekatan dialog antara agama terutamanya yang diwarnai dengan faham pluralisme agama harus ditanggap secara berhati-hati oleh umat Islam. Yang paling penting dalam memahami faham pluralisme agama ialah persoalan dimana kita bermula. Dalam Islam, kita perlu bermula dari kebenaran agama kemudiannya barulah disesuaikan dengan keperluan sosial dan siyasah. Kita juga tidak harus terlalu cepat untuk mengambil pengalaman sejarah agama lain untuk disesuaikan dengan agama Islam apabila kita tidak berkongsi sejarah yang sama dan dan agama Islam sendiri mempunyai perbezaan yang mendasar dengan agama tersebut.


[1] Dibentangkan dalam Wacana Fahaman Pluralisme Agama dan Implikasinya Terhadap Masyarakat Islam, anjuran Muafakat, Himpunan Keilmuan Muda (HAKIM) dan JAIS pada 1 hb Mei 2010 bertempat Kuliyyah Ekonomi, UIAM.

[2] Anis Malik Thoha, Trend Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis (Jakarta:Gema Insani, 2005),14.

[3] Ibid.,15.

[4] Anis Thoha misalnya membahagikan bentuk aliran (trend) pluralisme agama kepada empat iaitu Humanisme Sekular, Teologi Global (Global Theology), Sinkretisme dan Hikmah Abadi (Perennial Philosophy), ibid.,51-121.

[5] Adian Husaini, Pluralisme Agama: Musuh Agama-Agama (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia: 2010), 4.

[6] John Hick, God Has Many Names (Philadelphia: The Westminster Press, 1982), 24.

[7] Ibid., 24-56.

[8] Adian Husaini, 6.

[9] Anis Thoha, 24-40.

[10] Lihat huraian pengalaman beliau dan juga pandangan teologi beliau dalam karya-karyanya seperti The Rainbow of Faiths (London: SCM Press Ltd, 1995); God Has Many Names (Philadelphia: The Westminster Press, 1982); Problems of Religious Pluralism (London: Macmillan Press Ltd., 1985); Dialogues in the Philosophy of Religion (New York: Palgrave, 2001)

[11] John Hick, 33.

[12] Anis Thoha, 180.

[13] Lihat huraian mendalam tentang kemelut sekularisasi dalam agama Kristian dalam Syed Muhammad naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur:ISTAC,1993), 1-49.

[14] Ibid., 26-27.

[15] Sebahagian Orientalis misalnya ingin menamakan Islam sebagai the Mohemmadan Religion dan orang islam sebagai the Mohammedans. Ini ternyata ditolak oleh orang-orang Islam.

[16] Yang bermaksud “menurut saya..”

[17] Lihat huraian lanjut tentang tiga bentuk sufasta’iyyah dalam Wan Mohd Nor Wan Daud, Falsafah dan Amalan Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas: Satu Huraian Konsep Asli Islamisasi (Kuala lumpur: Universiti Malaya, 2005)

[18] Ibid.

[19] Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of the ‘Aqa’id al-Nasafi, dipetik dalam Ibid., 68.

[20] Lihat lebih lanjut huraian mengenai kedudukan akal dalam Islam dalam Mohd Farid Mohd Shahran, ‘Akal dan Kedudukannya dalam Islam’, dalam Isu-Isu Dalam Pemikiran Islam (Kuala Lumpur ABIM, 2008).

Beberapa Isu Dalam Pluralisme Agama

Kertas ini adalah salah satu dari yang dibentangkan semasa Wacana Fahaman Pluralisme Agama dan Implikasinya Terhadap Masyarakat Islam:

بسم الله الرحمن الرحيم

نحمده ونصلى على رسوله  الكريم

Beberapa Isu Dalam Pluralisme Agama

– Satu Pengamatan Ringkas

Oleh:

Al-faqir ila’Llah Muhammad ‘Uthman El-Muhammady

Mungkin ada mereka di kalangan Muslimin yang boleh tertarik hati, selepas beberapa dekad dalam menjalankan kegiatan dakwah dan keilmuan di Dunia Melayu Sunni ini, kepada aliran-aliran baharu yang muncul di Barat, seperti misalnya aliran ‘pluralisme agama’ atau ‘religious pluralism’ dan memandangnya sebagai aliran yang paling absah dari segi intelektuil dan rohaninya; maka kalau perkara yang sedemikian itu berlaku, sudah tentu atas nama rasa kasihan belas terhadap umat –termasuk pihak yang berkenaan – timbul rasa sayu yang tidak terkira di hati kita bila mengingatkan bahawa mereka yang asalnya terlibat dalam dakwah, berfikiran sayangkan bangsa dan watan, terlibat dalam kalangan para penerajunya, terpengaruh dengan gerakan Islam (terkesan dengan pemikiran Maududi, Hassan al-Banna, Syed Qutb, dan yang sepertinya), akhirnya menjadi pendokong aliran John  Hicks, walaupun ini tidak dinyatakan dengan terang-terangan, dengan aliran pluralisme agama dengan implikasi-implikasi rohaniah terakhir. Allahumma sallimna wa ’l-Muslimin.

Berlatarbelakangkan ‘serangan intelektuil Barat’ atas umat ini dalam bentuk ‘pluralisme agama’ diperturunkan dalam nota sederhana ini beberapa pengamatan tentang fenomena ini sebagai respon awalan terhadapnya.

Pluralisme yang ditakrifkan sebagai kenyataan pluralisme (‘sheer fact of pluralism’) (seperti dalam laman web projek pluralisme Universiti Harvard, antara lainnya)[1] sebagai keberadaan pelbagai agama dalam sesebuah negara atau masyarakat –dalam erti ini pluralisme diamalkan dalam Islam walaupun di Madinah di zaman Nabi salla’Llahu ‘alaihi wa sallam dan kemudiannya seperti di Andalusia dan kerajaan Othmaniah Turki. Demikian pula pluralisme agama dalam erti adanya ruang awam di mana para penganut pelbagai agama bertemu dan berhubung serta mengadakan interaksi untuk memahami antara satu sama lain, itu juga sesuatu yang diterima dalam Islam, kerana kelainan umat manusia dalam kelompok-kelompok dan bangsa wujud untuk saling kenal mengenali antara sesama mereka sebagai bani Adam; ini juga diterima dalam Islam semenjak zaman Nabi salla’Llahu ‘alaihi wa sallam, dan ia harmonis dengan ajaran Islam.[2] Tetapi pluralisme dalam erti kenisbian dalam kebenaran hakiki dan mutlak itu tidak dibolehkan dalam agama Islam.[3]

Pluralisme agama dalam erti yang dibentangkan dalam gagasan Prof Hicks yang meninggalkan sikap eksklusif Katholik, dan yang sepertinya, menganggap semua agama-agama membawa kepada ‘salvation’, menunjukkan pemikirnya tidak ada keyakinan terhadap agamanya dalam erti yang sebenarnya. Ia timbul daripada pengalaman peradaban dan budaya serta perkembangan pemikiran keagamaan Barat yang pahit dalam sejarahnya. Tidak munasabah pada akal sejahtera bagi Orang Islam yang berimamkan Quran boleh mengikut aliran yang kemuflisan dari segi rohani dan penaakulan berasaskan tauhid seperti ini. Islam mengajarkan semua pengikut autentik para nabi selamat, pengikut nabi salla’Llahu alaihi wa sallam selamat, ahli fatrah yang tidak ada nabi pada zamannya, zaman antara dua nabi, selamat, mereka yang ‘tidak sampai seru’ selamat.

Bila berhadapan dengan persoalan pluralisme agama, maka mungkin orang yang datang dari latar belakang Islam akan tergerak-gerak hatinya untuk mengemukakan bait-bait Jalaluddin al-Rumi untuk membuktikan bahawa Jalal al-Din Rumi adalah orangnya yang boleh dikemukakan sebagai peribadi yang memahami gagasan sedemikian, antaranya ialah seperti :

‘Lampu-lampu adalah banyak tetapi Cahaya adalah satu, ia datang dari Seberang Sana. Kalau anda terus menerus melihat kepada lampu anda tersesat; kerana dari situ munculnya rupa lahir bilangan dan kepelbagaian.’

Lalu dari situ dibuat kesimpulan bahawa inilah bait yang mengatasi debat-debat dan pertelingkahan, kerana orang yang mencapai pengalaman ‘mengatasi bentuk rupa’ (beyond forms) seperti Rumi sebenarnya memahami secara sarwajagat konsep-konsep yang am seperti dari mana datangnya insan? Apa matlamat hidupnya? Apa yang berlaku bila ia keluar dari hidup alam benda ini dengan maut? Dan orang sepertinya mengetahui jalan kehidupan secara rohaniah membawa kita kepada pencarian yang bersifat semesta menuntut kebenaran dan keadilan dan keutamaan moral dan etika. Kita bergembira dengan keindahan dalam diri kita dan di sekeliling kita. Kita cintakan ilmu, kedamaian dan keselamatan, tapi kita berada di tengah-tengah pelbagai rahasia dan pelbagai tidak ketentuan dalam alam sekeliling kita.

Dunia kita terpecah-pecah penuh dengan kehodohan, keganasan dan ketidakadilan; dalam ini semua agama memberi kepada kita peluang untuk merealisasi nilai-nilai yang menyatupadukan kita seperti Jalal al-Din Rumi ini. Dengan sangkaan seperti itu kita terperosok ke dalam sangkaan bahawa tokoh ini tokoh pluralisme. Tetapi kita terlupa beliau adalah Ulama Ahli Sunnah, yang berpegang dengan akidah dan Syariah, yang mengkritik penyembah berhala, Yahudi dan agama Kristian. Bahkan bila orang bertanya tentang Tuhan sebagai Jesus dalam Triniti dia menyebut dengan menunjukkan keheranan bagaimanakah orang kurus yang tinggi beberapa meter yang berlari-lari sekeliling negeri kerana dicari orang untuk dibunuh disebut sebagai Tuhan Yang mencipta alam?

Lagi pun kalaulah ada bait-bait lain yang menyebut tentang adanya pengalaman yang memberi fahaman bahawa sebenarnya tidak ada perbezaan pada peringkat tertinggi sekali dalam agama, itulah yang menyatupadukan kita, lalu difahami ia tokoh yang berbicara bahawa semua agama ada keabsahan, kita tersilap. Ini kerana, yang tokoh demikian maksudkan ialah itu bagi orang yang mencapai kehampiran dengan Tuhan pada tahap yang tertinggi –dalam mushahadah, dalam penyaksian rohaniah (atau spiritual witnessing); ia bukan merujuk kepada peringkat akal atau pengalaman biasa duniawi, ia bukan akidah. Maka kalau difahamkan bahawa itulah akidah beliau maka itu tersilap, sebab kalau akidah dia demikian mengapa pula ia menyebut kesalahan-kesalahan Yahudi, kesalahan Kristian dan penyembah berhala dengan akidah yang salah? Dan kalau kita teruskan lagi menyebut hal ini: apa ertinya mesej-mesej para nabi dan rasul dalam naratif Quran yang menentang kesyirikan, kekufuran dengan kepelbagaian bentuk dan rupanya, adakah kita menganggap mereka ‘tidak faham kesatuan agama’, kita sekarang yang memahaminya, mereka tidak, baharu sekarang kita “bertemu” dengan hakikat ini?

Dan mungkin ada orang yang datang dari kalangan Muslimin yang terpesona dengan gagasan pluralisme dalam erti ini teringin untuk menyebut Dante sebagai tokoh yang ‘mencapai’ erti pluralisme agama, mengatasi semua bentuk, yang mengedari ‘semuanya benar’ lalu menyebut baitnya yang bermaksud

“only when the waves of seductive greed are calmed and the human race rests free in the tranquillity of peace.”

[‘Hanya bila gelombang-gelombang sifat rakus diri didamaikan dan umat manusia berehat  dalam kebeningan dan kedamaian’.]

Tetapi kita perlu menyedari bahawa ajaran tentang mencapai kedamaian dalam diri dengan membebaskannya daripada kongkongan nafsu itu kebenaran yang sarwajagat, bila itu berlaku pada umat manusia dunia akan aman. Tetapi ini bukannya bukti untuk pandangan ‘semua agama adalah benar’, dan itu bukan pegangan Dante pun. Kalau demikian pegangan Dante mengapakah beliau, dalam ‘Divine Comedy’nya, dalam ‘Inferno’ meletakkan nabi Muhammad salla’Lahu ‘alaihi wa sallam dan Ali dalam neraka? Ia menyatakan nabi Muhammad sebagai ‘the chief of those who create schisms’? Ertinya dia menolak Islam, sebagaimana seorang paderi dalam program TV Larry King baru-baru ini menolak kebenaran Islam katanya mereka menyembah Tuhan yang salah! Agama mereka palsu! Jelas Dante bukan tokoh plurarisme agama dalam erti Hicks yang membicarakannya. Maka menyebut Dante dalam konteks pluralisme agama dalam erti Hicks adalah langsung tidak berkenaan.

Adakah boleh dikaitkan Dante yang membenci Islam dan nabi Muhammad dihubungkannya dengan tokoh-tokoh intelektuil dan rohani Islam termasuk al-Farabi atau ibn Rushd untuk membantu manusia berfikir tentang dunia yang perlu diamankan daripada konflik? Adakah ini caranya?

Nampaknya kata-kata Dalai Lama lebih munasabah dalam hal ini.

Orang yang terpengaruh dengan pluralisme agama seperti yang dihuraikan oleh Hicks mungkin berkata bahawa mengutamakan satu agama dalam sesebuah negara seperti menjadikan Islam sebagai agama persekutuan adalah bertentangan dengan semangat pluralisme agama, tetapi ini masih berlaku walaupun dalam demokrasi-demokrasi yang sudah teguh seperti di Eropah dan di Asia Barat dan Asia Tenggara. Dengan itu orang yang berfikir demikian mahu supaya isu asasi tentang kebebasan beragama perlu ditangani dengan disekalikan perbincangan itu dengan kebebasan dhamir atau ‘freedom of conscience’.

Pada kita Muslimin kalau seseorang itu mempunyai agama katakanlah agama Kristian yang yakin dengan kebenaran agamanya dan ia beramal dengan baik dan tidak mengganggu orang lain atau memudaratkan orang lain, maka itu diterima, walaupun agamanya berlainan dengan kita Muslimin. Di negara kita misalnya Islam adalah agama persekutuan tetapi sistem-sistem kepercayaan lain dibenarkan diamal dalam keadaan aman dan sejahtera (‘in peace and security’ tetapi jangan secara tidak aman dan tidak sejahtera).

Mereka yang terpengaruh dengan pluralisme agama dalam erti yang tersebut mungkin berpendapat bahawa apa juga agamanya seseorang itu, baik ia Islam, Kristian, Yahudi, Sikh, dan Hindu dan lain-lain lagi, mungkin mempercayai adanya kebenaran-kebenaran yang lebih tinggi (‘the higher truths’) yang mengatasi amalan-amalan lahiriah semata dan ibadat semuanya tertumpu kepada kebenaran yang satu: yakni kita semua dari Allah dan kepadaNya kita semua kembali. (Whatever the religion, whether it be Islam, Christianity, Judaism, Sikhism, Hinduism and many others, I believe that the higher truths which go beyond mere practice and ritual all converge on the singular truth: and that is from God we were sent forth and unto God shall we return).

Kalaulah pendirian yang demikian ini benar-menganggap sebagai jalan kebenaran di sisi Tuhan- maka perjuangan nabi Muhammad salla’Llahu ‘alaihi wa sallam mendepani agama penyembah berhala, agama Yahudi dan Kristian zamannya adalah tidak bererti lagi sebab semuanya tertumpu kepada kebenaran yang mengatasi bentuk-bentuk lahiriah itu. Ertinya Nabi Muhammad seolah-olah ‘tidak memahami kebenaran yang lebih tinggi’ itu, demikian juga Abu Bakar dan ‘Umar serta para sahabat lainnya. Allah meredhai mereka semuanya. Tidak pernah ada pernyataan sedemikian dalam tamadun Islam dan wacana intelektuil dan rohaniahnya. Yang disebut-sebut sedemikian berhubung dengan nama-nama seperti Ibn ‘Arabi dan Jalal al-Din Rumi, misalnya oleh Schuon dan yang sepertinya adalah perbuatan ‘menjual nama’ bukan berdasarkan hakikat yang sebenarnya. Ini boleh diperhatikan, katakanlah tentang ibn Arabi bahawa syahadahnya dalam awal ‘Futuhat’ adalah syahadah dalam akidah Ahli Sunnah wal-Jamaah, bukan “syahadah” “wahdatul wujud” yang disebut-sebut orang itu. Pencatit yang kerdil ini ada menterjemahkan syahadah wali Allah ini dalam membincangkan kontribusi Hamzah Fansuri dalam persuratan Melayu di Sibolga Sumatra tidak lama sebelum ini. Ini terjemahan syahadah itu, mungkin pertama kali, dalam bahasa Melayu.

Orang yang berfikir demikian mungkin membuat kenyataan bahawa penganjur-penganjur dalam agama-agama mungkin membuat pengakuan tentang benarnya agama mereka, dan tidak menyebut unsur-unsur yang menyatupadukan semua pihak. Dia mungkin berkata bahawa kalau kita boleh menerima perpaduan dalam kepelbagaian (unity in diversity) maka pluralisme agama menjadi tenaga yang menyatukan bukan yang memecahbelahkan. Mungkin padanya itulah jalan menuju cahaya mengelak kegelapan, jalan mengelak perang menuju kepada kedamaian dan keamanan, demikian seterusnya.

Masalah pada Muslimin yang berpegang kepada agamanya ialah pluralisme agama terletak atas asasi sangkaan pandangan yang bercanggah dengan Qur’an, Sunnah dan ijma’. Our’an datang mengajarkan kebenaran agama yang diajarkan para anbia, agama-agama yang berubah daripada yang asal itu tidak boleh kita ikuti, sebab ia bersalahan dengan ajaran tentang penasakhan agama dengan kedatangan Islam dalam wahyu dari Tuhan. Mereka, bagaimanapun, yang mengikut agama-agama mereka dengan baik, yang tidak menggangu kita, kita hidup aman dengan mereka, dan kita boleh berkerjasama dengan mereka dalam ‘commonality’ yang am seperti nabi saw dengan Orang Yahudi dan Kristian di Madinah itu. Ini diamalkan sehingga ke zaman kerajaan Othmaniah Turki dengan sistem ‘millet’nya. Ini juga berlaku di zaman kerajaan Andalusia di Sepanyol. Dan itulah yang menjadi pegangan kita; itulah yang kita yakini sebagai kebenaran. Mereka yang hendak berkongsi dengan kebenaran ini saudara kita, yang tidak memudaratkan kita, bahkan mereka hidup dengan aman damai, kita juga hidup dengan aman damai dengan mereka. Kita boleh menghormati nilai-nilai yang baik yang ada pada sistem-sistem kepercayaan (‘belief-systems’) lain tetapi pada kita agama yang diterima di sisi Allah adalah al-Islam dalam erti Islam yang dibawa oleh nabi salla’Llahu alaihi wa sallam, yang disebut dalam Qur’an, Sunnah dan ijma’ itu dengan perpanjangannya dalam wacana arusperdana umat Islam ini, bukan ‘islam’ yang ditakwil-takwil mengikut huraian peribadi berdasarkan kata kerjanya.

Maka kalau pihak yang terpengaruh dengan teori Hicks dan sepertinya dan berkata bahawa tidak kena Muslimin menolak nilai kebebasan bersuara (dalam erti Barat sekarang), kemerdekaan media, demokrasi (dalam acuan Barat secara totok), dan kemerdekaan dhamir, dan melihat budaya kepelbagaian agama sebagai percubaan untuk mencapai hegemoni, pada kita, yang tidak diterima ialah yang bercanggah dengan batasan-batasan syara’, tauhid, akhlak, dan kerohanian Islam. Aspek-aspeknya yang tidak bercanggahan dengan kita kita menerimanya; ertinya bukan menolak secara total dan bukan menerima secara total.Ini kerana panduan Islam adalah menyeluruh dan sepadu, bukan terpisah-pisah.Kalau ada kecurigaan terhadap konsep pluralisme Barat itu di kalangan Muslimin, itu ada alasannya, dengan kolonialismenya (lihat huraian Edward Said dalam ‘Culture and Imperialism’ dan ‘Orientalism’nya), kemudian sekarang globalisasi dengan kesannya parah ke atas Muslimin, kemudian falsafah pascamodernisme, yang membuahkan ‘Islam Liberal’ yang ditaja oleh mereka. Ini juga mengingatkan kita kepada Rand Corporation Report, Civil Democratic Islam laporan Cheryl Benard itu. Tetapi kita boleh terbuka dalam bertemu dengan mereka dalam ruang-ruang yang munasabah.

Kalau pihak yang berpendirian begini menggunakan nama-nama ulama terkenal, untuk ‘menjual’ konsep pluralisme ala Hicks itu kita merasakan kita perlu bercermat tentang hal ini dan melihat wacana ilmu Islam secara menyeluruh bukan dengan menebok-nebok bahagian tertentu kemudian membentangkannya seolah-olah ia mewakili sikap intelektuil Islam seluruhnya, misalnya hukum bila setengah fuqaha membuat keputusan memberi ruang kepada penganut system kepercayaan lain memutuskan hukum mengikut aturan agama mereka dalam amalan-amalan yang ‘ganjil’ seperti orang Zoroaster mengawini anak perempuannya sendiri atau yang sepertinya. Kita boleh menegaskan bahawa kita tidak tenang menerima konsep pluralisme agama dalam erti seperti yang dihuraikan oleh Hicks dan yang sepertinya kerana pada sisi wacana arusperdana Islam –yang menjadi neraca muktamad dalam umat-ini kezindikan dan kesyirikan bukan kebenaran dan tauhid.

Bila orang yang terlibat dalam pemikiran pluralisme cara Barat ini menyesali bagaimana orang Islam ‘terlupa’ kepada hikmat kebijaksanaan dalam kesarjanaan klasik Islam, maka  mungkin terlintas juga pada kalbu kita, tidak mungkinkah orang yang berkata demikian sebenarnya sudah ‘terlupa’ kepada kebijaksanaan itu, sebab itu ia memilih untuk menerima ‘pluralisme’ dalam erti mereka, dan tidak terus setia kepada wacana arusperdana umat ini yang dijamin oleh nabi salla’Llahu alaihi wa sallam akan kekal sehingga ke akhir zaman.Ini kerana keberadaan alam ini ialah kerana wacana ini dan manifestasi kebenarannya dalam hidup manusia. Kalau tidak ayat-ayat yang bermaksud ‘Tidak Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk beribadat kepadaKu [dalam Islam mengikut epistemology dan kebenaran arusperdananya’ dan ayat yang bermaksud ‘Dialah yang menjadikan tujuh lapis langit dan bumi seperti itu juga, maka turun Perintah antara itu semua supaya kamu mengetahui bahawa Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu dan bahawa Ia meliputi segalanya dalam ilmuNya’ dan ayat yang bermaksud ‘[berkait dengan  nabi Muhammad selamat di gua perlindungannya] supaya jadilah Kalimah Allah itu yang paling tinggi dan yang menentangnya paling rendah’ dan hadis sahih yang bermaksud ‘dunia ini akan kiamat bila tidak ada lagi orang yang menyebut ‘Allah’, ‘Allah,’ dan hadith yang menyebut tentang ‘kiamat berlaku bila semua manusia adalah sejahat-jahatnya’] [tidak ada lagi kebenaran hakiki yang diajarkan oleh para anbia dalam alam ini, maka alam ini hilanglah sebab bagi penerusan wujudnya. (Apa juga yang mungkin dikatakan oleh pascamodernisme dan fahaman-fahaman dari mereka seperti Hicks dan sebagainya).

Adapun tentang adanya konflik di kalangan umat manusia kerana keyakinan agama masing-masing, bila wajar, pada kita konflik umat manusia adalah perkara yang berlaku secara tabi’i, dunia dengan keadaannya sebagai dunia, bukan syurga jannatul firdaus. Kita mengelak konflik yang tidak perlu yang mesti dielakkan; tetapi kalau konflik itu dicetuskan oleh pihak lain untuk tujuan hegemoninya, kita perlu tangani dengan berkesan dan betul; kita tidak berkata bahawa oleh itu kebenaran pada kami adalah kebenaran, kebenaran yang ada pada anda adalah seperti kami, kelainan hanya sangkaan sempit yang tidak benar, timbul daripada kedangkalan akal, keadaan keladak pada roh, sebenarnya semuanya betul dan benar. Jangan kita berkelahi. Yang kita katakan ialah bahawa kebenaran itu kebenaran, dan pada kami kami yakin ada kebenaran, dan apa yang tidak benar adalah tidak benar, tapi kalau anda hendak berterusan dengan pandangan anda anda jangan ganggu kami dan mengatakan bahawa kebenaran yang ada pada kami tidak benar sebetulnya, yang sebetulnya semua benar. Kita katakan: bagi anda pegangan dan agama anda, bagi kami pegangan dan agama kami. Kalau kita bertujuan mengelak konflik lalu kita perkenalkan pluralisme hanya untuk mengelak konflik, itu ertinya kita membatalkan ajaran para anbia, rasul, ulama, mujtahidin, dan para mujjadid dalam umat ini; kita hendak meletakkan kebenaran di bawah peristiwa, bukan menghakimkan peristiwa mengikut kebenaran (we put history above truth and knowledge and not truth and knowledge above history).

Ajaran Quran ialah kita meletakkan ilmu dan kebenaran untuk menghakimkan sejarah bukan sebaliknya. Kita dengan pihak lain berhubung mengikut etika, dan kita mahu mereka berhubung dengan kita mengikut etika, dan kita berbeza pandangan dengan secara beretika, bukan dengan secara memaksa orang, termasuk memaksa ‘secara berwacana’, sebab itu terlarang, lainlah dengan ulil-amri dalam umat Islam, sebab mereka wajib kita taati selepas daripada Allah dan Rasul, melainkan dalam kemaksiatan dan kekufuran. Dijauhkan Allah. Kita tegaskan, kita berbeza pandangan dengan beretika, bukan dengan memperkenalkan ajaran kenisbian dalam ilmu dan kebenaran. Memperkenalkan pluralisme dan kenisbian dalam ilmu, kebenaran dan nilai hanya kerana hendak mengelak konflik, itu kebaculan intelektuil, rohani, moral, dan budaya; ia kemuflisan rohani dan kenaifan intelektui; maha suci Allah. Dunia adalah ‘negeri ujian’ bukan tempat memperkenalkan kenisbian dan pluralisme kerana mengelak konflik. Mereka yang memperjuangkan demokrasi secara falsafah sosial mutlak pun tidak ‘mencairkan’ demokrasi mutlak mereka untuk mengelak konflik dengan pihak lain. Mengapa kita diajar dan dipujuk untuk ‘mencairkan’ pegangan kita atas nama keabsahan kenisbian dan pluralisme? Maka dalam menegakkan kebenaran yang diredhai Allah dan Rasul kita teruji dalam hidup ini, kita redha, dan kita tidak berpegang kepada kenisbian dan pluralisme kebenaran hanya untuk mengelak konflik.

Kalaulah ada pihak yang sengaja berbicara tentang ‘clash of civilizations’ atau ‘pembenturan peradaban’ atau ‘pertentangan peradaban’ kita tidak perlu terperusuk ke dalam ‘lubang biawak’ itu (mengingatkan hadith Baginda s.a.w. tentang umat kita cenderung mengikut Ahlil-kitab sehingga memasuki lubang biawak [intelektuil] mereka), bagi kita umat manusia hendaklah dipandang dari segi kenal mengenali, memandang makhluk sebagai ‘hamba-hamba Tuhan’ baik di Timur atau di Barat, tetapi kita perlu berwaspada tentang kebenaran dan mengikutnya, serta berwaspada tentang kepalsuan dan jangan mengikutnya. Sikap kita bukan tertumpu kepada ‘orangnya’ tetapi kebenaran yang mesti dijadikan pegangan dan kepalsuan yang mesti dielakkan. Ini sedemikian penting sehingga ia wajib kita peringatkan diri tentangnya dalam bacaan sembahyang setiap rakaat. (ayat tentang mereka yang dikurniakan ni’mat dan mereka yang dimurkai Tuhan). Ma sha’Allah. Kita juga tidak memandang kepada label-label, ‘fundamentalis’kah, ‘moderate’kah, atau apa juga yang diberikan oleh pihak luar terhadap umat dan ahlinya, kita dikelas-kelaskan seperti makhluk yang dikaji dalam makmal, makmal budaya. Sebaliknya kita mesti menumpukan perhatian kepada kebenaran dalam umat yang disepakati, dengan menjaga khilaf-khilaf dalam bidang rantingnya. Kita selesaikan perbezaan, dengan beradab, mengikut ‘neraca [intelektuil dan rohani] yang betul’ (al-qistas al-mustaqim). Perbuatan label-melabel itu kita tinggalkan, kecuali ia bersesuaian dengan neraca intelektuil arusperdana umat. Inilah pendirian kita.

Tentang pengajaran daripada sejarah yang mesti dimanafaati , itu jelas dari ajaran Quran yang menyuruh manusia mendapat pengajaran daripada ‘hari-hari Allah’ yang menyebut kemenangan dan rahmat Ilahi bagi mereka yang mengikut kebenaran ajaran para anbia dan mengelak kepalsuan pihak yang menentang mereka. Sebab itu diajarkan supaya kita memberi peringatan tentang ‘hari-hari Allah’[4] dalam sejarah manusia. Demikian pula sejarah disebutkan kepada Nabi kita s.a.w. supaya baginda mendapat kekuatan hati dan keteguhan jiwa dengannya (لنثبت به فواءدك)[5].Kita tidak berbicara tentang sejarah dari segi kebebasan atau sebaliknya, sebab penekanan kita adalah ketundukan kepada Hukum dan kehendak Tuhan, sebab kita ‘khalifah’ dan ‘hamba’Nya. Bacaan sejarah sebagai ‘kebebasan’ atau ‘kehambaan’ itu bacaan pascamodernis atau bacaan liberalis, bukan bacaan secara panduan Quran, sunnah dan epistemologi arusperdana umat Muhammad ini. Maha suci Allah.

Kalau dipuji negara-negara tertentu, kerana Barat memujinya, dengan alasan ia mengamalkian ‘liberal demokrasi’ dan ia sudah berada pada ‘garis penghabisan’ berjaya, kita perlu ingat kepada fahaman memisahkan agama daripada hidup kemasyarakatan dan berkembangnya Islam yang menjadi khadam kepada falsafah pascamodernisme yang mengajarkan kepelbagaian kebenaran dan kenisbian nilai-nilai, yang semuanya menyanggahi Syariat Islam dan ajarannya tentang halal dan haram serta kebenaran dan kebatilan, pahala dan dosa. Adakah ini yang hendak dijayakan dalam negara kita yang berpegang kepada Quran dan hadith serta kefahaman tentangnya mengikut wacana dan epistemologi Sunni? Maha suci Allah. Ini mengingatkan kita kepada ajaran kaum zindik yang disebut-sebut zaman lampau dalam teks-teks Islam klasik yang masih relevan sekarang dan bila-bila sebab wacana asasi Sunni kekal sampai kiamat sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi s.a.w. dalam hadith sahih.

Kalau dalam senario semasa ada berlaku pihak yang memperjuangkan prinsip jihad kemudian itu diberi keabsahan untuk berlakunya keganasan, maka wajib diperhatikan bahawa ini tidak ada dalam takrifan jihad yang muktabar, yang cukup dengan syarat-syaratnya, yang melarang penyerangan atas mereka yang tidak berdosa, kanak-kanak dan wanita, yang melarang merosakkan gereja, tempat penyembahan agama Yahudi, dan seterusnya. Dan ini tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk sesiapa menerima pluralisme dalam erti bahawa kebenaran adalah nisbi, banyak, kalau tidak bacaan fatihah dalam sembahyang dan dalam wacana Islam tidak ada makna, sebab kita diperintah mengikut ‘al-sirat al-mustaqim’ dan mengelak ajaran dan jalan mereka yang dimurkai Allah dan jalan mereka yang sesat (المغضوب عليهم ولا الضالين) .Dan jihad dalam erti yang sahih dengan syarat-syaratnya tidak terbatal. Ia terus ada dan menjadi kewajipan bila cukup syarat-syaratnya dan kita berupaya mengamalkannya. Mungkin bagi mereka yang berpegang kepada pluralisme dalam erti yang batil menganggap jihad terhapus, hukum Tuhan terhapus (pada golongan Islam liberal ‘hukum Tuhan’ tidak ada). Dijauhkan Allah.

Kalau disebutkan bahawa dalam agama Islam kebebasan berupa satu daripada matlamat-matlamat yang lebih tinggi, kemudian disebutkan bahawa ia sama dengan apa yang ada dalam sebuah demokrasi berperlembagaan, dengan kebebasan dhamir atau ‘conscience’ manusia, kebebasan untuk menyuarakan penentangan terhadap penindasan, atau seruan kepada perbaikan dan hak atas harta, itu semua tidak boleh disamakan dengan pluralisme yang dicanangkan oleh setengah pihak yang merancang untuk kepentingan hegemoni mereka. Amalan demokrasi dalam Islam wajib taat kepada peraturan syara’ tentang halal dan haram, kebebasan dhamir atau ‘freedom of conscience’ bukan bererti sama dengan yang ditafsirkan dalam ‘The First Amendment’ bagi perlembagaan Amerika Syarikat kerana kita terpandu oleh tuntutan wahyu dalam Quran dan tuntutan sunnah nabi dalam hadith yang menyuruh kita menerima Islam sebagai kebenaran yang berdiri sebagai mewakili kebenaran agama Islam yang diajar kepada semua anbia dalam sejarah manusia. Oleh itu dhamir orang yang beriman wajib tunduk kepada tuntutan fitrah ini; yang lain mesti dielakkan sebab itu terlarang. Perlu diingatkan lagi: kebebasan dalam Islam tertakluk di bawah ajaran Allah dan Rasul bukan boleh mengikut falsafah pascamodernisme yang mengajar kebenaran yang pelbagai (‘multiple truths’); kalau demikian seruan para nabi sebagaimana yang ada dalam Quran tidak bermakna apa-apa lagi.

Akhirnya, prinsipnya kita mesti kembali kepada wacana arusperdana umat khaira ummatin ukhrijat linnas, yang hakikatnya, tidak ada wacana yang mengatasi kebenaranannya, apapun yang dikatakan oleh pihak postmodernis, Islam liberalis, pluralis agama, pihak perennalists, dan sesiapapun yang seperti mereka. Tetapi kita kena mengetahui perbezaan-perbezaan, persamaan-persamaan, dengan beradab, berdisiplin, menghormati orang lain, dalam batasan-batasan yang wajar. Dari Allah kita datang kepadaNya kita kembali.

Wallahu a’lam. Selawat dan salam kepada baginda, ahli keluarganya dan para sahabatnya, dan semua mereka yang mengikutnya dalam ihsan hingga ke hari penghabisan.Segala puji-pujian tertentu bagi Tuhan Pentadbir sekelian alam.

Sumber-sumber rujukan antaranya:

  1. Abdul Rashid Moten ,”Religious Pluralism in Democratic Societies: Challenges and Prospects for Southeast Asia, Europe, and the United States in the New Millennium”. Contemporary Southeast Asia.Journal Volume: 29. Issue: 1.  2007. pp 204 ff,2007 Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS)
  2. Brad Stetson ,Pluralism and Particularity in Religious Belief.  Praeger Publishers. Westport , CT. 1994
  3. Jeannine Hill Fletcher ,Article  Religious Pluralism in an Era of Globalization: The Making of Modern Religious Identity”. Journal : Theological Studies. Volume: 69. Issue: 2. , 2008.pp. 394 ff.
  4. J. Gordon Melton ,Article : “Religious Pluralism: Problems and Prospects” Journal: Brigham Young University Law Review. Volume: 2001. Issue: 2. , 2001.
  5. Jung H. Lee ,Article : “Problems of Religious Pluralism: a Zen Critique of John Hick’s Ontological Monomorphism” Journal: Philosophy East & West. Volume: 48. Issue: 3. Publication Year: 1998.p. 453+.
  6. Lucas Swaine ,The Liberal Conscience: Politics and Principle in a World of Religious Pluralism. Columbia University Press. New York .  2006.
  7. Michael Jinkins –  Christianity, Tolerance, and Pluralism: A Theological Engagement with Isaiah Berlin ‘s Social Theory. Routledge. New York .  2004.
  8. Peter G. Danchin – editor, Elizabeth A. Cole – editor, Protecting the Human Rights of Religious Minorities in Eastern Europe . Columbia University Press.  New York .  2002.
  9. Richard E. Wentz, The Culture of Religious Pluralism , Westview Press, 1998
  10. Richard Hughes Seager edit. with the assistance of Foreword by Ronald R. Kidd Diana L. Eck ,The Dawn of Religious Pluralism
    Voices from the World’s Parliament of Religions, 1893 ,published in Association with The Council for a Parliament of the World’s Religions
  11. S. Wesley Ariarajah, “Kenneth Cracknell, in Good and Generous Faith: Christian Response to Religious Pluralism”. Journal The Ecumenical Review. Volume: 58. Issue: 3-4. 2006.pp 400ff
  12. William C. Allen “Stephen Kaplan, Different Paths, Different Summits: A Model for Religious Pluralism”, Journal of Ecumenical Studies. Volume: 41. Issue: 1. , 2004. p 102.
  13. Harvard Pluralism project: http://www.pluralism.org/articles/eck_1993_challenge_of_pluralism?from=articles_index

[1] http://www.pluralism.org

[2] Quran Surah al-Hujurat: 13.

[3] Pluralism dalam OED yang terbesar itu ialah:no 4 ialah: The presence or tolerance of a diversity of ethnic or cultural groups within a society or state; (the advocacy of) toleration or acceptance of the coexistence of differing views, values, cultures, etc.

1924 H. KALLEN Culture & Democracy in U.S. 43 Cultural growth is founded upon Cultural Pluralism. Cultural Pluralism is possible only in a democratic society whose institutions encourage individuality in groups, in persons, [and] in temperaments. 1969 Guardian 20 Sept. 4/4 A good deal of discussion at the conference..has been about pluralism as opposed to assimilation. 1976 Times 7 Aug. 14/4 To be in favour of pluralism is to declare that one does not intend to hound or persecute theologians or catechists whose expression of faith differs from your own. 1995 N.Y. Rev. Bks. 19 Oct. 30/1 The institutions and practices of liberalism are likely to open public space to previously repressed and invisible groups, turning a merely theoretical or potential pluralism into an actual on-the-ground pluralism.

[4] Ayat bermaksud ‘Berilah peringatan kepada mereka tentang hari-hari Allah’, Surah Ibrahim:5.

[5] Al-Furqan:”32.

Ciri-ciri Fahaman Pluralisme Agama

Kertas ini adalah salah satu dari yang dibentangkan semasa Wacana Fahaman Pluralisme Agama dan Implikasinya Terhadap Masyarakat Islam:

Ciri-ciri Fahaman Pluralisme Agama[1]

Dr. Anis Malik Thoha

Perdebatan dan kontroversi tentang masalah Pluralisme kembali menghangat di Indonesia. Meskipun masalah ini sudah banyak ditulis dan didiskusikan, pro-kontra itu terus saja berlangsung. Dalam mencermati hiruk-pikuk wacana “Pluralisme” pada umumnya, dan “Pluralisme Agama” khususnya, yang tengah marak di rantau kita pada dasawarsa pertama abad ke-21 ini; pun juga dalam berbagai kesempatan mengisi berbagai workshop, seminar dan konferensi, khusus mengenai isu dan wacana tersebut, saya merasa gamang, ada sesuatu yang sangat mengusik nalar kesadaran.

Bagaimana tidak? Wacana ini sudah sedemikian melebar dan meluas, serta merambah ke berbagai ranah, dan disahami oleh berbagai kalangan – mulai dari politisi, budayawan, agamawan sampai akademik, tapi topik utama yang diwacanakan ini nyaris tidak pernah benar-benar diupayakan pendefinisiannya secara teknis atau sesuai dengan yang dimaksudkan oleh para ahlinya. Padahal inilah langkah metodologis awal yang mesti dilakukan oleh siapa pun yang interest dan berkepentingan dengan isu ini. Lebih dari itu, sebetulnya masalah ini adalah masalah tuntutan logis belaka yang niscaya, yang jika diabaikan maka secara tak terhindarkan akan menciptakan tidak saja kerancuan atau kebingungan (confusion), tapi juga pada akhirnya mengaburkan dan bahkan menyesatkan (misleading).

Para ulama kita terdahulu dari berbagai bidang dan disiplin ilmu ternyata sangat peka dan menyadari betapa krusialnya problem definisi ini sebelum mereka mengupas bahasan-bahasan di bidang masing-masing secara detail. Para fuqaha’, misalnya, begitu sistematis dalam mengupas masalah-masalah fiqh, dimulai dengan definisi-definisi yang gamblang secara lughawy maupun teknisnya: apa itu taharah, wudhu, tayammum, mandi, dsb. Tapi sayang sekali, dewasa ini model dan tradisi semacam ini tampak banyak ditinggalkan oleh kalangan kita, khususnya dalam hal berwacana Pluralisme Agama.

Entah karena sebab oversight atau apa, yang jelas pada hakekatnya tidak banyak di kalangan kita yang mencoba mengerti atau memahami, apalagi mempersoalkan problem definisi ini dengan betul dan bijak. Seakan-akan istilah Pluralisme Agama ini sudah cukup jelas dan, oleh karenanya, boleh taken for granted. Padahal, istilah “pluralisme” itu jelas-jelas istilah (baca: ideology/ajaran) pendatang yang merangsek ke alam sadar dan di-bawah-sadar kita bersama-sama dengan istilah-istilah dan ideologi-ideologi asing yang lain, seperti democracy, humanism, liberalism, dsb. yang tentu saja tidak bisa kita maknai seenak kita atau menurut “selera” dan asumsi kita.

Secara umum dapat dikatakan bahwa kebanyakan orang yang ditokohkan di kalangan kita beranggapan secara simplistis bahwa “pluralisme = toleransi”, dan “pluralisme agama = toleransi agama”. Fakta ini dapat dilihat daripada ingar-bingarnya reaksi dan respons yang cenderung “emosional” terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dikeluarkan pada tahun 2005 tentang hukum haramnya Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme (atau yang dikenal dengan SIPILIS), dan juga terhadap resolusi Muzakarah Ulama Se-Malaysia, 2006, di Negeri Perak, Malaysia, yang dibacakan oleh Mufti Perak, Datuk Dr. Harussani, yang menegaskan hukum yang sama dengan fatwa MUI.

Yang menyedihkan, anggapan atau asumsi simplistik ini tidak hanya terbatas pada kalangan “awam” (yang memang tak terdidik secara akademis dalam bidang ini), tapi hatta kalangan para tokoh atau yang ditokohkan yang memang spesialisasi akademiknya di bidang ini pun tampak begitu over-confident dengan pemahamannya yang simplistic tadi.

Salah satu contoh yang paling konkrit adalah sebuah Disertasi Doktor  di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, yang kemudian diterbitkan pada awal tahun 2009 yang lalu dengan judul Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an. Dalam buku ini tak nampak ada upaya yang serius dari pengarangnya untuk mendiskusikan definisi teori atau faham Pluralisme Agama yang menjadi topik utama bahasannya, malah terjebak pada pengertian yang keliru dan mengelirukan di atas tadi. Pembaca yang cermat tidak perlu bersusah-payah melongok kedalamnya, dari judul saja sudah cukup untuk mengetahui apa gerangan yang dimaksudkan oleh pengarangnya tentang faham Pluralisme Agama ini, yang tiada lain adalah “toleransi agama”. Fatal!

Tapi meskipun demikian, anehnya buku ini mendapat sambutan yang luar biasa oleh media massa kita, dan juga sanjungan dan pujian yang sangat berlebihan dari sederet nama orang-orang yang ditokohkan di masyakarat Indonesia dengan latar-belakang yang beragam yang jumlahnya lebih dari selusin. Hal ini semakin membuktikan betapa kacaunya dunia pemikiran dan akademik di kalangan kita.

Anggapan bahwa “pluralisme agama = toleransi agama” adalah anggapan subyektif yang jelas-jelas ditolak oleh para pakar dan penganjur pluralisme sendiri. Diana L. Eck, direktur The Pluralism Project di Universiti Harvard, Amerika Syarikat, misalnya, dalam penjelasan resminya yang berjudul “What is Pluralism?” dan diulangi dalam “From Diversity to Pluralism”,[2] menyuguhkan empat karakteristik utama untuk mendefinisikan sosok fahaman/ajaran ini secara detail. Dia menyatakan:

Here are four points to begin our thinking:

  • First, pluralism is not diversity alone, but the energetic engagement with diversity. Diversity can and has meant the creation of religious ghettoes with little traffic between or among them. Today, religious diversity is a given, but pluralism is not a given; it is an achievement. Mere diversity without real encounter and relationship will yield increasing tensions in our societies.
  • Second, pluralism is not just tolerance, but the active seeking of understanding across lines of difference. Tolerance is a necessary public virtue, but it does not require Christians and Muslims, Hindus, Jews, and ardent secularists to know anything about one another. Tolerance is too thin a foundation for a world of religious difference and proximity. It does nothing to remove our ignorance of one another, and leaves in place the stereotype, the half-truth, the fears that underlie old patterns of division and violence. In the world in which we live today, our ignorance of one another will be increasingly costly.
  • Third, pluralism is not relativism, but the encounter of commitments. The new paradigm of pluralism does not require us to leave our identities and our commitments behind, for pluralism is the encounter of commitments. It means holding our deepest differences, even our religious differences, not in isolation, but in relationship to one another.
  • Fourth, pluralism is based on dialogue. The language of pluralism is that of dialogue and encounter, give and take, criticism and self-criticism. Dialogue means both speaking and listening, and that process reveals both common understandings and real differences. Dialogue does not mean everyone at the “table” will agree with one another. Pluralism involves the commitment to being at the table — with one’s commitments.

Keempat-empat karakteristik yang diberikan oleh Diana L. Eck ini sudah sangat jelas atau self-explanatory. Tapi dalam essay pendek ini, rasanya perlu sedikit mengulas poin kedua dan ketiga.

Eck menyatakan dalam poin kedua bahwa: “pluralism is not just tolerance,” yang bermakna “pluralisme bukanlah sekedar toleransi.” Pernyataan yang lebih kurang sama juga dia sampaikan dalam keynote addressnya yang berjudul “A New Religious America: Managing Religious Diversity in a Democracy: Challenges and Prospects for the 21st Century” pada MAAS International Conference on Religious Pluralism in Democratic Societies, di Kuala Lumpur, Malaysia, Agustus 20-21, 2002. Lebih lanjut ia berkata dalam keynote addressnya:

I would propose that pluralism goes beyond mere tolerance to the active attempt to understand the other… Although tolerance is no doubt a step forward from intolerance, it does not require new neighbors to know anything about one another. Tolerance comes from a position of strength. I can tolerate many minorities if I am in power, but if I myself am a member of a small minority, what does tolerance mean? … a truly pluralist society will need to move beyond tolerance toward constructive understanding… Tolerance can create a climate of restraint, but not a climate of understanding. Tolerance is far too fragile a foundation for a religiously complex society, and in the world in which we live today, our ignorance of one another will be increasingly costly. (penegasan dari penulis)

Jadi sangat jelas sekali apa yang dimaksudkan dengan pluralisme oleh kaum pluralis sejati. Mereka tidak mengingkari pentingnya toleransi, “There is no question that tolerance is important,” kata Eck dalam makalahnya yang lain (“From Diversity to Pluralism”), tapi segera setelah itu ia tambahkan: “but tolerance by itself may be a deceptive virtue” (tetapi toleransi itu sendiri boleh jadi menjadi suatu budi-pekerti/kebaikan yang menipu). Pandangan miring terhadap toleransi ini sebetulnya sudah mulai dilantunkan kalangan pemikir pluralis semenjak tahun 60-an pada abad ke-20 yang lalu.

Sebut saja, misalnya, Albert Dondeyne yang dalam bukunya, Faith and the World, yang terbit di Dublin oleh Gill and Son pada tahun 1963, menulis: “Let us note that was what then called tolerance would be considered today as the expression of systematic intolerance. In other words, tolerance was then almost synonymous with moderate intolerance.” (Mari kita catat bahwa apa yang dahulu dinamakan toleransi, kini telah dianggap sebagai sebuah ekspresi ketidaktoleranan yang sistematis. Dalam istilah lain, toleransi dengan begitu hampir sinonim dengan intoleransi yang moderat).[3]

Bahkan sebelumnya Arnold Toynbee, seorang sejarawan Inggris terkemuka, dalam bukunya, An Historian’s Approach to Religion, yang terbit di London oleh Oxford University Press, tahun 1956, sudah mewanti-wanti bahwa “toleransi tidak akan memiliki arti yang positif,” bahkan “tidak sempurna dan hakiki, kecuali apabila manifestasinya berubah menjadi kecintaan.”[4]

Yang perlu digaris-bawahi di sini adalah bahwa bagi kalangan pluralis sejati, Pluralisme pada umumnya dan Pluralisme Agama pada khususnya bukanlah sekadar toleransi belaka, sebagaimana yang jamak di(salah)fahami oleh kalangan pentaklid pluralis. Penekanan Pluralisme lebih pada “kesamaan” atau “kesetaraan” (equality) dalam segala hal, termasuk “beragama”. Setiap pemeluk agama harus memandang sama pada semua agama dan pemeluknya. Oleh kerananya, sejatinya pandangan ini pada akhirnya akan menggerus konsep keyakinan “iman-kufur”, “tawhid-syirik”, dalam sangat sentral dalam agama Islam.

Sedangkan poin ketiga, “pluralism is not relativism, but the encounter of commitments,” penulis terus terang merasa gagal untuk dapat memahaminya dengan baik. Poin ini sebetulnya juga sudah lebih dahulu dinyatakan secar argumentative oleh John Hick, salah seorang “nabi” pluralism, dalam bukunya The Rainbow of Faiths, untuk merespons tuduhan relativisme ajaran pluralism agamanya yang diangkat oleh para pengkritiknya. Tapi saying sekali respons ini terasa hambar.[5] Begitu juga pernyataan Diana Eck, meskipun ia kemudian berusaha memberikan penjelasan bahwa: “The new paradigm of pluralism does not require us to leave our identities and our commitments behind, for pluralism is the encounter of commitments,” namun poin ini justru semakin kabur atau bahkan bercanggah dengan poin pertama. Sebab, bagi seorang beragama (apa pun agamanya), identiti dan komitmennya adalah terletak pada “keimanan akan kebenaran tunggal dan absolute agamanya”. Dalam berinteraksi atau berdepan (encounter), atau membangun hubungan, dengan pemeluk agama lain, ianya akan selalu committed pada prinsip keyakinannya tadi dan tak akan pernah kompromi atau merelatifkannya. Tetapi pertanyaan yang berbangkit kemudian adalah, pada level keyakinan, apakah mungkin seseorang yang committed memegang teguh keyakinannya yang absolute, akan dapat mengakui/menerima kebenaran agama lain? Atau dengan kata lain, apakah mungkin seseorang yang committed memegang teguh keyakinannya yang absolute akan dapat mengakui/menerima bahwa “semua agama adalah valid dan otentik”, sebagaimana yang diajarkan oleh, misalnya, John Hick?[6]

Berdasarkan penalaran seperti ini, saya berpendapat, yang ternyata banyak juga para peneliti/penulis berpendapat seperti saya, bahwa “pluralisme = relativisme”, sebab kesimpulan bahwa “semua agama adalah sama, valid dan otentik” tidak mungkin atau mustahil dapat tercapai tanpa didahului proses relitivisasi dan reduksionisasi agama-agama.[7]

Memang sedari awal konsep/fahaman/ajaran pluralisme agama ini sudah tampak jelas berbenturan dengan akal dan logika sehat, maka argumen apa pun yang dikembangkan untuk menyokongnya akan semakin menambah dan memperjelas kerancuannya.

Dari paparan ringkas ini dapat disarikan bahwa pluralisme agama sebetulnya adalah ajaran demokrasi dalam beragama yang lebih menitik-beratkan pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Sebab secara nasab, pluralism agama ini adalah “anak sah” yang terlahir dari “rahim” demokrasi. Oleh kerananya, secara geneologis pluralisme agama ini secara otomatis dan tak-terhindarkan mewarisi watak dan karakter demokrasi; diantaranya yang paling kentara dan menonjol adalah:

  1. Kesetaraan atau persamaan (equality). Ajaran pluralisme agama mengajarkan semua agama sama dan setara, tak ada yang paling baik dan tak ada yang paling buruk.
  2. Liberalisme atau kebebasan. Ajaran pluralisme agama mengajarkan hak kebebasan beragama, dalam arti keluar-masuk agama. Hari ini seseorang boleh menjadi Muslim, esok menjadi Kristen, esok lusa menjadi Hindu, dan seterusnya.
  3. Relativisme. Sebetulnya ini adalah implikasi dari kedua watak yang sebelumnya. Ajaran pluralisme agama mengajarkan kebenaran agama relative.
  4. Reduksionisme. Untuk sampai kepada kesetaraan atau persamaan, ajaran pluralisme agama telah meredusir jati-diri atau identiti agama-agama menjadi entiti yang lebih sempit dan kecil, yakni sebagi urusan pribadi (private affairs). Dengan kata lain pluralism agama itu berwatak sekular.
  5. Eksklusivisme. Ramai orang yang gagal mengidentifikasi dan memahami watak atau ciri yang satu ini. Hal ini disebabkan selama ini ajaran pluralisme agama ini diwar-warkan sebagai anti-eksklusivisme. Ia sering menyuguhkan dirinya sebagai ajaran yang “tampak” ramah dan sangat menghormati ke-berbedaan (the otherness) dan menjunjung tinggi kebebasan. Tapi pada hakikatnya, dia sebetulnya telah merampas kebebasan pihak lain dan menginjak-injak serta memberangus ke-berbedaan, apabila dia mendeklarasikan-diri sebagai pemberi tafsir/teori/ajaran tentang kemajemukan/keberagaman/keberbagaian agama-agama yang absolute benar, i.e., “bahwa semua agama sama.” Jadi sesungguhnya ia telah merampas dan menelanjangi agama-agama dari kleim kebenaran absolute-nya masing-masing untuk kemudian dimiliki dan dimonopoli oleh dirinya sendiri secara eksklusif.

Barangkali inilah ciri-ciri utama yang menonjol yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi atau mengenal-pasti sosok ajaran pluralisme agama, sehingga kita tidak keliru memahaminya dan tidak terjebak dalam ketersesatan akibat ke-tidak-tahuan yang kita ciptakan sendiri.

Kerana itu, memang umat Islam harus sangat berhati-hati dalam mengadopsi satu istilah atau fahaman yang jika tidak berhati-hati akan dapat merusak keimanannya sendiri. Islam – sejak awal kelahirannya – sudah memiliki konsep yang jelas bagaimana memandang agama lain dan bagaimana berhubungan dengan pemeluk agama lain. Seharusnya konsep inilah yang digali dan dikembangkan, bukan justru mengadopsi konsep yang lahir dari masyarakat yang selama ratusan tahun tidak mengakui, bahkan menindas keberagaman (pluralitas).


[1] Makalah ini disampaikan dalam symposium Wacana Fahaman Pluralisme Agama dan Implikasinya Terhadap Masyarakat Islam, anjuran bersama Pertubuhan Muafakat Sejahtera Masyarakat Malaysia (MUAFAKAT) dan Himpunan Keilmuan Muda (HAKIM) dengan kerjasama Jabatan Agama Islam Selangor (JAIS), pada hari Sabtu, 1 Mei 2010, bertempat di Conference Hall, Tingkat 3, Kulliyyah Ekonomi UIAM, Gombak.

[2] Masing-masing dapat diakses dan dibaca pada link berikut:  http://pluralism.org/pluralism/what_is_pluralism.php; dan http://pluralism.org/pluralism/essays/from_diversity_to_pluralism.php),

[3] Albert Dondeyne, Faith and the World (Dublin: Gill and Son, 1963), hal. 231.

[4] Arnold Toynbee, An Historian’s Approach to Religion (London: Oxford University Press, 1956), hal. 251.

[5] John Hick, The Rainbow of Faiths (London: SCM Press, 1995), hal. 50ff.

[6] Lihat John Hick, The Fifth Dimension (Oxford: One World, 2004), hal. 10, 77-79; dan bukunya, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent (London: Macmillan, [1989] reprinted 1991), hal. 247.

[7] Lihat analisis lebih lanjut dalam Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama:Tinjauan Kritis (Jakarta: Perspektif GIP, 2005).

Usrah Bulanan – Mei 2010

Usrah bulanan MUAFAKAT akan diadakan seperti berikut:

Tarikh: 4 Mei 2010 (Selasa) – mula dengan solat maghrib bersama

Tajuk: Tren Keruhaniyan di Malaysia:Kebenaran, Khurafat dan Penyelewengan Aqidah – dibentang oleh Saudara Haji Mohd Amin Hashim

Untuk baca: klik di sini

Untuk versi cetak: Tren Keruhaniyan Di Malaysia-pdf – klik

Tempat: Kediaman Sdr. Presiden, Prof Emeritus Osman Bakar

Alamat kediaman Sdr. Presiden:  No. 117, Jalan Sri Tasik Timur, Perdana Lakeview East, Cyberjaya [melepasi pejabat MDEC, Century Square dan Cyberview Lodge. Sebelum Sri Tasik Barat dan Sekolah Seri Puteri Cyberjaya].

Peta (klik pada imej untuk paparan yang lebih besar):

usrah map - OB1Zoom:

usrah map - OB2