Archive for the ‘John Hick’ Tag

Buku Baru Akan Dilancarkan Sempena SDN2012

Dua buku baru terbitan Pertubuhan Muafakat Sejahtera Masyarakat Malaysia (MUAFAKAT) akan dilancarkan sempena Seminar Dakwah Nasional pada 8-9 Oktober 2012.

Buku-buku tersebut adalah:

1. Falsafah Agama John Hick: Pengamatan Dari Kacamata Ajaran Ahli Sunnah wal-Jamaah karya Ustaz Muhammad ‘Uthman El-Muhammady

2. Pluralisme Agama Di Alam Melayu – Satu Ancaman Kepada Kesejahteraan Umat karya Datuk Ustaz Nakhaie Ahmad

Kedua-dua buku ini akan disempurnakan pelancarannya oleh YAB Tan Sri Muhyiddin bin Yassin, Timbalan Perdana Menteri Malaysia sempena Majlis Pelancaran Seminar Dakwah Nasional 2012 pada 8hb Oktober 2012 (Isnin) jam 3:00 petang di Dewan Merdeka PWTC, Kuala Lumpur.

***************************

Maklumat Seminar Dakwah Negara 2012: sila klik di sini

Cara Mudah Untuk Daftar SDN2012: sila klik di sini

Tujuan Penganjuran Seminar Dakwah Nasional 2012: sila klik di sini

Pluralisme di Indonesia: Faham dan Amalan

Kertas ini adalah salah satu dari yang dibentangkan semasa Wacana Membanteras Gerakan Pluralisme Agama & Pemurtadan Ummah:

Untuk versi cetak/pdf – Pluralisme di Indonesia – Paham dan Amalan – SA

Pluralisme di Indonesia: Paham dan Amalan

Oleh:

Dr. Syamsuddin Arif

 

Pada 29hb Julai 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat menerbitkan keputusan fatwa (Nombor 7/MUNAS VII/MUI/II/2005) berkenaan pluralisme, liberalisme dan sekularisme. Ditegaskan bahawa haram hukumnya bagi Umat Islam menganut atau mengikuti paham-paham keliru ini. Tanggapan pro dan kontra langsung bermunculan. Walaupun ramai yang akur dengan MUI, golongan yang merasa dirugikan (secara psikologis dan ekonomis) oleh fatwa tersebut segera memprotes. Sebagian mereka menyalahkan dan menyesalkan. Seorang di antaranya bahkan mengatakan MUI itu ‘tolol dan konyol’.[1] Makalah ini akan mengupas maksud pluralisme agama, dari mana asal-muasalnya, serta bagaimana ia dipahami, disiarkan dan diamalkan khususnya di negeri jiran Indonesia.

 

Maksud dan Asal-usulnya

Istilah ‘pluralisme agama’ terbilang baru. Seratus tahun yang lalu tidak ada seorang pun menyebut atau menulis tentangnya. Yang kita temukan adalah istilah convivencia (bahasa Spanyol untuk co-existence atau hidup bersama dengan rukun damai), toleration atau tolerance (dari bahasa Latin tolero, tolerare yang artinya membawa, memanggul, menanggung, menahan (to carry, bear, endure, sustain; to support, keep up, maintain).[2] Meski tidak jelas siapakah yang pertama kali menelurkan istilah pluralisme agama, paham ini dikembangkan oleh sejumlah pemikir Kristen mutakhir, yaitu Raimundo Panikkar[3] (seorang pastor Katholik kelahiran Sepanyol yang ayahnya beragama Hindu), Wilfred Cantwell Smith[4] (pengasas dan mantan pengarah Institute of Islamic Studies di McGill University Canada), Fritjhof Schuon[5] (mantan Kristen yang pergi mengembara keluar masuk pelbagai macam agama) dan John Hick[6] (profesor teologi di Claremont Graduate School California USA).

Pertama-tama mesti kita terangkan lagi perbedaan antara ‘pluralitas’ dan ‘pluralisme’ agama. Pluralitas agama adalah fakta wujudnya kepelbagaian dan perbedaan agama-agama di dunia ini. Sebagai fakta, pluralitas merupakan ketentuan Tuhan alias Sunnatullah, dan karenanya mustahil dihapuskan. Adapun pluralisme agama adalah pandangan, pikiran, sikap dan pendirian yang dipunyai seseorang terhadap realiti kepelbagaian dan fakta perbedaan tersebut. Ini pengertian umumnya. Secara khusus, pluralisme agama adalah pandangan, pikiran, keyakinan bahawa agama-agama yang bermacam-macam dan berbeda-beda itu mempunyai kesamaan dari segi ontologi, soteriologi, dan epistemologi. Seperti dikemukakan Peter Byrne, profesor di King’s College London UK, pluralisme agama merupakan persenyawaan tiga tesis. Pertama, semua tradisi agama-agama besar dunia adalah sama, semuanya merujuk dan menunjuk sebuah realitas tunggal yang transendent dan suci. Kedua, semuanya sama-sama menawarkan jalan keselamatan. Dan ketiga, semuanya tidak ada yang final. Artinya, setiap agama mesti senantiasa terbuka untuk dikritik dan ditinjau kembali.[7]

Sebagai paham baru, pluralisme agama ditawarkan menjadi alternatif kepada exclusivism dan inclusivism–dua pandangan yang konon tidak sesuai lagi untuk masyarakat modern sekarang ini. Adalah John Hick yang dengan gamblang menerangkan tiga macam paradigma (cara berpikir) dalam memandang dan menyikapi status agama lain.[8] Paradigma eksklusivisme mengajarkan bahawa keselamatan akhirat hanya akan diberikan kepada pengikut agama tertentu saja.[9]Bagi orang Nasrani, Jesus Kristus diyakini sebagai jalan paling absah, unik, normatif dan hakiki bagi keselamatan, atas dalil Yohanes 14:6: “Akulah jalan, kebenaran dan hidup. Tak seorang pun dapat sampai kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Paradigma ini tampak pada sikap Gereja Katholik Roma yang selama berabad-abad menempatkan dirinya sebagai pusat keselamatan dengan semboyan masyhur: extra ecclesiam nulla salus. Walhasil, Gereja Katholik Roma bersikap tertutup dan berpandangan negative terhadap agama-agama lain.[10] Paradigma ini juga terdapat di kalangan Gereja Protestan. Karl Barth dalam bukunya Church Dogmatics menegaskan bahawa hanya ada satu agama yang benar yaitu agama Kristen karena Tuhan menghendakiNya demikian. Penganut agama lain akan binasa di neraka. Sikap inilah yang dikatakan membentuk mentalitas tentara salib dan golongan fundamentalis, sehingga umat Islam dilihat sebagai musuh yang perlu ditaklukkan dengan jalan mengkristenkan mereka.

Paradigma inklusivisme mengatakan bahawa keselamatan Allah berlaku universal dan hadir dalam agama-agama lain dengan tetap mengakui keunikan Jesus Kristus. Bahawa ampunan dan kasih sayang Tuhan merangkul seluruh umat manusia dengan berkat kematian Jesus, terlepas apakah yang bersangkutan memeluk agama Kristen ataupun agama lain.[11] Inklusifisme menolak segala bentuk konfrontasi antar agama lain dengan Kristen. Malah sebaliknya, inklusivisme berusaha memadukan dua pengakuan teologis: adanya keselamatan agama-agama lain dan keunikan anugerah Allah dalam JesusKristus. Paradigma inilah yang dianut oleh Gereja Katholik Romase sudah Konsili Vatikan II yang konon menandai perubahan dan keterbukaan baru terhadap agama-agama lain. Peranan dan sumbangsih Karl Rahner, pakar teologi dari Jerman, dalam hal ini diketahui cukup besar. Dialah yang mencetuskan istilah ‘Kristen tanpa nama’ (anonymous Christian).[12] Tetapi menurut Hick, paradigma ini menimbulkan beberapa implikasi pelik. Apakah ianya berarti doktrin ‘tiada keselamatan di luar gereja’itu telah dibatalkan? Kalau jawabannya ‘tidak’, maka istilah ‘Kristen tanpa nama’ tersebut omong kosong belaka (empty gesture). Sebaliknya, kalau jawabannya adalah ‘ya’, maka program Kristenisasi yang digarap oleh para misionaris itu sia-sia belaka.[13] Ada pula yang mengkritik konsep anonymous Christian itu sebagai penghalang terhadap dialog yang jujur dan seimbang, atau malah justeru membawa kepada jalan buntu bagi semua agama. Konsep ini masih terperangkap dalam imperialisme teologis yang menekankan normativitas Jesus Kristus bagi agama-agama lain dan tetap memandang agama-agama lain lebih rendah dari agama Kristen, sehingga kalaupun ada dialog seperti dianjurkan Gereja Katholik pasca Konsili Vatikan II, maka yang terjadi adalah ‘dialog antara gajah dan tikus’ –meminjam istilah Paul F. Knitter.[14]

Jadi tidak mengherankan apabila John Hick lantas lebih mengedepankan ‘pluralisme’ sebagai alternatif. Paradigma ini merupakan kelanjutan dari paradigma inklusivisme yang dianggap masih plin-plan itu. “Kalau kita berpendapat bahawa keselamatan atau pembebasan itu juga berlaku dalam tradisi agama-agama besar [selain Kristen], bukankah kita semestinya terus terang mengatakan bahawa ada banyak jalan keselamatan bagi manusia dalam hubungannya dengan Tuhan?” Menurut Hick, pluralisme adalah pandangan yang menyatakan bahawa perubahan hidup manusia dari keterpusatan pada diri sendiri menuju keterpusatan pada sang Realitas tunggal (yaitu Tuhan) terjadi di dalam semua agama dalam pelbagai bentuk dan cara.[15] Paradigma ini dianggap jauh lebih baik untuk dijadikan asas dialog antara agama yang digagas oleh Gereja Vatikan. Sudah barang tentu dalam hal ini John Hick tidak sendirian. Selain tokoh-tokoh yang namanya sudah kita sebut di atas, Paul F. Knitter juga aktif menyuarakan paham ini. Menurutnya, pluralisme berangkat dari keinginan melahirkan dialog yang jujur dan terbuka sehingga seluruh pemeluk agama dapat bekerja-sama memperbaiki kehidupan dan menanggulangi penderitaan manusia di muka bumi ini. Dalihnya, terdapat suatu ‘kesamaan yang kasar’ (rough parity) pada semua agama, kata Knitter. Agama-agama selain Kristen mungkin juga sama baik dan pentingnya untuk membawa pengikut masing-masing kepada kebenaran, perdamaian dan kesejahteraan bersamaTuhan.[16]

 

Paham Pluralisme di Indonesia

Paham pluralisme dibawa ke Indonesia oleh orang-orang Kristen. Pergaulan segelintir cendekiawan Muslim dengan golongan Kristen melalui pelbagai forum dan media di tingkat nasional maupun internasional, telah memuluskan jalan masuk dan tersebarnya paham ini di kalangan Umat Islam. Ada yang pelik dalam reaksi golongan liberal terhadap fatwa MUI tentang pluralisme. Di satu sisi mereka menyoal kepahaman MUI mengenai pluralisme. Dalam fatwa bertarikh 29 Julai 2005 tersebut, MUI mendefinisikan pluralisme sebagai paham yang “mengajarkan bahawa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif.” Definisi ini dikatakan keliru, dan MUI dianggap salah paham atau tidak mengerti sama sekali. Kata mereka pluralisme tidak sama dengan relativisme dan bukan pula sinkretisme. Lantas, apa sebenarnya yang mereka maksud dan pahami dari pluralisme tersebut? Mari kita semak petikan-petikan berikut ini:

1. Ulil Abshar Abdalla mengatakan: “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar”.[17] Ulil juga menulis: “Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.”[18]

2. Budhy Munawar-Rahman, pengarang buku Islam Pluralis, menegaskan bahawa “pluralisme agama sebagai paham menyatakan bahawa semua agama mempunyai peluang untuk memperoleh keselamatan pada hari akhirat. Dengan kata lain, pluralisme [agama] memandang bahawa selain agama kita, yaitu pemeluk agama lain, juga berpotensi akan memperoleh keselamatan.”[19] Di tempat lain, Budhy menulis bahawa konsep teologi pluralis akan memberikan legitimasi kepada ‘kebenaran semua agama’, bahawa pemeluk agama manapun layak disebut sebagai ‘orang yang beriman, dengan makna ‘orang yang percaya dan menaruh percaya kepada Tuhan’. Karenanya, Budhy menyimpulkan, “yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah pluralisme antar agama, yakni pandangan bahawa siapa pun yang beriman –tanpa harus melihat agamanya apa– adalah sama di hadapan Allah. Karena, Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu.”[20]

3. Abdul Munir Mulkhan, dosen UIN Yogyakarta, menulis: “Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahawa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap Agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini kerjasama dan dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin.”[21]

4. Nurcholish Madjid, menyebutkan bahawa ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil, yaitu: pertama, sikap eksklusif dalam melihat Agama lain (Agama-Agama lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya); kedua, sikap inklusif (Agama-Agama lain adalah bentuk implisit agama kita); dan ketiga, sikap pluralis–yang bias terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya: “Agama-Agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama”, “Agama-Agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan Kebenaran-kebenaran yang sama sah”, atau “Setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah Kebenaran”. Lalu, tambahnya lagi: “Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahawa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama. Filsafat perennial juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu Agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah ‘Satu Tuhan Banyak Jalan’.”[22] Nurcholish Madjid juga menyatakan: “Jadi, pluralisme sesungguhnya adalah sebuah Aturan Tuhan (Sunnat Allah, ‘Sunnatullah’) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari.”[23]

5. Alwi Shihab, lulusan Universiti ‘Ain Syams dan mantan Menteri Luar Negeri, menulis: “Prinsip lain yang digariskan oleh al-Qur’an, adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan, dengan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi, prinsip ini memperkokoh ide mengenai pluralisme keagamaan dan menolak eksklusivisme. Dalam pengartian lain, eksklusivisme keagamaan tidak sesuai dengan semangat al-Qur’an sebab al-Qur’an tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya.”[24]

6. Sukidi, alumnus Fakultas Syariah IAIN Jakarta dan kader Muhammadiyah, menulis di sebuah koran nasional: “Dan, konsekuensinya, ada banyak kebenaran (many truths) dalam tradisi dan agama-agama. Nietzsche menegasikan adanya Kebenaran Tunggal dan justeru bersikap afirmatif terhadap banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahawa semua agama – entah Hinduisme, Buddhisme, Yahudi, Kristen, Islam, Zoroaster, maupun lainnya- adalah benar. Dan, konsekuensinya, kebenaran ada dan ditemukan pada semua agama. Agama-agama itu diibaratkan, dalam nalar Pluralisme Gandhi, seperti pohon yang memiliki banyak cabang (many), tapi berasal dari satu akar (theOne). Akar yang satu itulah yang menjadi asal dan orientasi agama-agama. Karena itu, mari kita memproklamasikan kembali bahawa pluralisme agama sudah menjadi hukum Tuhan (sunnat-ullâh) yang tidak mungkin berubah. Dan, karena itu, mustahil pula kita melawan dan menghindari. Sebagai muslim, kita tidak punya jalan lain kecuali bersikap positif dan optimistis dalam menerima Pluralisme Agama sebagai hukum Tuhan.”[25]

7. Luthfi Assyaukanie, yang memperoleh gelar masternya dari ISTAC Malaysia dan kini mengajar di Universitas Paramadina, menulis di harian ibukota: “Seorang fideis Muslim, misalnya, bisa merasa dekat kepada Allah tanpa melewati jalur shalat karena ia bisa melakukannya lewat meditasi atau ritus-ritus lain yang biasa dilakukan dalam persemedian spiritual. Dengan demikian, pengalaman keagamaan hampir sepenuhnya independen dari aturan-aturan formal agama. Pada gilirannya, perangkat dan konsep-konsep agama seperti kitab suci, nabi, malaikat, dan lain-lain tak terlalu penting lagi karena yang lebih penting adalah bagaimana seseorang bias menikmati spiritualitas dan mentransendenkan dirinya dalam lompatan iman yang tanpa batas itu.”[26]

8. Abdul Moqsith, tamatan pesantren dan alumnus UIN Jakarta, dalam disertasinya menulis: “Jika diperhatikan dengan seksama, maka jelas bahawa dalam ayat itu [QS 2:62] tidak ada ungkapan agar orang Yahudi, Nashrani, dan orang-orang Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad. Dengan mengikuti bunyi harafiah ayat tersebut, maka orang-orang beriman yang tetap dalam keimanannya, orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta melakukan amal shaleh–sekalipun tak beriman kepada Nabi Muhammad, maka mereka akan memperoleh balasan dari Allah. Pernyataan agar orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad adalah pernyataan para mufasir dan bukan ungkapan al-Quran. Muhammad Rasyid Ridla berkata tak ada persyaratan bagi orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah untuk beriman kepada Nabi Muhammad.”[27] Namun, setelah diteliti kembali, ternyata Muhammad Rasyid Ridla dalam Tafsir al-Manar justeru mengatakan bahawa QS al-Baqarah/2:62 dan al-Ma’idah/5:69 itu membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang risalah NabiMuhammad belum atau tidak sampai kepada mereka, sehingga mereka tidak diwajibkan beriman. Adapun Ahlul Kitab yang dakwah Islam telah sampai kepada mereka, menurut Rasyid Ridla, maka sesuai QS 3:199, ada lima syarat jika mereka ingin selamat di akhirat kelak. Yaitu di antaranya: (1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, yakni iman yang tidak bercampur dengan syirik atau kemusyrikan dengan disertai ketundukan yang mendorong untuk melakukan kebaikan, (2) beriman kepada al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Ini sesuai dengan hadis shahih: “Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seorangpun dari ummat sekarang ini, baik Yahud, maupun Nasrani, kemudian mereka tidak mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka” (diriwayatkan oleh Imam Muslim).

9. Azyumardi Azra, direktur Sekolah Pasca-sarjana dan mantan rektor UIN Jakarta, menulis dalam sebuah buku terbitan Fatayat NU dan Ford Foundation bahawa “Islam itu memang pluralis, Islam itu banyak, dan tidak satu. Memang secara teks, Islam adalah satu tetapi ketika akal sudah mulai mencoba memahami itu, belum lagi mengaktualisasikan, maka kemudian pluralitas itu adalah suatu kenyataan dan tidak bias dielakkan.”[28] Di sini terlihat jelas bagaimana Azyumardi gagal memahami perbedaan antara pluralisme dan pluralitas. Confusion yang menggelikan ini juga menghinggapi banyak tokoh lain yang menganggap pluralisme itu suatu keniscayaan yang urat akarnya terdapat dalam al-Qur’an seperti Dawam Rahardjo, A. Syafi’i Maarif, Siti Musdah Mulia, Nur A. Fadhil Lubis, Syafiq A. Mughni.[29]

 

Kempen dan Amalan Pluralisme di Indonesia

Upaya yang serius dan sistematis telah banyak dan terus-menerus dilakukan untuk menyiarkan paham pluralisme agama di Indonesia. Pelakunya terdiri dari seluruh lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) alias NGO maupun tokoh-tokoh yang ‘bermitra’ dengan yayasan-yayasan asing semisal The Asia Foundation, Ford Foundation, Konrad Adenauer Stiftung, dan sebagainya. Mereka yang terlibat bukan hanya menyebarkan paham ini secara asongan, tetapi juga memiliki program terencana untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam yang saat ini mereka nilai belum inklusif-pluralis. Contohnya, Jurnal Tashwirul Afkar edisi No 11 tahun 2001, menyajikan laporan utama “Menuju Pendidikan Islam Pluralis”, di mana dinyatakan bahawa “filosofi pendidikan Islam yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau menerima kebenaran agama lain mesti mendapat kritik untuk selanjutnya dilakukan reorientasi. Konsep iman-kafir, muslim-nonmuslim, dan baik-benar, yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang Islam terhadap agama lain, mesti dibongkar agar umat Islam tidak lagi menganggap agama lain sebagai agama yang salah dan tidak ada jalan keselamatan. Jika cara pandangnya bersifat eksklusif dan intoleran, maka teologi yang diterima adalah teologi eksklusif dan intoleran, yang pada gilirannya akan merusak harmonisasi agama-agama, dan sikap tidak menghargai kebenaran agama lain. Kegagalan dalam mengembangkan semangat toleransi dan pluralisme agama dalam pendidikan Islam akan membangkitkan sayap radikal Islam.”[30] Masih dalam jurnal yang sama, Amin Abdullah, rektor UIN Yogyakarta, pun menulis: “Pendidikan agama yang semata-mata menekankan keselamatan individu dan kelompoknya sendiri menjadikan anak didik kurang begitu sensitif atau kurang begitu peka terhadap nasib, penderitaan, kesulitan yang dialami oleh sesama, yang kebetulan memeluk agama lain. Hal demikian bisa saja terjadi oleh karena adanya keyakinan yang tertanam kuat bahawa orang atau kelompok yang tidak seiman atau tidak seagama adalah “lawan” secara aqidah.”[31]

 

Perkahwinan antara orang berlainan agama

Paham pluralisme yang dikembangkan di Indonesia kemudian telah dan masih terus diterjemahkan menjadi amalan sosial seperti: mengucapkan Selamat Natal (‘Merry Christmas’) kepada orang Kristen; memberi salam (ucapan ‘as-salamu ‘alaykum wa rahmatullah wa barakatuh’); dan perempuan Muslimah menikah dengan lelaki non-Muslim. Pembenaran terhadap malpraktik ini disajikan dalam buku Fiqih Lintas Agama yang digarap oleh tim penulis termasuk Nurcholish Madjid, Kautsar Azhari Noer, Zainun Kamal, Komaruddin Hidayat, Masdar F. Mas‘udi, Budhy Munawar-Rachman, Zuhairi Misrawi, Ahmad Gaus, dan Mun’im Sirry. Dalam buku yang dibiayai oleh The Asia Foundation, yayasan dari Amerika Serikat, ini tertulis bahawa “soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, di antaranya konteks dakwah Islam pada saat itu, yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahawa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya… Dan pernikahan beda agama dapat dijadikan salah satu ruang, yang mana antara penganut agama dapat saling berkenalan secara lebih dekat. Kedua, bahawa tujuan dari diberlangsungkannya pernikahan adalah untuk membangun tali kasih (mawaddah) dan tali sayang (rahmah). Di tengah rentannya hubungan antar agama saat ini, pernikahan beda agama justeru dapat dijadikan wahana untuk membangun toleransi dan kesepahaman antara masing-masing pemeluk agama. Bermula dari ikatan tali kasih dan tali sayang, kita rajut kerukunan dan kedamaian.”[32]

Siti Musdah Mulia, dosen di UIN Jakarta yang tidak dapat membedakan antara pluralitas dan pluralisme, juga memberikan alasan lain. Katanya, faktor jumlah umat Islam sebagai konteks harus dijadikan pertimbangan dan penetapan hukum, apakah situasi perang ataukah damai. Ia menulis: “Jika kita memahami konteks waktu turunnya ayat itu (QS 60:10. pen.), larangan ini sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya adalah peperangan antara kaum Mukmin dan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan dimaksudkan agar dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana kawan. Karena itu, ayat ini harus dipahami secara kontekstual. Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka larangan dimaksud tercabut dengan sendirinya.”[33] Pengamalan konkretnya telah ditunjukkan oleh Zainun Kamal, dosen UIN Jakarta, yang diketahui menjadi ‘penghuluswasta’ menikahkan puluhan –bahkan mungkin sekarang sudah ratusan– pasangan beda agama.

 

Pandangan Islam terhadap Pluralisme

Propaganda paham pluralisme agama yang makin hari makin gencar dilakukan di negera-negara Islam merupakan masalah serius yang perlu ditanggulangi secara serius pula. Adalah penting bagi setiap Muslim untuk mengetahui dari mana dan hendak ke mana pluralisme agama itu sebenarnya. Akan tetapi lebih penting lagi mereka memahami ajaran Islam khususnya yang berkaitan dengan status agama-agama lain.

Pertama, dalam aqidah Islam telah disepakati kaum Muslimin tidak ada di muka bumi ini suatu agama yang benar kecuali agama Islam, yang ajarannya membatalkan ajaran agama-agama sebelumnya. Firman Allah dalam al-Qur’an surah Al‘Imran 85: “Barangsiapa mencari agama lain selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَالإِسْلاَمِ دِيْنًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فيِ الآخِرَةِ مِنَالخَاسِرِيْنَ

Kedua, wajib hukumnya meyakini bahawa setiap orang bukan Islam alias non-Muslim, sama ada dia itu Yahudi, Nasrani, dan selain mereka itu kafir dan bakal jadi penghuni neraka, sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Bayyinah 1 dan 6: “Orang-orang kafir yakni Ahlul Kitab dan orang-orang musyrik itu tidak akan meninggalkan agamanya sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. …Sedang orang-orang kafir yakni Ahlul Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruknya mahluk”:

لَمْ يَكُنِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِوَالْمُشْرِكِيْنَ مُنْفَكِّيْنَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ…

إِنَّ الَّذِيْنَكَفَرُوْا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِيْنَ فِيْ نَارِ جَهَنَّمَخَالِدِيْنَ فِيْهَا أُوْلَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

Apalagi diriwayatkan pula dalam Shahih Muslim bahawa Rasulullah saw telah bersabda: “Demi Dia yang jiwaku ada di TanganNya, tidak seorangpun dari umat manusia yang mendengar [seruan]ku, Yahudi maupun Nasrani, kemudian mati dan belum/tidak beriman dengan ajaran yang aku bawa melainkan dia menjadi penghuni neraka”:

وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَيِسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّيمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِالنَّارِ

Ketiga, wajib hukumnya bagi seorang Muslim meyakini bahawa Taurat dan Injil itu telah dimansukhkan oleh al-Quran al-Karim, dan bahawa kedua kitab tersebut telah diubah, diselewengkan, ditambah dan dikurangi, sebagaimana jelas diterangkan di dalam al-Quran surah al-Maidah 13: “Namun karena mereka melanggar janji, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka memindahkan firman Allah dari tempat-tempatnya, dan mereka juga melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya”:

فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيْثَاقَهُمْلَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوْبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ عَنْمَوَاضِعِهِ وَنَسُوْا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوْا بِهِ

Terakhir, berdasarkan prinsip-prinsip ‘Aqidah dan Syari‘at Islam di atas, maka propaganda pluralisme agama, pendekatan agama-agama dan peleburan agama-agama adalah makar halus yang tujuannya mencampur-adukkan yang haq dengan yang batil, merusak sendi-sendi ajaran Islam, dan menyeret pemeluknya kearah pemurtadan. Firman Allah swt dalam surah al-Baqarah 217: “Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka dapat mengembalikan kamu dari agamamu [kepada kekafiran] andaikata mereka mampu” (وَلاَ يَزَالُوْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوْكُمْ عَنْ دِيْنِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوْا) dan surah an-Nisa’ 89: “Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama [dengan mereka]: وَدُّوْا لَوْ تَكْفُرُوْنَ كَمَا كَفَرُوْا فَتَكُوْنُوْنَ سَوَآءً .

Akhirnya dapat kita simpulkan bahawa pluralisme agama itu suatu doktrin, ajaran, ideologi, aqidah, keyakinan dan way of life yang mengakui semua agama adalah sama dan setara, sama benar, otentik, valid, dan merupakan jalan keselamatan yang baik.[34] Maka terang sekali bahawa pluralisme ini tidak mungkin diterima oleh orang Muslim kerana ianya bercanggah dengan ajaran Islam yang tertera di dalam kitab suci al-Qur’an dan Sunnah/Hadits Rasulullah saw.


[1] Silang pendapat mengenai fatwa haramnya pluralisme agama ini direkam oleh Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme, Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) dan Paramadina, 2010), 554- 567.

[2]Lihat misalnyaJohn Locke, A Letter Concerning Toleration (London, 1689; aslinya dalam bahasa Latin berjudul Epistola de Tolerantia) dan Voltaire, Traité sur la tolerance (Paris, 1763). Menurut kamus Oxford English Dictionary, “tolerance is the ability or willingness to tolerate the existence of opinions or behaviour that one dislikes or disagrees with; the capacity to endure continued subjection to something such as a drug or environmental conditions without adverse reaction.”

[3] Lihat R. Panikkar, The Intra-Religious Dialogue (New York: Paulist Press, 1978) = Dialog Intra Religius (Yogyakarta: Kanisius, 1994).

[4] Lihat W.C. Smith, The Meaning and End of Religion (London: S.P.C.K., 1978) = Memburu Makna Agama (Bandung: Mizan, 2004).

[5]Lihat F. Schuon, The Transcendent Unity of Religions, tr. Peter Townsend (New York: Pantheon, 1953) = Mencari Titik Temu Agama-Agama (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003).

[6] Lihat J. Hick, Problems of Religious Pluralism (New York: St Martin Press, 1985).

[7]Peter Byrne, Prolegomena to Religious Pluralism (London: Macmillan Press, 1995), 191: “The three defining theses of our version of [religious] pluralism are as follows: (1) All major religious traditions are equal in respect of making common reference to a single, transcendent reality. (2) All major [religious] traditions are likewise equal in respect of offering some means or other to human salvation. (3) All major [religious] traditions are to be seen as containing revisable, limited accounts of the nature of this reality: none is certain enough in its dogmatic formulations to provide the norm for interpreting the others.”

[8] Lihat “A Philosophy of Religious Pluralism,” dalam John Hick, Problems of Religious Pluralism (London: Macmillan, 1985), 31-38; asalnya dimuat dalam The World’s Religious Traditions: Essays in Honour of Wilfred Cantwell Smith, ed. Frank Whaling (Edinburgh: T. & T. Clark, 1984).Namun tipologi ini, katanya, pertama kali dilontarkan oleh Alan Race, Christians and Religious Pluralism (London: SCM Press, 1983).

[9]Ibid., 31: “… ‘exclusivism’ relates salvation/liberation exclusively to one particular tradition, so that it is an article of faith that salvation is restricted to this one group, the rest of mankind being either left out of account or explicitly excluded from the sphere of salvation.”

[10]Lihat F.X.E. Armada Riyanto, Dialog Agama dalam pandangan Gereja Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 23.

[11] John Hick, Problems of Religious Pluralism, 32-33 menyebut dua jenis inklusivisme, yaitu ‘juridis’ dan ‘tranformatif’: “… it is the view that God’s forgiveness and acceptance of humanity have been made possible by Christ’s death, but that benefits of this sacrifice are not confined to those who respond to it with an explicit act of faith. The juridical transaction of Christ’s atonement covered all human sins, so that all human beings are now open to God’s mercy, even though they may never have heard of Jesus Christ and why he died on the cross of Calvary. … the other [second] form of Christian inclusivism, which accepts the understanding of salvation as the gradual transformation of human life and sees this as taking place not only within Christian history but also within the context of all the other great world traditions.”

[12]Lihat Karl Rahner, “Christianity and the non-Christian Religions,” dalam Carl E. Braaten dan Robert W. Jenson, A Map of Twentieth Century Theology: Readings from Karl Barth to Radical Pluralism (Minneapolis: Fortress Press, 1995), 231-246.

[13] John Hick, Problems of Religious Pluralism, 33-34: “Both forms of inclusivism do however involve certain inner strains and certain awkward implications. How are they to be combined with the traditional extra ecclesiam [nulla salus] dogma? The best known attempt is that of Karl Rahner, with his concept of the ‘anonymous Christian’. … But the question is whether in this new context the old dogma has not been so emptied of content as no longer to be worth affirming. … is it not a somewhat empty gesture ..? Further, having thus labeled them, why persist in the aim of gathering all humankind into the Christian Church?”

[14] Lihat Paul F. Knitter, No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes Towards the World Religions (New York: Orbis Book, 1995), 14.

[15] John Hick, Problems of Religious Pluralism, 34: “If we accept that salvation/liberation is taking place within all the great religious traditions, why not frankly acknowledge that there is a plurality of saving human responses to the ultimate divine Reality? Pluralism, the, is the view that the transformation of human existence from self-centredness to Reality-centredness is taking place in different ways within the context of all the great religious traditions.”

[16] Lihat uraian lengkapnya dalam John Hick dan Paul F. Knitter, Mitos Keunikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 42-45.

[17]Wawancara di majalah GATRA, 21 Desember 2002.

[18]Lihat artikelnya berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” di harian Kompas, 18/11/2002.

[19] Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme, Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta: LSAF dan Paramadina, 2010), 553.

[20]Lihat Budhy Munawar-Rahman, “Basis Teologi Persaudaraan Antar-Agama”, dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia (Jakarta: JIL, 2002), 51-53.

[21]Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), 44. Dalam bukunya yang berjudul Satu Tuhan Beribu Tafsir, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), Mulkhan juga menulis: “Mereka bisa masuk surga dan berbuat saleh dengan cara mereka sendiri dan paham keagamaan yang banyak dipengaruhi tingkat sosial dan ekonomi masing-masing. Dari sini mungkin bisa dibayangkan ‘kamar-kamar surga’ yang berbeda-beda, sesuai cara, media dan paham keagamaan setiap orang dan kelas sosialnya.Karena itu, bisa jadi ada ‘kamar surga’ bagi Muhammadiyah yang berbeda dengan ‘kamar surga’ pengikutNU, pengikut Syiah ataupun Ahmadiyah. Bahkan, bisa dibayangkan ‘kamar surga’ bagi pemeluk agama berbeda dan partai politik yang berbeda. Rasionalisasi kesurgaan atau keagamaan di atas, mungkin dipandang ‘main-main’.Namun hal itu penting dan strategis bagi pengembangan tafsir keagamaan di tengah kemungkinan lahirnya ‘agama baru’. Melalui tafsir baru akan terbuka menghindari konflik akibat beda paham keagamaan yang terus melanda negeri ini dan juga berbagai belahan dunia lainnya.” (Ibid.,124-125).

[22]Lihat buku Tiga Agama Satu Tuhan (Bandung: Mizan, 1999), xix. Bandingkan dengan pandangan-pandangannya dalam Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, ed. Mun‘im A. Sirry (Jakarta: Paramadina, 2003), 17-61.

[23]Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1995), lxxvii.

[24]Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1997), 108-109.

[25]Lihat artikelnya di koranJawa Pos (11/1/2004).

[26]Lihat artikelnya di harian Kompas, 3/9/2005.

[27]Lihat bukunya, Argumen Pluralisme Agama (Jakarta: Katakita, 2008).

[28]Dalam Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, ed. Sururin (Jakarta: Fatayat NU&Ford Foundation, 2005), 150.

[29]Untuk catatan terperincinya lihat Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme, Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta: LSAF dan Paramadina, 2010), 555-609.

[30]Khamami Zada, “Membebaskan Pendidikan Islam:Dari Eksklusivisme menuju Inklusivisme dan Pluralisme,” JurnalTashwirul Afkar, edisi No 11 tahun 2001.

[31]M. Amin Abdullah, “Pengajaran Kalam dan Teologi di Era Kemajemukan: Sebuah Tinjauan Materi dan Metode Pendidikan Agama,”Jurnal Tashwirul Afkar, edisi No 11 tahun 2001. Sebagai rektor UIN Yogyakarta,Prof. Amin Abdullah juga tercatat sebagai perintis berdirinya program studi doktor lintas agama (InterreligiousPhD program) hasil kerjasama UIN Yogya, UGM, dan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW).Program studi lintas agama ini dipimpin oleh Prof. Bernard Adeney Risakotta, seorang Kristen asal AmerikaSerikat.Program ini baru dibuka tahun 2007. (Lihat website ICRS:www.icrsyogya.net).

[32]LihatFiqih Lintas Agama, ed. Mun’im Sirry (Jakarta: Paramadina&The Asia Foundation, 2004), 164.

[33]LihatSiti Musdah Mulia, Muslimah Reformis (Bandung: Mizan, 2005), 63.

[34]Lihat Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme, Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta: LSAF dan Paramadina, 2010), 581, 614, 717.

Beberapa Isu Dalam Pluralisme Agama – Satu Pengamatan Ringkas

Kertas ini adalah salah satu dari yang dibentangkan semasa Wacana Membanteras Gerakan Pluralisme Agama & Pemurtadan Ummah:

Untuk versi cetak/pdf – Beberapa Isu Dalam Pluralisme Agama – UEM

بسم الله الرحمن الرحيم

نحمده ونصلى على رسوله الكريم

Beberapa Isu Dalam Pluralisme Agama

– Satu Pengamatan Ringkas[*]

 

Oleh:

Al-faqir ila’Llah Muhammad ‘Uthman El-Muhammady[**]

Bila berbicara tentang agama dalam erti agama sarwajagat yang dibawa oleh para anbia’ ‘alaihimussalatu wassalam sebagaimana yang ada dalam naratif Qur’an al-Karim, maka ada beberapa perkara awal yang perlu dicamkan. Antaranya ia adalah agama tauhid, agama hanif, yang kebenarannya tidak berubah-ubah, kerana agama itu adalah berdasarkan kepada fitrah, sebagaimana yang dinyatakan dalam surah al-Rum; fitrah kejadian manusia juga tidak berubah dengan dimensi-dimensinya yang diisyaratkan oleh peristiwa ta’lim al-asma’, pengajaran ‘segala nama’ oleh Allah terhadap Adam a.s. Syariat-syariat dalam setengah daripada detail-detailnya boleh berubah, yang lain tidak. Antaranya juga ialah bahawa Allah adalah al-Muhaimin, Maha penjaga, maka Ia menjaga agamaNya, dan menjaga Qur’an dan erti-ertinya, dan Qur’an pula, pada pihaknya, diturunkan sebagai ‘muhaimin’ atau pengawal atas erti-erti asasi agama; kerana itu ia mengadakan pembetulan-pembetulan terhadap agama Ahlil-kitab dan lainnya bila agama-agama itu teralih daripada pendirian asalnya tentang tauhid misalnya.

Para mujaddid pula muncul dalam sejarah Islam bagi ‘membaharukan semula’ amalan agama yang menjadi lemah, atau terubah daripada amalan asal. Para ulama adalah golongan yang menjaga agama ini dengan pihak-pihak yang bersama dengan mereka dalam usaha yang mulia ini. Dengan itu ulama sebenarnya adalah pewaris para anbia; dengan itu kedudukan mereka adalah ‘Seperti anbia di kalangan Bani Isra’il’, apa juga status kenyataan yang berkenaan itu dilihat dari segi ilmu hadith. Kebenaran wacana arusperdana umat ini-yang diisyaratkan oleh ayat tentang ‘sabil al-mu’minin’ dan hadith berkenaan dengan ijma’, diingatkan setiap hari dalam al-fatihah, – ini terjamin wujud sehingga ke akhir zaman, dan pihak yang menyalahi pendirian ini tidak mendatangkan mudarat atas agama (la yadurruhum man khalafahum). Maka dalam konteks otoritas ajaran agama para anbia’ yang jelas dalam Qur’an dan Sunnah terjamin kebenarannya.

Dalam konteks fahaman agama dan epistemologi arusperdana demikian ini paling janggal sekali kalau ada individu-individu yang dinisbahkan kepada ilmu Islam dan dakwah menjadi tertarik kepada konsep ‘kebenaran yang pelbagai’ (‘multiple truths’) yang berupa penyakit intelektuil dan rohani yang muncul kebelakangan ini dan ditaja oleh setengah-setengah ahli akademik dan ilmiah dari luar Islam. Bagaimanapun, akhir zaman dengan sifat-sifatnya yang dinyatakan dalam hadith-hadith mempengaruhi setengah orang; dan mungkin ada mereka di kalangan Muslimin yang boleh tertarik hati, selepas beberapa dekad dalam menjalankan kegiatan dakwah dan keilmuan di Dunia Melayu Sunni ini, kepada aliran-aliran baharu yang muncul di Barat, seperti misalnya aliran ‘pluralisme agama’ atau ‘religious pluralism’ dan memandangnya sebagai aliran yang paling absah dari segi intelektuil dan rohaninya; maka kalau perkara yang sedemikian itu berlaku, sudah tentu atas nama rasa kasihan belas terhadap umat – termasuk pihak yang berkenaan – timbul di dada kita rasa sayu yang tidak terkira bila mengingatkan bahawa mereka yang asalnya terlibat dalam dakwah, berfikiran sayangkan bangsa dan watan, terlibat dalam kalangan para penerajunya, terpengaruh dengan gerakan Islam (terkesan dengan pemikiran Maududi, Hassan al-Banna, Syed Qutb, dan yang sepertinya), akhirnya menjadi pendokong aliran John Hick, walaupun ini tidak dinyatakan dengan terang-terangan, dengan aliran pluralisme agama dengan implikasi-implikasi rohaniah terakhir. Allahumma sallimna wa ’l-Muslimin.

Berlatarbelakangkan ‘serangan intelektuil Barat’ atas umat ini dalam bentuk ‘pluralisme agama’ diperturunkan dalam nota sederhana ini beberapa pengamatan tentang fenomena ini sebagai respon awalan terhadapnya.

Pluralisme yang ditakrifkan sebagai kenyataan pluralisme (‘sheer fact of pluralism’) (seperti dalam laman web projek pluralisme Universiti Harvard, antara lainnya)[1] sebagai keberadaan pelbagai agama dalam sesebuah negara atau masyarakat –dalam erti ini pluralisme diamalkan dalam Islam walaupun di Madinah di zaman Nabi salla’Llahu ‘alaihi wa sallam dan kemudiannya seperti di Andalusia dan kerajaan Othmaniah Turki. Demikian pula pluralisme agama dalam erti adanya ruang awam di mana para penganut pelbagai agama bertemu dan berhubung serta mengadakan interaksi untuk saling memahami antara satu sama lain, itu juga sesuatu yang diterima dalam Islam, kerana kelainan umat manusia dalam kelompok-kelompok dan bangsa wujud untuk saling kenal mengenali antara sesama mereka sebagai bani Adam; ini juga diterima dalam Islam semenjak zaman Nabi salla’Llahu ‘alaihi wa sallam, dan ia harmonis dengan ajaran Islam.[2] Tetapi pluralisme dalam erti kenisbian dalam kebenaran hakiki dan mutlak , yang mengajarkan tidak ada kebenaran mutlak yang boleh dicapai, dan tidak ada ajaran asasi yang menjamin keselamatan dan kebahagian, itu tidak diterima, bahkan ditolak dalam agama Islam.[3] Agama Islam datang dalam pusingan nubuwwah terakhir dalam sejarah umat manusia, yang selepas daripadanya tidak ada lagi nubuwwah dan kerasulan; dan ia datang sebagai saksi atas sekelian ajaran di dunia, dan Nabi Muhammad sallahu ‘alaihi wa sallam datang sebagai saksi atas umat ini.

Pluralisme agama dalam erti yang dibentangkan dalam gagasan Prof Hick yang meninggalkan sikap eksklusif Katholik, dan yang sepertinya, menganggap semua agama-agama membawa kepada ‘salvation’, menunjukkan pemikirnya tidak ada keyakinan terhadap agamanya dalam erti yang sebenarnya. Ia timbul daripada pengalaman peradaban dan budaya serta perkembangan pemikiran keagamaan Barat yang pahit dalam sejarahnya. Tidak munasabah pada akal sejahtera bagi Orang Islam yang berimamkan Quran boleh mengikut aliran yang kemuflisan dari segi rohani dan penaakulan berasaskan tauhid seperti ini. Islam mengajarkan semua pengikut autentik para nabi selamat, pengikut nabi salla’Llahu alaihi wa sallam selamat, ahli fatrah yang tidak ada nabi pada zamannya, zaman antara dua nabi, selamat, mereka yang ‘tidak sampai seru’ selamat.

Bila berhadapan dengan persoalan pluralisme agama, maka mungkin orang yang datang dari latar belakang Islam akan tergerak-gerak hatinya untuk mengemukakan bait-bait Jalaluddin al-Rumi untuk membuktikan bahawa beliau (Jalal al-Din Rumi) adalah orangnya yang boleh dikemukakan sebagai peribadi yang memahami dan menerima gagasan sedemikian, antaranya ialah seperti :

‘Lampu-lampu adalah banyak tetapi Cahaya adalah satu, ia datang dari Seberang Sana. Kalau anda terus menerus melihat kepada lampu anda tersesat; kerana dari situ munculnya rupa lahir bilangan dan kepelbagaian.’

Lalu dari situ dibuat kesimpulan bahawa inilah bait yang mengatasi debat-debat dan pertelingkahan, kerana orang yang mencapai pengalaman ‘mengatasi bentuk rupa’ (beyond forms) seperti Rumi sebenarnya memahami secara sarwajagat konsep-konsep yang am seperti dari mana datangnya insan? Apa matlamat hidupnya? Apa yang berlaku bila ia keluar dari hidup alam benda ini dengan maut? Dan orang sepertinya mengetahui jalan kehidupan secara rohaniah membawa kita kepada pencarian yang bersifat semesta menuntut kebenaran dan keadilan dan keutamaan moral dan etika. Kita bergembira dengan keindahan dalam diri kita dan di sekeliling kita. Kita cintakan ilmu, kedamaian dan keselamatan, tapi kita berada di tengah-tengah pelbagai rahasia dan pelbagai tidak ketentuan dalam alam sekeliling kita.

Dunia kita terpecah-pecah penuh dengan kehodohan, keganasan dan ketidakadilan; dalam ini semua agama memberi kepada kita peluang untuk merealisasi nilai-nilai yang menyatupadukan kita seperti Jalal al-Din Rumi ini. Dengan sangkaan seperti itu kita terperosok ke dalam sangkaan bahawa tokoh ini, yakni Jalal al-Din Rumi, adalah tokoh pluralisme. Tetapi kita terlupa bahawa beliau adalah Ulama Ahli Sunnah, yang berpegang dengan akidah dan Syariah, yang mengkritik penyembah berhala, Yahudi dan agama Kristian. Bahkan bila orang bertanya tentang Tuhan sebagai Jesus dalam Triniti dia menyebut dengan menunjukkan keheranan bagaimanakah orang kurus yang tinggi beberapa meter yang berlari-lari sekeliling negeri kerana dicari orang untuk dibunuh disebut sebagai Tuhan Yang mencipta alam?

Lagi pun kalaulah ada bait-bait lain yang menyebut tentang adanya pengalaman yang memberi fahaman bahawa sebenarnya tidak ada perbezaan pada peringkat tertinggi sekali dalam agama, peringkat hakikat yang mengatasi semua rupa bentuk, itulah yang menyatupadukan kita, lalu difahami ia tokoh yang berbicara bahawa semua agama ada keabsahan, kita tersilap. Ini kerana, yang tokoh demikian maksudkan ialah itu bagi orang yang mencapai kehampiran dengan Tuhan pada tahap yang tertinggi –dalam mushahadah, dalam penyaksian rohaniah (atau spiritual witnessing); ia bukan merujuk kepada peringkat Akal, mental,  atau pengalaman biasa duniawi, lagi pula  ia bukan akidah. Maka kalau difahamkan bahawa itulah akidah beliau maka itu tersilap, sebab kalau akidah dia demikian mengapa pula ia menyebut kesalahan-kesalahan Yahudi, kesalahan Kristian dan penyembah berhala dengan akidah yang salah? Dan kalau kita teruskan lagi menyebut hal ini: apa ertinya mesej-mesej para nabi dan rasul dalam naratif Quran yang menentang kesyirikan, kekufuran dengan kepelbagaian bentuk dan rupanya, adakah kita menganggap mereka ‘tidak faham kesatuan agama’, medreka tidak sampai lepada ‘kebenaran yang mengtatasi segalarupa rupa bentuk’ (truth beyond forms’) kita sekarang yang memahaminya, mereka tidak, baharu sekarang kita “bertemu” dengan hakikat ini? Subhana’Llah.

Dan mungkin ada orang yang datang dari kalangan Muslimin yang terpesona dengan gagasan pluralisme dalam erti ini teringin untuk menyebut Dante penyaer agung Itali dengan ‘Divine Comedy’nya , sebagai tokoh yang ‘mencapai’ erti pluralisme agama, berpegang kepadanya,  mengatasi semua bentuk, yang mengedari ‘semuanya benar’ lalu menyebut baitnya yang bermaksud

“only when the waves of seductive greed are calmed and the human race rests free in the tranquillity of peace.”

[‘Hanya bila gelombang-gelombang sifat rakus diri didamaikan dan umat manusia berehat  dalam kebeningan dan kedamaian’.]

Tetapi kita perlu menyedari bahawa ajaran tentang mencapai kedamaian dalam diri dengan membebaskannya daripada kongkongan nafsu itu kebenaran yang sarwajagat, dan bila itu berlaku pada umat manusia dunia akan aman. Tetapi ini bukannya bukti untuk pandangan ‘semua agama adalah benar’, dan itu bukan pegangan Dante pun. Kalau demikian pegangan Dante mengapakah beliau, dalam ‘Divine Comedy’nya, dalam ‘Inferno’ meletakkan Nabi Muhammad salla’Lahu ‘alaihi wa sallam dan Ali dalam neraka? Ia menyatakan Nabi Muhammad sebagai ‘the chief of those who create schisms’? Ertinya dia menolak Islam, sebagaimana seorang paderi dalam program TV Larry King baru-baru ini menolak kebenaran Islam katanya mereka menyembah Tuhan yang salah! Agama mereka palsu! Jelas bahawa Dante bukan tokoh plurarisme agama dalam erti John Hick yang membicarakannya. Maka menyebut Dante dalam konteks pluralisme agama dalam erti Hick adalah langsung tidak berkenaan.

Adakah boleh dikaitkan Dante yang membenci Islam dan Nabi Muhammad dihubungkannya dengan tokoh-tokoh intelektuil dan rohani Islam termasuk al-Farabi atau ibn Rushd untuk membantu manusia berfikir tentang dunia yang perlu diamankan daripada konflik? Adakah ini caranya?

Nampaknya kata-kata Dalai Lama lebih munasabah dalam hal ini. Beritanya ialah bagaimana dalam suatu ceramah di Madrid, Dalai Lama membuat rayuan kepada Barat supaya jangan memeluk agama Buddha sebagai fesyen budaya (‘cultural fashion’). “I am a Buddhist“, the Dalai Lama added “Therefore, Buddhism is the only truth for me, the only religion. To my Christian friend, Christianity the only truth, the only religion.To my Muslim friend, Mohammadenism (should be Islam-UEM) is the only truth, the only religion. In the meantime I respect and admire my Christian friend and my Muslim friend. If by unifying you mean mixing, that is impossible, useless” (http://www.tibet.net).

Ertinya: “Saya penganut Buddha’ Dalai Lama menambah kenyataannya, “Oleh itu agama Buddha sahaja kebenaran bagi saya, agama satu-satunya. Bagi kawan saya yang beragama Kristian, agama Kristian sahaja kebenaran, itu sahaja agama yang benar. Bagi kawan saya penganut agama Islam, agama Muhammad (sepatutnya ‘Islam’-UEM) sahaja berupa kebenaran, berupa agama satu-satunya. Dalam pada itu saya menghormati dan mengkagumi kawan saya yang beragama Kristian dan yang beragama Islam. Kalaulah menyatupadukan itu maksudnya mencampur-adukkan itu mustahil, dan tidak berfaedah.”

Selain daripada itu adakah kita boleh samakan pendirian dan sikap Dante dengan Ibn Rushd dan al-Farabi? Adalah sukar sekali kita hendak mempertahankan pendirian ini sebab ibn Rushd adalah seorang Fakih yang mahir tentang Syariat dan yakin dengan Islam, berpegang kepada ijma’, berpegang kepada kebenaran Islam bukan yang lain, dan ia bukan pluralis dalam erti Hick dalam memahami Islam; demikian pula al-Farabi; kalau tidak mereka ‘berhenti’ daripada menjadi Orang Islam. Dan ini tidak berlaku.

Orang yang terpengaruh dengan pluralisme agama seperti yang dihuraikan oleh Hick mungkin berkata bahawa mengutamakan satu agama dalam sesebuah negara seperti menjadikan Islam sebagai agama persekutuan adalah bertentangan dengan semangat pluralisme agama, tetapi ini masih berlaku walaupun dalam demokrasi-demokrasi yang sudah teguh seperti di Eropah dan di Asia Barat dan Asia Tenggara. Dengan itu orang yang berfikir demikian mahu supaya isu asasi tentang kebebasan beragama perlu ditangani dengan disekalikan perbincangan itu dengan kebebasan dhamir atau ‘freedom of conscience’.

Pada kita Muslimin kalau seseorang itu mempunyai agama katakanlah agama Kristian yang yakin dengan kebenaran agamanya dan ia beramal dengan baik dan tidak mengganggu orang lain atau memudaratkan orang lain, dan ia mentaati undang-undang negeri itu, maka itu diterima, walaupun agamanya berlainan dengan kita Muslimin. Di negara kita misalnya Islam adalah agama persekutuan tetapi sistem-sistem kepercayaan lain dibenarkan diamal dalam keadaan aman dan sejahtera (‘in peace and security’ tetapi jangan secara tidak aman dan tidak sejahtera).

Mereka yang terpengaruh dengan pluralisme agama dalam erti yang tersebut mungkin berpendapat bahawa apa juga agamanya seseorang itu, baik ia Islam, Kristian, Yahudi, Sikh, dan Hindu dan lain-lain lagi, mungkin mempercayai adanya kebenaran-kebenaran yang lebih tinggi (‘the higher truths’) yang mengatasi amalan-amalan lahiriah semata dan ibadat semuanya tertumpu kepada kebenaran yang satu: yakni kita semua dari Allah dan kepadaNya kita semua kembali. (Whatever the religion, whether it be Islam, Christianity, Judaism, Sikhism, Hinduism and many others, I believe that the higher truths which go beyond mere practice and ritual all converge on the singular truth: and that is from God we were sent forth and unto God shall we return).

Kalaulah pendirian yang demikian ini benar-menganggap sebagai jalan kebenaran di sisi Tuhan- maka perjuangan Nabi Muhammad salla’Llahu ‘alaihi wa sallam mendepani agama penyembah berhala, agama Yahudi dan Kristian zamannya adalah tidak bererti lagi sebab semuanya tertumpu kepada kebenaran yang mengatasi bentuk-bentuk lahiriah itu. Ertinya Nabi Muhammad seolah-olah ‘tidak memahami kebenaran yang lebih tinggi’ itu, demikian juga Abu Bakar dan ‘Umar serta para sahabat lainnya. Allah meredhai mereka semuanya. Tidak pernah ada pernyataan sedemikian dalam tamadun Islam dan wacana intelektuil dan rohaniahnya. Yang disebut-sebut sedemikian berhubung dengan nama-nama seperti Ibn ‘Arabi dan Jalal al-Din Rumi, misalnya oleh Schuon dan yang sepertinya adalah perbuatan ‘menjual nama’ bukan berdasarkan hakikat yang sebenarnya. Ini boleh diperhatikan, katakanlah tentang ibn Arabi bahawa syahadahnya dalam awal ‘Futuhat’ adalah syahadah dalam akidah Ahli Sunnah wal-Jamaah, bukan “syahadah” “wahdatul wujud” yang disebut-sebut orang itu.

Pencatit yang kerdil ini ada menterjemahkan syahadah wali Allah ini dalam membincangkan kontribusi Hamzah Fansuri dalam persuratan Melayu di Sibolga Sumatra tidak lama sebelum ini. Ini terjemahan syahadah itu, mungkin pertama kali, dalam bahasa Melayu.

Orang yang berfikir demikian mungkin membuat kenyataan bahawa penganjur-penganjur dalam agama-agama mungkin membuat pengakuan tentang benarnya agama mereka, dan tidak menyebut unsur-unsur yang menyatupadukan semua pihak. Dia mungkin berkata bahawa kalau kita boleh menerima perpaduan dalam kepelbagaian (unity in diversity) maka pluralisme agama menjadi tenaga yang menyatukan bukan yang memecahbelahkan. Mungkin padanya itulah jalan menuju cahaya mengelak kegelapan, jalan mengelak perang menuju kepada kedamaian dan keamanan, demikian seterusnya.

Masalah pada Muslimin yang berpegang kepada agamanya ialah pluralism agama terletak atas asas sangkaan pandangan yang bercanggah dengan Qur’an, Sunnah dan ijma’. Our’an datang mengajarkan kebenaran agama yang diajarkan para anbia, sebab itu dinyatakan ‘musaddiqan baina yadaih’, membenarkan apa yang sebelumnya, agama-agama yang berubah daripada yang asal itu tidak boleh kita ikuti, sebab ia bersalahan dengan ajaran tentang penasakhan agama dengan kedatangan Islam sebagai wahyu dari Tuhan. Mereka, bagaimanapun, yang mengikut agama-agama mereka dengan baik, yang tidak menggangu kita, kita hidup aman dengan mereka, dan kita boleh berkerjasama dengan mereka dalam ‘commonality’ yang am seperti Nabi s.a.w. melakukan kerjasama dengan Orang Yahudi dan Kristian di Madinah itu. Ini diamalkan sehingga ke zaman kerajaan Othmaniah Turki dengan sistem ‘millet’nya, yang mengikut mendiang Edward Said tidak dilaksanakan di zaman moden ini. Ini juga berlaku di zaman kerajaan Andalusia di Sepanyol. Dan itulah yang menjadi pegangan kita; itulah yang kita yakini sebagai kebenaran. Mereka yang hendak berkongsi dengan kebenaran ini saudara kita, yang tidak memudaratkan kita, bahkan mereka hidup dengan aman damai, kita juga hidup dengan aman damai dengan mereka.

Kita boleh menghormati nilai-nilai yang baik yang ada pada sistem-sistem kepercayaan (‘belief-systems’) lain tetapi pada kita agama yang diterima di sisi Allah adalah al-Islam dalam erti Islam yang dibawa oleh Nabi salla’Llahu alaihi wa sallam, yang disebut dalam Qur’an, Sunnah dan ijma’ itu dengan perpanjangannya dalam wacana arusperdana umat Islam ini, bukan ‘islam’ yang ditakwil-takwil mengikut huraian peribadi berdasarkan kata kerjanya.

Maka kalau pihak yang terpengaruh dengan teori Hick dan sepertinya dan berkata bahawa tidak kena Muslimin menolak nilai kebebasan bersuara (dalam erti Barat sekarang), kemerdekaan media, demokrasi (dalam acuan Barat secara totok), dan kemerdekaan dhamir, dan melihat budaya kepelbagaian agama sebagai percubaan untuk mencapai hegemoni, pada kita, yang tidak diterima ialah yang bercanggah dengan batasan-batasan syara’, tauhid, akhlak, dan kerohanian Islam. Aspek-aspeknya yang tidak bercanggahan dengan kita kita menerimanya; ertinya bukan menolak secara total dan bukan menerima secara total. Ini kerana panduan Islam adalah menyeluruh dan sepadu, bukan terpisah-pisah. Kalau ada kecurigaan terhadap konsep pluralisme Barat itu di kalangan Muslimin, itu ada alasannya, dengan kolonialismenya (lihat huraian Edward Said dalam ‘Culture and Imperialism’ dan ‘Orientalism’nya), kemudian sekarang globalisasi dengan kesannya parah ke atas Muslimin, kemudian falsafah pascamodernisme, yang membuahkan ‘Islam Liberal’ yang ditaja oleh mereka. Ini juga mengingatkan kita kepada Rand Corporation Report, Civil Democratic Islam laporan Cheryl Benard itu. Tetapi kita boleh terbuka dalam bertemu dengan mereka dalam ruang-ruang yang munasabah.

Kalau pihak yang berpendirian begini menggunakan nama-nama ulama terkenal, untuk ‘menjual’ konsep pluralisme ala Hick itu kita merasakan kita perlu bercermat tentang hal ini dan melihat wacana ilmu Islam secara menyeluruh bukan dengan menebok-nebok bahagian tertentu kemudian membentangkannya seolah-olah ia mewakili sikap intelektuil Islam seluruhnya, misalnya hukum bila setengah fuqaha membuat keputusan memberi ruang kepada penganut sistem kepercayaan lain memutuskan hukum mengikut aturan agama mereka dalam amalan-amalan yang ‘ganjil’ seperti orang Zoroaster mengawini anak perempuannya sendiri atau yang sepertinya. Kita boleh menegaskan bahawa kita tidak tenang menerima konsep pluralisme agama dalam erti seperti yang dihuraikan oleh Hick dan yang sepertinya kerana pada sisi wacana arusperdana Islam –yang menjadi neraca muktamad dalam umat-ini kezindikan dan kesyirikan bukan kebenaran dan tauhid.

Bila orang yang terlibat dalam pemikiran pluralisme cara Barat ini menyesali bagaimana orang Islam ‘terlupa’ kepada hikmat kebijaksanaan dalam kesarjanaan klasik Islam, maka mungkin terlintas juga pada kalbu kita, tidak mungkinkah orang yang berkata demikian sebenarnya sudah ‘terlupa’ kepada kebijaksanaan itu, sebab itu ia memilih untuk menerima ‘pluralisme’ dalam erti mereka, dan tidak terus setia kepada wacana arusperdana umat ini yang dijamin oleh Nabi salla’Llahu alaihi wa sallam akan kekal sehingga ke akhir zaman. Ini kerana keberadaan alam ini ialah kerana wacana ini dan manifestasi kebenarannya dalam hidup manusia. Kalau tidak ayat-ayat yang bermaksud ‘Tidak Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk beribadat kepadaKu’ [dalam Islam mengikut epistemologi dan kebenaran arusperdananya] dan ayat yang bermaksud ‘Dialah yang menjadikan tujuh lapis langit dan bumi seperti itu juga, maka turun Perintah antara itu semua supaya kamu mengetahui bahawa Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu dan bahawa Ia meliputi segalanya dalam ilmuNya’ dan ayat yang bermaksud ‘[berkait dengan Nabi Muhammad selamat di gua perlindungannya] supaya jadilah Kalimah Allah itu yang paling tinggi dan yang menentangnya paling rendah’ dan hadis sahih yang bermaksud ‘dunia ini akan kiamat bila tidak ada lagi orang yang menyebut ‘Allah’, ‘Allah,’ dan hadith yang menyebut tentang ‘kiamat berlaku bila semua manusia adalah sejahat-jahatnya’] [tidak ada lagi kebenaran hakiki yang diajarkan oleh para anbia dalam alam ini, maka alam ini hilanglah sebab bagi penerusan wujudnya. (Apa juga yang mungkin dikatakan oleh pascamodernisme dan fahaman-fahaman dari mereka seperti Hick dan sebagainya).

Adapun tentang adanya konflik di kalangan umat manusia kerana keyakinan agama masing-masing, bila wajar, pada kita konflik umat manusia adalah perkara yang berlaku secara tabi’i, dunia dengan keadaannya sebagai dunia, alam ujian, yang ada benar-salah, baik-jahat, hitam-putih, malam-siang, sihat-sakit dan seterusnya, bukan syurga jannatul firdaus. Kita mengelak konflik yang tidak perlu yang mesti dielakkan; tetapi kalau konflik itu dicetuskan oleh pihak lain untuk tujuan hegemoninya, kita perlu tangani dengan berkesan dan betul; kita tidak berkata bahawa oleh itu kebenaran pada kami adalah kebenaran, kebenaran yang ada pada anda adalah seperti kami, kelainan hanya sangkaan sempit yang tidak benar, timbul daripada kedangkalan akal, keadaan keladak pada roh, sebenarnya semuanya betul dan benar. Jangan kita berkelahi. Yang kita katakan ialah: bahawa kebenaran itu kebenaran, dan pada kami kami yakin ada kebenaran, dan apa yang tidak benar adalah tidak benar, tapi kalau anda hendak berterusan dengan pandangan anda anda jangan ganggu kami dan mengatakan bahawa kebenaran yang ada pada kami tidak benar sebetulnya, yang sebetulnya semua benar. Kita katakan: bagi anda pegangan dan agama anda, bagi kami pegangan dan agama kami. Kalau kita bertujuan mengelak konflik lalu kita perkenalkan pluralisme cara seperti Hick hanya untuk mengelak konflik, itu ertinya kita membatalkan ajaran para anbia, rasul, ulama, mujtahidin, dan para mujadid dalam umat ini; kita hendak meletakkan kebenaran di bawah peristiwa, bukan menghakimkan peristiwa mengikut kebenaran (we put history above truth and knowledge and not truth and knowledge above history).

Ajaran Quran ialah kita meletakkan ilmu dan kebenaran untuk menghakimkan sejarah bukan sebaliknya. Kita dengan pihak lain berhubung mengikut etika, dan kita mahu mereka berhubung dengan kita mengikut etika, dan kita berbeza pandangan dengan secara beretika, bukan dengan secara memaksa orang, termasuk memaksa ‘secara berwacana’, sebab itu terlarang, lainlah dengan ulil-amri dalam umat Islam, sebab mereka wajib kita taati selepas daripada Allah dan Rasul, melainkan dalam kemaksiatan dan kekufuran. Dijauhkan Allah.

Kita tegaskan, kita berbeza pandangan dengan beretika, bukan dengan memperkenalkan ajaran kenisbian dalam ilmu dan kebenaran. Memperkenalkan pluralisme dan kenisbian dalam ilmu, kebenaran dan nilai hanya kerana hendak mengelak konflik, itu kebaculan intelektuil, rohani, moral, dan budaya; ia kemuflisan rohani dan kenaifan intelektui; maha suci Allah. Dunia adalah ‘negeri ujian’ bukan tempat memperkenalkan kenisbian dan pluralisme kerana mengelak konflik. Mereka yang memperjuangkan demokrasi secara falsafah sosial mutlak pun tidak ‘mencairkan’ demokrasi mutlak mereka untuk mengelak konflik dengan pihak lain. Mengapa pula kita hendak diajar dan dipujuk untuk ‘mencairkan’ pegangan kita atas nama keabsahan kenisbian dan pluralisme? Maka dalam menegakkan kebenaran yang diredhai Allah dan Rasul kita teruji dalam hidup ini, kita redha, dan kita tidak berpegang kepada kenisbian dan pluralisme kebenaran hanya untuk mengelak konflik.

Kalaulah ada pihak yang sengaja berbicara tentang ‘clash of civilizations’ atau ‘pembenturan peradaban’ atau ‘pertentangan peradaban’ kita tidak perlu terperusuk ke dalam ‘lubang biawak’ itu (mengingatkan hadith Baginda s.a.w. tentang umat kita cenderung mengikut Ahlil-kitab sehingga memasuki lubang biawak [intelektuil] mereka), bagi kita umat manusia hendaklah dipandang dari segi kenal mengenali, memandang makhluk sebagai ‘hamba-hamba Tuhan’ baik di Timur atau di Barat, tetapi kita perlu berwaspada tentang kebenaran dan mengikutnya, serta berwaspada tentang kepalsuan dan jangan mengikutnya. Sikap kita bukan tertumpu kepada ‘orangnya’ tetapi kebenaran yang mesti dijadikan pegangan dan kepalsuan yang mesti dielakkan. Ini sedemikian penting sehingga ia wajib kita peringatkan diri tentangnya dalam bacaan sembahyang setiap rakaat. (ayat tentang mereka yang dikurniakan ni’mat dan mereka yang dimurkai Tuhan). Ma sha’Allah.

Kita juga tidak memandang kepada label-label, ‘fundamentalis’kah, ‘moderate’kah, atau apa juga yang diberikan oleh pihak luar terhadap umat dan ahlinya, kita dikelas-kelaskan seperti makhluk yang dikaji dalam makmal-makmal budaya. Sebaliknya kita mesti menumpukan perhatian kepada kebenaran dalam umat yang disepakati, dengan menjaga khilaf-khilaf dalam bidang rantingnya. Kita selesaikan perbezaan, dengan beradab, mengikut ‘neraca [intelektuil dan rohani] yang betul’ (al-qistas al-mustaqim). Perbuatan label-melabel itu kita tinggalkan, kecuali ia bersesuaian dengan neraca intelektuil arusperdana umat dan untuk memutuskan hukum dan pendirian bila itu mesti dilakukan. Inilah pendirian kita.

Tentang pengajaran daripada sejarah yang mesti dimanafaati, itu jelas dari ajaran Quran yang menyuruh manusia mendapat pengajaran daripada ‘hari-hari Allah’ yang menyebut kemenangan dan rahmat Ilahi bagi mereka yang mengikut kebenaran ajaran para anbia dan mengelak kepalsuan pihak yang menentang mereka. Sebab itu diajarkan supaya kita memberi peringatan tentang ‘hari-hari Allah’[4] dalam sejarah manusia. Demikian pula sejarah disebutkan kepada Nabi kita s.a.w. supaya Baginda mendapat kekuatan hati dan keteguhan jiwa dengannya (لنثبت به فواءدك)[5]. Kita tidak berbicara tentang sejarah dari segi kebebasan atau sebaliknya, sebab penekanan kita adalah ketundukan kepada Hukum dan kehendak Tuhan, sebab kita ‘khalifah’ dan ‘hamba’Nya. Bacaan sejarah sebagai ‘kebebasan’ atau ‘kehambaan’ itu bacaan pascamodernis atau bacaan liberalis, bukan bacaan secara panduan Quran, sunnah dan epistemologi arusperdana umat Muhammad ini. Maha suci Allah.

Kalau dipuji negara-negara tertentu, kerana Barat memujinya, dengan alasan ia mengamalkan ‘liberal demokrasi’ dan ia sudah berada pada ‘garis penghabisan’ berjaya, kita perlu ingat kepada fahaman memisahkan agama daripada hidup kemasyarakatan dan berkembangnya Islam yang menjadi khadam kepada falsafah pascamodernisme yang mengajarkan kepelbagaian kebenaran dan kenisbian nilai-nilai, yang semuanya menyanggahi Syariat Islam dan ajarannya tentang halal dan haram serta kebenaran dan kebatilan, pahala dan dosa. Adakah ini yang hendak dijayakan dalam negara kita yang berpegang kepada Quran dan hadith serta kefahaman tentangnya mengikut wacana dan epistemologi Sunni? Maha suci Allah. Ini mengingatkan kita kepada ajaran kaum zindik yang disebut-sebut zaman lampau dalam teks-teks Islam klasik yang masih relevan sekarang dan bila-bila, sebab wacana asasi Sunni kekal sampai kiamat sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi s.a.w. dalam hadith sahih.

Kalau dalam senario semasa ada berlaku pihak yang memperjuangkan prinsip jihad kemudian itu diberi keabsahan untuk berlakunya keganasan, maka wajib diperhatikan bahawa ini tidak ada dalam takrifan jihad yang muktabar, yang cukup dengan syarat-syaratnya, yang melarang penyerangan atas mereka yang tidak berdosa, kanak-kanak dan wanita, yang melarang merosakkan gereja, tempat penyembahan agama Yahudi, dan seterusnya. Dan ini tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk sesiapa menerima pluralisme dalam erti bahawa kebenaran adalah nisbi, banyak, kalau tidak bacaan fatihah dalam sembahyang dan dalam wacana Islam tidak ada makna, sebab kita diperintah mengikut ‘al-sirat al-mustaqim’ dan mengelak ajaran dan jalan mereka yang dimurkai Allah dan jalan mereka yang sesat (المغضوب عليهم ولا الضالين). Dan jihad dalam erti yang sahih dengan syarat-syaratnya tidak terbatal. Ia terus ada dan menjadi kewajipan bila cukup syarat-syaratnya dan bila kita berupaya mengamalkannya. Mungkin bagi mereka yang berpegang kepada pluralisme dalam erti yang batil menganggap jihad terhapus, hukum Tuhan terhapus (pada golongan Islam liberal ‘hukum Tuhan’ tidak ada). Dijauhkan Allah.

Kalau disebutkan bahawa dalam agama Islam kebebasan berupa satu daripada matlamat-matlamat yang lebih tinggi, kemudian disebutkan bahawa ia sama dengan apa yang ada dalam sebuah demokrasi berperlembagaan, dengan kebebasan dhamir atau ‘conscience’ manusia, kebebasan untuk menyuarakan penentangan terhadap penindasan, atau seruan kepada perbaikan dan hak atas harta, itu semua tidak boleh disamakan dengan pluralisme yang dicanangkan oleh setengah pihak yang merancang untuk kepentingan hegemoni mereka. Amalan demokrasi dalam Islam wajib taat kepada peraturan syara’ tentang halal dan haram, kebebasan dhamir atau ‘freedom of conscience’ bukan bererti sama dengan yang ditafsirkan dalam ‘The First Amendment’ bagi perlembagaan Amerika Syarikat kerana kita terpandu oleh tuntutan wahyu dalam Quran dan tuntutan sunnah nabi dalam hadith yang menyuruh kita menerima Islam sebagai kebenaran yang berdiri sebagai mewakili kebenaran agama Islam yang diajar kepada semua anbia dalam sejarah manusia. Oleh itu dhamir orang yang beriman wajib tunduk kepada tuntutan fitrah ini; yang lain mesti dielakkan sebab itu terlarang. Perlu diingatkan lagi: kebebasan dalam Islam tertakluk di bawah ajaran Allah dan Rasul bukan boleh mengikut falsafah pascamodernisme yang mengajar kebenaran yang pelbagai (‘multiple truths’); kalau demikian seruan para nabi sebagaimana yang ada dalam Quran tidak bermakna apa-apa lagi.

Akhirnya, prinsipnya kita mesti kembali kepada wacana arusperdana umat khaira ummatin ukhrijat linnas, yang hakikatnya, tidak ada wacana yang mengatasi kebenaranannya, apapun yang dikatakan oleh pihak postmodernist, Islam liberalis, pluralis agama, pihak perennalists, dan sesiapapun yang seperti mereka. Tetapi kita kena mengetahui perbezaan-perbezaan, persamaan-persamaan, dengan beradab, berdisiplin, menghormati orang lain, dalam batasan-batasan yang wajar. Dari Allah kita datang kepadaNya kita kembali.

Wallahu a’lam. Selawat dan salam kepada baginda, ahli keluarganya dan para sahabatnya, dan semua mereka yang mengikutnya dalam ihsan hingga ke hari penghabisan. Segala puji-pujian tertentu bagi Tuhan Pentadbir sekalian alam.


Nota akhir:

[1] http://www.pluralism.org

[2] Quran Surah al-Hujurat: 13.

[3] Pluralism dalam OED yang terbesar itu ialah:no 4 ialah: The presence or tolerance of a diversity of ethnic or cultural groups within a society or state; (the advocacy of) toleration or acceptance of the coexistence of differing views, values, cultures, etc.

1924 H. KALLEN Culture & Democracy in U.S. 43 Cultural growth is founded upon Cultural Pluralism. Cultural Pluralism is possible only in a democratic society whose institutions encourage individuality in groups, in persons, [and] in temperaments. 1969 Guardian 20 Sept. 4/4 A good deal of discussion at the conference..has been about pluralism as opposed to assimilation. 1976 Times 7 Aug. 14/4 To be in favour of pluralism is to declare that one does not intend to hound or persecute theologians or catechists whose expression of faith differs from your own. 1995 N.Y. Rev. Bks. 19 Oct. 30/1 The institutions and practices of liberalism are likely to open public space to previously repressed and invisible groups, turning a merely theoretical or potential pluralism into an actual on-the-ground pluralism.

[4] Ayat bermaksud ‘Berilah peringatan kepada mereka tentang hari-hari Allah’, Surah Ibrahim: 5.

[5] Al-Furqan: 32.


Sumber-sumber rujukan antaranya:

1.        Abdul Rashid Moten, “Religious Pluralism in Democratic Societies: Challenges and Prospects for Southeast Asia, Europe, and the United States in the New Millennium”. Contemporary Southeast Asia.Journal Volume: 29. Issue: 1. 2007. pp 204 ff,2007 Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS)

2.        Brad Stetson ,Pluralism and Particularity in Religious Belief. Praeger Publishers. Westport , CT. 1994

3.        Jeannine Hill Fletcher, Article Religious Pluralism in an Era of Globalization: The Making of Modern Religious Identity”. Journal: Theological Studies. Volume: 69. Issue: 2, 2008.pp. 394 ff.

4.        J. Gordon Melton, Article: “Religious Pluralism: Problems and Prospects” Journal: Brigham Young University Law Review. Volume: 2001. Issue: 2, 2001.

5.        Jung H. Lee, Article: “Problems of Religious Pluralism: a Zen Critique of John Hick’s Ontological Monomorphism” Journal: Philosophy East & West. Volume: 48. Issue: 3. Publication Year: 1998.p. 453+.

6.        Lucas Swaine, The Liberal Conscience: Politics and Principle in a World of Religious Pluralism. Columbia University Press. New York . 2006.

7.        Michael Jinkins – Christianity, Tolerance, and Pluralism: A Theological Engagement with Isaiah Berlin ‘s Social Theory. Routledge. New York. 2004.

8.        Peter G. Danchin – editor, Elizabeth A. Cole – editor, Protecting the Human Rights of Religious Minorities in Eastern Europe . Columbia University Press. New York. 2002.

9.        Richard E. Wentz, The Culture of Religious Pluralism , Westview Press, 1998

10.    Richard Hughes Seager edit. with the assistance of Foreword by Ronald R. Kidd Diana L. Eck, The Dawn of Religious Pluralism Voices from the World’s Parliament of Religions, 1893, published in Association with The Council for a Parliament of the World’s Religions.

11.    S. Wesley Ariarajah, “Kenneth Cracknell, in Good and Generous Faith: Christian Response to Religious Pluralism”. Journal The Ecumenical Review. Volume: 58. Issue: 3-4. 2006. pp 400ff

12.    William C. Allen “Stephen Kaplan, Different Paths, Different Summits: A Model for Religious Pluralism”, Journal of Ecumenical Studies. Volume: 41. Issue: 1, 2004. p 102.

13.    Harvard Pluralism project:

http://www.pluralism.org/articles/eck_1993_challenge_of_pluralism?from=articles_index


[*] Rencana ini adalah untuk dibentang di Wacana Pemikiran dan Pembinaan Ummah 2 – Peringkat Kebangsaan, dengan tema “Membenteras Gerakan Pluralisme Agama dan Pemurtadan Ummah,” anjuran bersama Pertubuhan Muafakat Sejahtera Masyarakat Malaysia (MUAFAKAT), Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM), Jabatan Agama Islam Selangor (JAIS), Allied Coordinating Committee of Islamic NGOs dan Permuafakatan Badan Amal Islam Wilayah Persekutuan pada hari Selasa 14 Disember 2010, bertempat di Masjid Wilayah Persekutuan, Jalan Duta, Kuala Lumpur.

Mencermati Doktrin dan Ciri-ciri Fahaman Pluralisme Agama

Kertas ini adalah di antara yang dibentangkan semasa Wacana Membanteras Gerakan Pluralisme Agama & Pemurtadan Ummah:

Untuk versi cetak/pdf – Meneliti Doktrin Dan Ciri-ciri Fahaman Pluralisme Agama – AMT


بسم الله الرحمن الرحيم

Mencermati Doktrin dan Ciri-ciri

Fahaman Pluralisme Agama[1]

 

Oleh

Dr. Anis Malik Thoha

 

Barangkali tidak banyak yang menyedari, apalagi mempertanyakan!, bahawa indoktrinasi sebuah doktrin “agama baru” yang bernama Pluralisme Agama ini telah dan sedang berlangsung secara intense, well-planned, dan sistematik di seluruh segmen masyarakat dunia yang nyaris tanpa sempadan ini. Hal ini dapat disaksikan melalui berbagai mass media, electronik dan cetak, yang disampaikan lewat mimbar-mimbar politik resmi, seminar, konferensi, dan bangku perkuliyahan.

Meskipun masalah ini sudah banyak ditulis dan didiskusikan, pro-kontra itu terus saja berlangsung. Dalam mencermati hiruk-pikuk wacana “Pluralisme” pada umumnya, dan “Pluralisme Agama” khususnya, yang tengah marak di rantau kita pada dasawarsa pertama abad ke-21 ini; pun juga dalam berbagai kesempatan mengisi berbagai workshop, seminar dan konferensi, khusus mengenai isu dan wacana tersebut, saya merasa gamang, ada sesuatu yang sangat mengusik nalar kesadaran.

Bagaimana tidak? Wacana ini sudah sedemikian melebar dan meluas, serta merambah ke berbagai ranah, dan disahami oleh berbagai kalangan – mulai dari politisi, budayawan, agamawan sampai akademik, tapi topik utama yang diwacanakan ini nyaris tidak pernah benar-benar diupayakan pendefinisiannya secara teknis atau sesuai dengan yang dimaksudkan oleh para ahlinya. Padahal inilah langkah metodologis awal yang mesti dilakukan oleh siapa pun yang interest dan berkepentingan dengan isu ini. Lebih dari itu, sebetulnya masalah ini adalah masalah tuntutan logis belaka yang nescaya, yang jika diabaikan maka secara tak terhindarkan akan menciptakan tidak saja kerancuan atau kebingungan (confusion), tapi juga pada akhirnya mengaburkan dan bahkan menyesatkan (misleading).

Para ulama kita terdahulu dari berbagai bidang dan disiplin ilmu ternyata sangat peka dan menyedari betapa krusialnya problem definisi ini sebelum mereka mengupas bahasan-bahasan di bidang masing-masing secara detail. Para fuqaha’, misalnya, begitu sistematis dalam mengupas masalah-masalah fiqh, dimulai dengan definisi-definisi yang gamblang secara lughawy maupun teknisnya: apa itu taharah, wudhu, tayammum, mandi, dsb. Tapi sayang sekali, dewasa ini model dan tradisi semacam ini tampak banyak ditinggalkan oleh kalangan kita, khususnya dalam hal berwacana Pluralisme Agama.

Entah kerana sebab oversight atau apa, yang jelas pada hakekatnya tidak banyak di kalangan kita yang mencuba mengerti atau memahami, apalagi mempersoalkan problem definisi ini dengan betul dan bijak. Seakan-akan istilah Pluralisme Agama ini sudah cukup jelas dan, oleh kerananya, boleh taken for granted. Padahal, istilah “pluralisme” itu jelas-jelas istilah (baca: ideologi/ajaran) pendatang yang merangsek ke alam sadar dan di-bawah-sadar kita bersama-sama dengan istilah-istilah dan ideologi-ideologi asing yang lain, seperti democracy, humanism, liberalism, dsb. yang tentu saja tidak bisa kita maknai seenak kita atau menurut “selera” dan asumsi kita.

Secara umum dapat dikatakan bahawa kebanyakan orang yang ditokohkan di kalangan kita beranggapan secara simplistis bahawa “pluralisme = toleransi”, dan “pluralisme agama = toleransi agama”. Fakta ini dapat dilihat daripada ingar-bingarnya reaksi dan respons yang cenderung “emosional” terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dikeluarkan pada tahun 2005 tentang hukum haramnya Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme (atau yang dikenal dengan SIPILIS), dan juga terhadap resolusi Muzakarah Ulama Se-Malaysia, 2006, di Negeri Perak, Malaysia, yang dibacakan oleh Mufti Perak, Datuk Dr. Harussani, yang menegaskan hukum yang sama dengan fatwa MUI.

Yang menyedihkan, anggapan atau asumsi simplistik ini tidak hanya terbatas pada kalangan “awam” (yang memang tidak terdidik secara akademis dalam bidang ini), tapi hatta kalangan para tokoh atau yang ditokohkan yang memang spesialisasi akademiknya berkait erat dengan bidang ini pun tampak begitu over-confident dengan pemahamannya yang simplistik tadi.

Salah satu contoh yang paling konkrit adalah sebuah disertasi Doktor di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, yang kemudian diterbitkan pada awal tahun 2009 yang lalu dengan judul Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an. Dalam buku ini tak nampak ada upaya yang serius dari pengarangnya untuk mendiskusikan definisi teori atau faham Pluralisme Agama yang menjadi topik utama bahasannya, malah terjebak pada pengertian yang keliru dan mengelirukan di atas tadi. Pembaca yang cermat tidak perlu bersusah-payah melongok ke dalamnya, dari judul saja sudah cukup untuk mengetahui apa gerangan yang dimaksudkan oleh pengarangnya tentang faham Pluralisme Agama ini, yang tiada lain adalah “toleransi agama”. Fatal!

Tapi meskipun demikian, anehnya buku ini mendapat sambutan yang luar biasa oleh media massa kita, dan juga sanjungan dan pujian yang sangat berlebihan dari sederet nama orang-orang yang ditokohkan di masyakarat Indonesia dengan latar-belakang yang beragam yang jumlahnya lebih dari selusin. Hal ini semakin membuktikan betapa kacaunya dunia pemikiran dan akademik di kalangan kita.

Hakekat Doktrin Pluralisme Agama

Apa sebenarnya doktrin Pluralisme Agama ini? John Hick, seorang tokoh pengasas – atau bahkan “nabi” – yang mengajarkan doktrin ini, mentakrifkan bahawa Pluralisme Agama adalah:

[T]he view that the great world faiths embody different perceptions and conceptions of, and correspondingly different responses to, the Real or the Ultimate from within the major variant cultural ways of being human; and that within each of them the transformation of human existence from self-centredness to Reality centredness is manifestly taking place – and taking place, so far as human observation can tell, to much the same extent.[2]

Definisi yang mirip seperti ini pun dapat ditemukan dalam salah satu makalahnya, ‘Religious Pluralism,’ yang diterbitkan dalam The Encyclopedia of Religion, sebagaimana berikut:

…the term refers to a particular theory of the relation between these traditions, with their different and competing claims. This is the theory that the great world religions constitute variant conceptions and perceptions of, and responses to, the one ultimate, mysterious divine reality…the view that the great world faiths embody different perceptions and conceptions of, and correspondingly different responses to, the Real or the Ultimate, and that within each of them independently the transformation of human existence from self-centeredness to reality-centeredness is taking place.[3]

Dari takrif yang sangat detail ini dapat dielaborasikan bahawa doktrin ini ingin mengajarkan bahawa agama-agama besar dunia (Yudaisme, Kristianiti, Islam, Hinduisme, Buddhisme, Taoisme, Konfusianisme, Sikhisme, dll.) adalah penampilan-penampilan atau penampakan-penampakan yang berbagai dan beragam dari satu Hakekat Ultima yang Tunggal. Dengan kata lain, dan lebih spesifik lagi, doktrin ini mengajarkan bahawa satu Hakekat Ultima yang Tunggal ini direspon/dipersepsikan/diyakini dalam Yudaisme sebagi El, Elohim, Adonai; dalam Kristianiti sebagai Holy Trinity; dalam Islam sebagai Allah; dalam Hinduisme sebagai Trimurti, Brahman; dalam Buddhisme sebagai Nirvana, Amitabha Buddha; dalamTaoisme sebagai Tao; dalam Sikhisme sebagai Sat Nam, dsb. Singkatnya, nama boleh beragam dan banyak, tapi hakekat tetap satu dan sama. Oleh kerananya, menurut doktrin ini betapa pun berbedanya agama-agama tersebut, pada hakekatnya adalah media atau cara-cara/jalan-jalan yang sama abash/valid dan otentiknya untuk menuju tujuan yang satu dan sama atau untuk mendapatkan keselamatan (salvation). Hick menyimpulkannya sebagai berikut: “the great religious traditions are to be regarded as alternative soteriological “spaces” within which, or “ways” along which, men and women can find salvation/liberation/fulfillment.”[4]

Jadi semua tradisi atau agama yang ada di dunia ini adalah sama validnya, kerana pada hakekatnya semuanya itu tidak lain hanyalah merupakan bentuk-bentuk respons yang berbeda yang dilakukan manusia yang hidup dalam dalam tradisi keagamaan tertentu terhadap sebuah realiti transenden yang satu dan sama,[5] dan dengan demikian, semuanya merupakan “authentic manifestations of the Real.”[6] Ringkasnya, semua agama secara relatif adalah sama, dan tidak ada satu pun agama yang berhak mengklem diri “uniqueness of truth and salvation” (sebagai satu-satunya kebenaran atau satu-satunya jalan menuju keselamatan).

Dengan demikian, masing-masing dari pemeluk agama-agama tersebut tidak boleh membuat klem bahawa agamanya sendiri yang benar secara absolut atau mutlak. Sebab pada prinsipnya, masing-masing berkongsi sebahagian kebenaran (partial truth) sahaja, dan bukan kebenaran yang utuh dan sempurna (whole truth). Berdasarkan perspektif ini, maka kebenaran agama-agama tersebut di atas adalah “relative” atau “nisbi”, sedangkan kebenaran “absolut” atau “mutlak” hanya ada pada Hakekat Ultima (the Ultimate Reality).

Tentu saja untuk membuat doktrin ini tidak sahaja acceptable, tapi malah juga attractive dan tampak indah, tokoh/“nabi” pluralis ini mencoba mencari-cari dan merangkai-rangkai justifikasi teologis secara hermeneutis dan eklektik (pilih-pilih) dari berbagai teks-teks kitab-kitab suci agama-agama besar dan/atau pemikiran-pemikiran atau pendapat-pendapat aliran keagamaan yang marginal dan bukan mainstream.[7]

Maka dari itu, kaum pluralis mengajak dan menyeru kepada semua pemeluk agama agar melakukan transformasi jati-diri dari pada keterkungkungan oleh pemusatan agama/keyakinan diri sendiri yang “relative” menuju kepada pemusatan satu Hakekat Ultima yang Tunggal yang “Absolut”. John Hick mengistilahkan proses transformasi spiritual ini dengan: “the transformation of human existence from self-centredness to Reality centredness”. Sedangkan Paul F. Knitter, seorang pakar teologi Kristian Pluralis yang lain, dalam bukunya yang berjudul No Other Name?: A Critical Survey of Christian Attitudes Toward the World Religions, mengungkapkan hal ini (dengan menggunakan idiom-idiom Kristian) sebagai transformasi daripada ecclesio-centredness (pemusatan gereja – Katolik) atau Christo-centredness (pemusatan Kristian–Protestan) menuju Theo-centredness (pemusatan Tuhan –Pluralis).[8]

Implikasi Doktrin Pluralisme Agama

Doktrin Pluralisme Agama seperti dibentangkan di atas nampak sangat indah, cantik, menjanjikan kedamaian, perdamaian di antara pemeluk agama dan keyakinan yang beragam, dan nampak sangat ramah terhadap keberagaman, keberlainan dan keberbedaan. Akan tetapi jika dicermati dengan seksama, doktrin ini sesungguhnya telah melakukan pembodohan yang luar biasa dahsyat, penodaan harkat dan martabat manusia, penjungkir-balikan logika normal dan, pada akhirnya, pengingkaran eksistensi agama-agama itu sendiri.

Kesemua itu disebabkan adanya sejumlah kelemahan-kelemahan yang sangat mendasar sekali dalam bernalar. Sebahagiannya sangat berkait-erat dengan metodologi pendekatan (methodological approach), sebahagian yang lain dengan epistemologi, dan sebahagian yang lain lagi dengan axiologi. Dalam esei yang singkat ini, kerana halaman yang terhad, kelemahan-kelemahan ini hanya akan disinggung secara umum dan singkat sahaja.[9] Dari segi metodologi pendekatan, pokok masalahnya adalah terletak pada kegagalan kaum pluralis melihat dan memahami agama sebagai agama sepertimana yang diyakini oleh umumnya penganut agama. Kaum pluralis cenderung memahami agama “secara reduksionistik”, yakni mereduksi entiti agama menjadi hanya sekadar “human response” (respon manusia), atau apa yang lazim dikenal dewasa ini di kalangan para pakar perbandingan agama (religionswissenschaft), filsafat agama, sosiologi, anthropologi, dan psikologi, sebagai “religious experience” (pengalaman keagamaan),[10] dengan menafikan in toto kemungkinan datangnya agama dari Tuhan atau Zat yang Maha Agung. Dalam konteks ini, Proudfoot dalam sebuah bukunya, Religious Experience, mencatat hal yang senada. Ia berkata:

The turn to religious experience was motivated in large measure by an interest in freeing religious doctrine and practice from dependence on metaphysical beliefs and ecclesiastical institutions and grounding it in human experience.[11]

Maka, dengan demikian, tidaklah terlalu mengherankan jika kemudian pendekatan ini, di satu pihak, menggiring pada sebuah kesimpulan akan persamaan semua agama secara penuh tanpa ada yang lebih superior dan benar daripada yang lain. Dan di pihak lain, pendekatan ini juga menggiring pada pereduksian agama yang demikian dahsyat, sehingga memasung agama hanya boleh beroperasi di wilayah spiritual manusia yang sangat sempit dan private – hubungan manusia dengan tuhannya atau the ultimate. Namun sebuah pertanyaan krusial yang segera menyusul adalah apakah hubungan pribadi dengan sesuatu yang sakral dan metafisikal ini mempengaruhi dan membentuk perilaku manusia, sama ada dalam kehidupan individual maupun sosialnya, atau tidak? Pertanyaan yang tentu sahaja tak mungkin dapat dijawab mereka kecuali mengiyakan atau mengukuhkannya. Disamping itu semua, pendekatan ini terang-terangan bermakna mendorong para pemeluk agama untuk melakukan “sekularisasi” agama masing-masing secara besar-besaran.

Kemudian yang berkaitan dengan problem epistemological, para pengasas doktrim Pluralisme Agama ini mengklem lebih tahu dan pengetahuan/ilmunya tentang semua agama lebih hebat daripada para pemeluk agama yang berkenaan. Hal ini tercermin dari keberanian para “nabi” pluralis untuk “merelativisasikan” agama-agama dan “mengabsolutkan” keyakinan mereka sendiri tentang “the Ultimate Reality” atau “the Real as It Is in Itself” (Tuhan pluralis). Pertanyaan epistemological yang segera mencuat ke permukaan alam sadar kita adalah: “realtif” dan “absolut” ini dasar atau ukurannya apa, dan bagaimana untuk dapat mengetahuinya? Apakah kerana para pemeluk agama salah atau gagal memahami agamanya masing-masing atas sebab pemahaman mereka yang dianggap “bias” (i.e., melalui “lensa” agama tertentu) seperti yang selama ini dituduhkan? Jika itu alasannya, maka sejatinya kaum Pluralis telah melakukan kebodohan yang sangat menjijikkan terhadap diri mereka sendiri.

Sebetulnya, di sinilah tampak jelas titik doktrin Pluralime Agama yang paling lemah. Doktrin ini mengandungi inkonsistensi logis yang sangat parah, sebab jika realitas Tuhan yang diyakini umat Islam, dan tuhan-tuhan yang diyakini para pengikut agama lain adalah sama relatifnya, maka penilaian atau proposisi ini parameternya apa? Jika parameternya adalah akal, maka akalnya siapa? Dan tidak boleh jika parameternya (dalam hal ini, akal) adalah akalnya John Hick sendiri (dan orang-orang yang sefaham dengannya), kerana ia sendiri, pada gilirannya, juga amat sangat mustahil bisa lepas dari bias “lensa subyektifnya” (pluralistic-secular lense).[12] Namun jika Hick bersikeras bahawa hanya pandangannya sendiri yang benar secara absolut dan yang lain salah atau relatif, maka runtuhlah teori relativisme ini dari akar-akarnya, dan runtuh pula bersamanya doktrin Pluralisme Agama Hick.

(أتجادلونني في أسماء سميتموها أنتم وآباؤكم ما نزل الله بها من سلطان)

(إن هي إلا أسماء سميتموها أنتم وآباؤكم ما أنزل الله بها من سلطان)

(إن هي إلا أسماء سميتموها أنتم وآباؤكم ما أنزل الله بها من سلطان. إن يتبعون إلا الظن وما تهوى الأنفس)

Apakah “pluralisme agama = toleransi agama”?

Wacana Pluralisme Agama, disamping telah menciptakan inkonsistensi dan self-kontradiksi dalam dirinya sendiri, juga telah mengembang-biakkan kontroversi dan bahkan kerancuan di antara para penganut dan pemujanya. Di antaranya adalah anggapan yang berkembang secara meluas di masyarakat yang tidak kritis bahawa:Pluralisme Agama adalah sama dan sebangun dengan “toleransi agama”. Sebagaimana yang terlihat jelas dalam pembentangan di atas, para tokoh dan pengasas doktrin Pluralisme Agama sebenarnya tidak sedang menjajakan ide atau prinsip toleransi agama. Apalagi merekomendasikannya! Sama sekali tidak.

Dengan demikian anggapan bahawa Pluralisme Agama adalah sama dan sebangun dengan “toleransi agama”adalah anggapan subyektif yang sangat sembrono dan over-simplifikatif yang menunjukkan kegagalan si empunya dalam memahami sosok doktrin/ajaran agama baru ini. Lebih lanjut, anggapan ini jelas-jelas ditolak oleh para pakar dan penganjur pluralisme sendiri. Diana L. Eck, direktur The Pluralism Project di Universiti Harvard, Amerika Syarikat, misalnya, dalam penjelasan resminya yang berjudul “What is Pluralism?” dan diulangi dalam “From Diversity to Pluralism”,[13] menyuguhkan empat karakteristik utama untuk mengidentifikasisosok fahaman/ajaran ini secara detail. Dia menyatakan:

Here are four points to begin our thinking:

  • First, pluralism is not diversity alone, but the energetic engagement with diversity. Diversity can and has meant the creation of religious ghettoes with little traffic between or among them. Today, religious diversity is a given, but pluralism is not a given; it is an achievement. Mere diversity without real encounter and relationship will yield increasing tensions in our societies.
  • Second, pluralism is not just tolerance, but the active seeking of understanding across lines of difference. Tolerance is a necessary public virtue, but it does not require Christians and Muslims, Hindus, Jews, and ardent secularists to know anything about one another. Tolerance is too thin a foundation for a world of religious difference and proximity. It does nothing to remove our ignorance of one another, and leaves in place the stereotype, the half-truth, the fears that underlie old patterns of division and violence. In the world in which we live today, our ignorance of one another will be increasingly costly.
  • Third, pluralism is not relativism, but the encounter of commitments. The new paradigm of pluralism does not require us to leave our identities and our commitments behind, for pluralism is the encounter of commitments. It means holding our deepest differences, even our religious differences, not in isolation, but in relationship to one another.
  • Fourth, pluralism is based on dialogue. The language of pluralism is that of dialogue and encounter, give and take, criticism and self-criticism. Dialogue means both speaking and listening, and that process reveals both common understandings and real differences. Dialogue does not mean everyone at the “table” will agree with one another. Pluralism involves the commitment to being at the table — with one’s commitments.

Keempat-empat karakteristik yang diberikan oleh Diana L. Eck ini sudah sangat jelas atau self-explanatory. Tapi dalam esei pendek ini, rasanya perlu sedikit mengulas poin kedua dan ketiga.

Eck menyatakan dalam poin kedua bahawa: “pluralism is not just tolerance,” yang bermakna “pluralisme bukanlah sekedar toleransi.” Pernyataan yang lebih kurang sama juga dia sampaikan dalam keynote addressnya yang berjudul “A New Religious America: Managing Religious Diversity in a Democracy: Challenges and Prospects for the 21st Century” pada MAAS International Conference on Religious Pluralism in Democratic Societies, di Kuala Lumpur, Malaysia, Agustus 20-21, 2002. Lebih lanjut ia berkata dalam keynote addressnya:

I would propose that pluralism goes beyond mere tolerance to the active attempt to understand the other … . Although tolerance is no doubt a step forward from intolerance, it does not require new neighbors to know anything about one another. Tolerance comes from a position of strength. I can tolerate many minorities if I am in power, but if I myself am a member of a small minority, what does tolerance mean? … a truly pluralist society will need to move beyond tolerance toward constructive understanding… Tolerance can create a climate of restraint, but not a climate of understanding. Tolerance is far too fragile a foundation for a religiously complex society, and in the world in which we live today, our ignorance of one another will be increasingly costly. (penegasan dari penulis)

Jadi sangat jelas sekali apa yang dimaksudkan dengan pluralisme oleh kaum pluralis sejati. Mereka tidak mengingkari pentingnya toleransi, “There is no question that tolerance is important,” kata Eck dalam makalahnya yang lain (“From Diversity to Pluralism”), tapi segera setelah itu ia tambahkan: “but tolerance by itself may be a deceptive virtue” (tetapi toleransi itu sendiri boleh jadi menjadi suatu budi-pekerti/kebaikan yang menipu). Pandangan miring terhadap toleransi ini sebetulnya sudah mulai dilantunkan kalangan pemikir pluralis semenjak tahun 60-an pada abad ke-20 yang lalu.

Sebut saja, misalnya, Albert Dondeyne yang dalam bukunya, Faith and the World, yang terbit di Dublin oleh Gill and Son pada tahun 1963, menulis: “Let us note that was what then called tolerance would be considered today as the expression of systematic intolerance. In other words, tolerance was then almost synonymous with moderate intolerance.” (Mari kita catat bahawa apa yang dahulu dinamakan toleransi, kini telah dianggap sebagai sebuah ekspresi ketidaktoleranan yang sistematis. Dalam istilah lain, toleransi dengan begitu hampir sinonim dengan intoleransi yang moderat).[14]

Bahkan sebelumnya Arnold Toynbee, seorang sejarawan Inggeris terkemuka, dalam bukunya, An Historian’s Approach to Religion, yang terbit di London oleh Oxford University Press, tahun 1956, sudah mewanti-wanti bahawa “toleransi tidak akan memiliki arti yang positif,” bahkan “tidak sempurna dan hakiki, kecuali apabila manifestasinya berubah menjadi kecintaan.”[15]

Yang perlu digaris-bawahi di sini adalah bahawa bagi kalangan pluralis sejati, Pluralisme pada umumnya dan Pluralisme Agama pada khususnya bukanlah sekadar toleransi belaka, sebagaimana yang jamak di(salah)fahami oleh kalangan pentaklid pluralis. Penekanan Pluralisme lebih pada “kesamaan” atau “kesetaraan” (equality) dalam segala hal, termasuk “beragama”. Setiap pemeluk agama harus memandang sama pada semua agama dan pemeluknya. Oleh kerananya, sejatinya pandangan ini pada akhirnya akan menggerus konsep keyakinan “iman-kufur”, “tawhid-syirik”, yang sangat sentral dalam agama Islam secara khusus. Dan secara umum, doktrin ini akan menggusur dan mengubur keyakinan kebenaran absolut dan eksklusif yang sedia ada pada agama-agama besar dunia. Dengan kata lain, seperti yang ditegaskan para peneliti/pakar agama dari latar belakang agama yang berbagai-bagai, bahaya doktrin Pluralisme Agama ini tidak hanya mengancam agama tertentu, Kristen atau Islam, sahaja tapi mencakup seluruh agama.[16]

Sedangkan poin ketiga, “pluralism is not relativism, but the encounter of commitments,” penulis terus terang merasa gagal untuk dapat memahaminya dengan baik. Poin ini sebetulnya juga sudah lebih dahulu dinyatakan secara argumentative oleh John Hick, salah seorang “nabi” pluralism, dalam bukunya The Rainbow of Faiths, untuk merespon tuduhan relativisme ajaran pluralism agamanya yang dibangkitkan oleh para pengkritiknya. Tapi sayang sekali respons ini terasa hambar.[17] Begitu juga pernyataan Diana Eck, meskipun ia kemudian berusaha memberikan penjelasan bahawa: “The new paradigm of pluralism does not require us to leave our identities and our commitments behind, for pluralism is the encounter of commitments,” namun poin ini justeru semakin kabur atau bahkan bercanggah dan bertembung dengan poin pertama. Sebab,bagi seorang beragama (apa pun agamanya), identiti dan komitmennya adalah terletak pada “keimanan akan kebenaran tunggal dan absolute agamanya”. Dalam berinteraksi atau berdepan (encounter), atau membangun hubungan, dengan pemeluk agama lain, ianya akan selalu committed pada prinsip keyakinannya tadi dan tak akan pernah kompromi atau merelativisasikannya. Tetapi pertanyaan yang berbangkit kemudian adalah, pada level keyakinan, apakah mungkin seseorang yang committed memegang teguh keyakinannya yang absolute, akan dapat mengakui/menerima kebenaran agama lain? Atau dengan kata lain, apakah mungkin seseorang yang committed memegang teguh keyakinannya yang absolute akan dapat mengakui/menerima bahawa “semua agama adalah valid dan otentik”, sebagaimana yang diajarkan oleh, misalnya, John Hick?[18]

Berdasarkan penalaran seperti ini, saya berpendapat (yang ternyata banyak juga para peneliti/penulis berpendapat seperti saya) bahawa “pluralisme = relativisme”, sebab kesimpulan bahawa “semua agama adalah sama, valid dan otentik” tidak mungkin atau mustahil dapat tercapai tanpa didahului proses relitivisasi dan reduksionisasi agama-agama.[19]

Memang sejak awal konsep/fahaman/ajaran Pluralisme Agama ini sudah tampak jelas berbenturan dengan akal dan logika sehat, maka argumen apa pun yang dikembangkan untuk menyokongnya akan semakin menambah dan memperjelas kerancuannya.

Dari paparan ringkas ini dapat disarikan bahawa pluralisme agama sebetulnya adalah “ajaran demokrasi dalam beragama” yang lebih menitik-beratkan pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Sebab secara nasab, pluralism agama ini adalah “anak sah” yang terlahir dari “rahim” demokrasi. Oleh kerananya, secara geneologis pluralisme agama ini secara otomatis dan tak-terhindarkan mewarisi watak dan karakter demokrasi; di antaranya yang paling kentara dan menonjol adalah:

1.      Kesetaraan atau persamaan (equality). Ajaran pluralisme agama mengajarkan semua agama sama dan setara, tak ada yang paling baik dan tak ada yang paling buruk.

2.      Liberalisme atau kebebasan. Ajaran pluralisme agama mengajarkan hak kebebasan beragama, dalam arti keluar-masuk agama. Hari ini seseorang boleh menjadi Muslim, esok menjadi Kristen, esok lusa menjadi Hindu, dan seterusnya.

3.      Relativisme. Sebetulnya ini adalah implikasi dari kedua watak yang sebelumnya. Ajaran pluralisme agama mengajarkan kebenaran agama relative.

4.      Reduksionisme. Untuk sampai kepada kesetaraan atau persamaan, ajaran pluralisme agama telah meredusir jati-diri atau identiti agama-agama menjadi entiti yang lebih sempit dan kecil, yakni sebagi urusan peribadi (private affairs). Dengan kata lain pluralism agama itu berwatak sekular.

5.      Eksklusivisme. Ramai orang yang gagal mengidentifikasi dan memahami watak atau ciri yang satu ini. Hal ini disebabkan selama ini ajaran pluralisme agama ini diwar-warkan sebagai anti-eksklusivisme. Ia sering menyuguhkan dirinya sebagai ajaran yang “tampak” ramah dan sangat menghormati ke-berbedaan (the otherness) dan menjunjung tinggi kebebasan. Tapi pada hakekatnya, dia sebetulnya telah merampas kebebasan pihak lain dan menginjak-injak serta memberangus ke-berbedaan, apabila dia mendeklarasikan-diri dan mengkleim sebagai pemberi tafsir/teori/ajaran tentang kemajmukan/keberagaman/keberbagaian agama-agama yang absolute benar, i.e., “bahawa semua agama sama.” Jadi sesungguhnya ia telah merampas dan menelanjangi agama-agama dari kleim kebenaran absolute-nya masing-masing untuk kemudian dimiliki dan dimonopoli oleh dirinya sendiri secara eksklusif.

Barangkali inilah ciri-ciri utama yang menonjol yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi atau mengenal-pasti sosok ajaran pluralism agama, sehingga kita tidak keliru memahaminya dan tidak terjebak dalam ketersesatan akibat ke-tidak-tahuan yang kita ciptakan sendiri.

Teologi Pelangi vs. Teologi Abu-abu

Kerana itu, memang umat Islam harus sangat berhati-hati dalam mengadopsi satu istilah atau fahaman asing yang jika tidak berhati-hati akan dapat merusak keimanannya sendiri. Islam – sejak awal kelahirannya – sudah memiliki konsep yang jelas bagaimana memandang agama lain dan bagaimana berhubungan dengan pemeluk agama lain. Seharusnya konsep inilah yang digali dan dikembangkan, bukan justeru mengadopsi konsep yang lahir dari masyarakat yang selama ratusan tahun tidak mengakui, bahkan menindas keberagaman (pluralitas).

Jika yang ingin dicapai adalah kedamaian, perdamaian, harmoni, dan toleransi antara agama dalam masyarakat majmuk, maka sejatinya seseorang atau suatu kelompok atau suatu kaum tak perlu berkompromi dengan merelativisasikan agama/keyakinannya (baca: jati-dirinya). Biarkanlah yang merah tetap merah, hijau tetap hijau, kuning tetap kuning, dan biru tetap biru. Kerana adanya perbedaan warna itulah pelangi adalah pelangi, dan kerananya pulalah pelangi menjadi indah dan sedap dipandang. Apa jadinya kalau warna-warna itu direlativisasikan? Semua jadi tak jelas. Yang tampak hanyalah “abu-abu”.[20] Dengan demikian, yang sangat diperlukan dalam hidup bermasyakat yang majmuk bukanlah “teologi abu-abu”, akan tetapi “teologi pelangi”. Lewat mimbar ini saya mengajak secara khusus saudara-saudara seiman dan seagama untuk tetap iman dan Islam, menjaga jati-diri sebagai mu’min dan Muslim yang sesungguhnya. Wallahu al-Musta’an.


[1] Makalah ini disampaikan dalam symposium Wacana Pemikiran dan Pembinaan Ummah 2 – Peringkat Kebangsaan, dengan tema “Membanteras Gerakan Pluralisme Agama dan Pemurtadan Ummah,” anjuran bersama Pertubuhan Muafakat Sejahtera Masyarakat Malaysia (MUAFAKAT), Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM), Jabatan Agama Islam Selangor (JAIS), Allied Coordinating Committee of Islamic NGOs dan Permuafakatan Badan Amal Islam Wilayah Persekutuan pada hari Selasa 14 Disember 2010, bertempat di Masjid Wilayah Persekutuan, Jalan Duta, Kuala Lumpur.

[2]John Hick, Problems of Religious Pluralism (Houndmills, Basingstoke: The Macmillan Press, 1985), p. 36.

[3]John Hick, ‘Religious Pluralism,’ dalam Mircea Eliade(ed.), The Encyclopedia of Religion (New York: Macmillan Publishing Company, 1987), Vol. 12, p. 331.

[4] ———, Problems of Religious Pluralism, pp. 36-7; and ———, ‘Religious Pluralism,’ p. 331.

[5] ———, The Fifth Dimension (Oxford: Oneworld, 1999), pp. 10, 77-79.

[6] ———, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent (London: Macmillan, [1989] reprinted 1991), p. 247.

[7] Lebih lanjut, lihat: Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama:Tinjauan Kritis (Jakarta: Perspektif GIP, 2005).

[8]Untuk detailnya, rujuk Paul F. Knitter, No Other Name?: A Critical Survey of Christian Attitudes Toward the World Religions (New York: Orbis Book, 1985).

[9]Dalam esei yang singkat ini, tidak dimungkinkan untuk mengupas kelemahan-kelemahan tersebut secara detail. Untuk detailnya dapat dirujuk Anis Malik Thoha,op. cit. khususnya Fasal 3.

[10]Menganggap agama sebagai religious experience adalah hal yang jamak di Barat. Istilah ini banyak dipakai dalam tulisan-tulisan dan karya-karya para pakar dari berbagai disiplin ilmu semenjak permulaan abad ke-20, dan juga digunakan sebagai judul buku-buku mereka, sebagai contoh: William James, The Varieties of Religious Experience: A Study of Human Nature (Harmondsworth: Penguin Books, [1961] 1982); Joachim Wach, Types of Religious Experience: Christian and Non-Christian (Chicago: The University of Chicago Press, [1951] Third Impression 1965); Sidney Hook (ed.), Religious Experience and Truth: A Symposium (New York: New York University Press, 1961); Ninian Smart, Religious Experience of Mankind (New York: Charles Scribner’s Sons, [1969] Twelfth Impression 1982); Wayne Proudfoot, Religious Experience (Berkley, Los Angeles and London: University of California Press, 1985).

[11]Wayne Proudfoot, op. cit., p. xiii

[12] Cf. Siddiqi, Muzammil H., ‘A Muslim Response to John Hick: Trinity and Incarnation in the Light of Religious Pluralism,’ dalam Hick, John, (ed.), Three Faiths – One God, hal. 211-2.

[14]Albert Dondeyne, Faith and the World(Dublin: Gill and Son, 1963),hal. 231.

[15]Arnold Toynbee, An Historian’s Approach to Religion(London: Oxford University Press, 1956),hal. 251.

[16] Lihat: Daniel B. Clendenin, Many Gods, Many Lords (Michigan: Baker Books, 1995), p. 92; Stevri Lumintang, Theologia Abu-abu: Pluralisme Agama-Tantangan & Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini (Malang: Penerbit Gandum Mas, 2004).

[17] John Hick, The Rainbow of Faiths (London: SCM Press, 1995), hal. 50ff.

[18] Lihat John Hick, The Fifth Dimension(Oxford: One World, 2004), hal. 10, 77-79; dan bukunya, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent (London: Macmillan, [1989] reprinted 1991), hal. 247.

[19]Lihat analisis lebih lanjut dalam Anis Malik Thoha, op. cit.

[20]Saya rasa sudah tepat sekali jika Dr. Stevri Lumintang, seorang paderi dan teologis Indonesia, menjuluki Pluralisme Agama sebagai “Theologia Abu-Abu”. Lihat Stevri Lumintang, op. cit.

Fahaman Pluralisme Agama Wajar Ditentang

dipetik dari Utusan Malaysia 15 Disember 2010:

Fahaman pluralisme wajar ditentang

KUALA LUMPUR 14 Dis. – Golongan yang mempertikaikan kedudukan Islam dan orang Melayu seperti mana yang diperuntukkan di dalam Perlembagaan Persekutuan merupakan mereka yang berfahaman pluralisme ala John Hick.

Justeru, tokoh cendekiawan Islam, Dr. Muhammad ‘Uthman El-Muhammady mahu golongan tersebut ditentang kerana fahaman yang mereka anuti itu jelas berlawanan dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW.

Malah, beliau berkata, mereka yang memperjuangkan fahaman itu tidak ubah seperti membawa satu agama baru yang akhirnya boleh menyebabkan seseorang Islam itu menjadi murtad.

“Oleh itu fahaman pluralisme atau kesamarataan di dalam agama perlu ditolak dan ditentang kerana ia hanya akan membawa kehancuran serta kecelakaan kepada kehidupan manusia.

“Fahaman ini amat berbahaya dan merupakan ancaman yang perlu ditangani segera. Hakikatnya, Islam tidak boleh disamakan dengan apa jua kepercayaan dan agama kerana martabatnya terlalu tinggi. Islam agama yang terpelihara sehingga Hari Kiamat,” katanya.

Beliau berkata demikian ketika menjawab satu soalan peserta selepas membentangkan kertas kerja bertajuk ‘Beberapa Isu Dalam Pluralisme Agama – Satu Pengamatan Ringkas’ pada wacana Membanteras Gerakan Pluralisme Agama dan Pemurtadan Ummah di Masjid Wilayah Persekutuan di sini hari ini.

Mengulas lanjut Muhammad ‘Uthman berkata, fahaman pluralisme tidak akan membawa kebahagiaan walau apa hujah sekali pun sebaliknya hanya akan membuatkan manusia menuju ke neraka.

Dalam pada itu beliau berkata kewujudan teori fahaman yang boleh merosakkan umat Islam itu berlaku pada era pascamodenisme.

“Teori ini amat berbahaya terutama kesannya terhadap akidah umat Islam. Ia perlu ditangani dan ditentang oleh semua pihak,” katanya lagi.

Sementara itu beliau berkata, pemikiran pelopor fahaman pluralisme iaitu John Hick hendaklah ditolak kerana jelas kenyataan-kenyataannya bersifat mengelirukan manusia.

Di dalam kertas kerjanya Muhammad ‘Uthman turut menjelaskan jenis atau kategori golongan yang terpengaruh dengan fahaman tersebut.

“Mereka yang terpengaruh dengan pluralisme agama menyatakan baik agama Islam, Kristian, Yahudi, Sikh dan Hindu mempercayai adanya `kebenaran yang lebih tinggi’ serta mengatasi amalan lahiriah dan ibadat.

“Kalaulah pendirian yang demikian dianggap jalan kebenaran di sisi Tuhan, maka perjuangan Rasulullah SAW mendepani agama penyembah berhala, agama Yahudi dan Kristian pada zaman Baginda adalah tidak bererti,” katanya.

Jelas beliau berkata, pernyataan sedemikian tidak benar dan tidak berasas serta tidak pernah wujud di dalam ajaran Islam.

“Seperti mana saya tekankan sebentar tadi fahaman pluralisme akan membawa kerosakan, kecelakaan dan kecelaruan kepada kehidupan manusia. Fahaman ini akhirnya akan membawa manusia ke neraka ,” ujarnya.

Oleh SAIFULIZAM MOHAMAD dan SHOLINA OSMAN – pengarang@utusan.com.my

Beberapa Isu Dalam Pluralisme Agama

Kertas ini adalah salah satu dari yang dibentangkan semasa Wacana Fahaman Pluralisme Agama dan Implikasinya Terhadap Masyarakat Islam:

بسم الله الرحمن الرحيم

نحمده ونصلى على رسوله  الكريم

Beberapa Isu Dalam Pluralisme Agama

– Satu Pengamatan Ringkas

Oleh:

Al-faqir ila’Llah Muhammad ‘Uthman El-Muhammady

Mungkin ada mereka di kalangan Muslimin yang boleh tertarik hati, selepas beberapa dekad dalam menjalankan kegiatan dakwah dan keilmuan di Dunia Melayu Sunni ini, kepada aliran-aliran baharu yang muncul di Barat, seperti misalnya aliran ‘pluralisme agama’ atau ‘religious pluralism’ dan memandangnya sebagai aliran yang paling absah dari segi intelektuil dan rohaninya; maka kalau perkara yang sedemikian itu berlaku, sudah tentu atas nama rasa kasihan belas terhadap umat –termasuk pihak yang berkenaan – timbul rasa sayu yang tidak terkira di hati kita bila mengingatkan bahawa mereka yang asalnya terlibat dalam dakwah, berfikiran sayangkan bangsa dan watan, terlibat dalam kalangan para penerajunya, terpengaruh dengan gerakan Islam (terkesan dengan pemikiran Maududi, Hassan al-Banna, Syed Qutb, dan yang sepertinya), akhirnya menjadi pendokong aliran John  Hicks, walaupun ini tidak dinyatakan dengan terang-terangan, dengan aliran pluralisme agama dengan implikasi-implikasi rohaniah terakhir. Allahumma sallimna wa ’l-Muslimin.

Berlatarbelakangkan ‘serangan intelektuil Barat’ atas umat ini dalam bentuk ‘pluralisme agama’ diperturunkan dalam nota sederhana ini beberapa pengamatan tentang fenomena ini sebagai respon awalan terhadapnya.

Pluralisme yang ditakrifkan sebagai kenyataan pluralisme (‘sheer fact of pluralism’) (seperti dalam laman web projek pluralisme Universiti Harvard, antara lainnya)[1] sebagai keberadaan pelbagai agama dalam sesebuah negara atau masyarakat –dalam erti ini pluralisme diamalkan dalam Islam walaupun di Madinah di zaman Nabi salla’Llahu ‘alaihi wa sallam dan kemudiannya seperti di Andalusia dan kerajaan Othmaniah Turki. Demikian pula pluralisme agama dalam erti adanya ruang awam di mana para penganut pelbagai agama bertemu dan berhubung serta mengadakan interaksi untuk memahami antara satu sama lain, itu juga sesuatu yang diterima dalam Islam, kerana kelainan umat manusia dalam kelompok-kelompok dan bangsa wujud untuk saling kenal mengenali antara sesama mereka sebagai bani Adam; ini juga diterima dalam Islam semenjak zaman Nabi salla’Llahu ‘alaihi wa sallam, dan ia harmonis dengan ajaran Islam.[2] Tetapi pluralisme dalam erti kenisbian dalam kebenaran hakiki dan mutlak itu tidak dibolehkan dalam agama Islam.[3]

Pluralisme agama dalam erti yang dibentangkan dalam gagasan Prof Hicks yang meninggalkan sikap eksklusif Katholik, dan yang sepertinya, menganggap semua agama-agama membawa kepada ‘salvation’, menunjukkan pemikirnya tidak ada keyakinan terhadap agamanya dalam erti yang sebenarnya. Ia timbul daripada pengalaman peradaban dan budaya serta perkembangan pemikiran keagamaan Barat yang pahit dalam sejarahnya. Tidak munasabah pada akal sejahtera bagi Orang Islam yang berimamkan Quran boleh mengikut aliran yang kemuflisan dari segi rohani dan penaakulan berasaskan tauhid seperti ini. Islam mengajarkan semua pengikut autentik para nabi selamat, pengikut nabi salla’Llahu alaihi wa sallam selamat, ahli fatrah yang tidak ada nabi pada zamannya, zaman antara dua nabi, selamat, mereka yang ‘tidak sampai seru’ selamat.

Bila berhadapan dengan persoalan pluralisme agama, maka mungkin orang yang datang dari latar belakang Islam akan tergerak-gerak hatinya untuk mengemukakan bait-bait Jalaluddin al-Rumi untuk membuktikan bahawa Jalal al-Din Rumi adalah orangnya yang boleh dikemukakan sebagai peribadi yang memahami gagasan sedemikian, antaranya ialah seperti :

‘Lampu-lampu adalah banyak tetapi Cahaya adalah satu, ia datang dari Seberang Sana. Kalau anda terus menerus melihat kepada lampu anda tersesat; kerana dari situ munculnya rupa lahir bilangan dan kepelbagaian.’

Lalu dari situ dibuat kesimpulan bahawa inilah bait yang mengatasi debat-debat dan pertelingkahan, kerana orang yang mencapai pengalaman ‘mengatasi bentuk rupa’ (beyond forms) seperti Rumi sebenarnya memahami secara sarwajagat konsep-konsep yang am seperti dari mana datangnya insan? Apa matlamat hidupnya? Apa yang berlaku bila ia keluar dari hidup alam benda ini dengan maut? Dan orang sepertinya mengetahui jalan kehidupan secara rohaniah membawa kita kepada pencarian yang bersifat semesta menuntut kebenaran dan keadilan dan keutamaan moral dan etika. Kita bergembira dengan keindahan dalam diri kita dan di sekeliling kita. Kita cintakan ilmu, kedamaian dan keselamatan, tapi kita berada di tengah-tengah pelbagai rahasia dan pelbagai tidak ketentuan dalam alam sekeliling kita.

Dunia kita terpecah-pecah penuh dengan kehodohan, keganasan dan ketidakadilan; dalam ini semua agama memberi kepada kita peluang untuk merealisasi nilai-nilai yang menyatupadukan kita seperti Jalal al-Din Rumi ini. Dengan sangkaan seperti itu kita terperosok ke dalam sangkaan bahawa tokoh ini tokoh pluralisme. Tetapi kita terlupa beliau adalah Ulama Ahli Sunnah, yang berpegang dengan akidah dan Syariah, yang mengkritik penyembah berhala, Yahudi dan agama Kristian. Bahkan bila orang bertanya tentang Tuhan sebagai Jesus dalam Triniti dia menyebut dengan menunjukkan keheranan bagaimanakah orang kurus yang tinggi beberapa meter yang berlari-lari sekeliling negeri kerana dicari orang untuk dibunuh disebut sebagai Tuhan Yang mencipta alam?

Lagi pun kalaulah ada bait-bait lain yang menyebut tentang adanya pengalaman yang memberi fahaman bahawa sebenarnya tidak ada perbezaan pada peringkat tertinggi sekali dalam agama, itulah yang menyatupadukan kita, lalu difahami ia tokoh yang berbicara bahawa semua agama ada keabsahan, kita tersilap. Ini kerana, yang tokoh demikian maksudkan ialah itu bagi orang yang mencapai kehampiran dengan Tuhan pada tahap yang tertinggi –dalam mushahadah, dalam penyaksian rohaniah (atau spiritual witnessing); ia bukan merujuk kepada peringkat akal atau pengalaman biasa duniawi, ia bukan akidah. Maka kalau difahamkan bahawa itulah akidah beliau maka itu tersilap, sebab kalau akidah dia demikian mengapa pula ia menyebut kesalahan-kesalahan Yahudi, kesalahan Kristian dan penyembah berhala dengan akidah yang salah? Dan kalau kita teruskan lagi menyebut hal ini: apa ertinya mesej-mesej para nabi dan rasul dalam naratif Quran yang menentang kesyirikan, kekufuran dengan kepelbagaian bentuk dan rupanya, adakah kita menganggap mereka ‘tidak faham kesatuan agama’, kita sekarang yang memahaminya, mereka tidak, baharu sekarang kita “bertemu” dengan hakikat ini?

Dan mungkin ada orang yang datang dari kalangan Muslimin yang terpesona dengan gagasan pluralisme dalam erti ini teringin untuk menyebut Dante sebagai tokoh yang ‘mencapai’ erti pluralisme agama, mengatasi semua bentuk, yang mengedari ‘semuanya benar’ lalu menyebut baitnya yang bermaksud

“only when the waves of seductive greed are calmed and the human race rests free in the tranquillity of peace.”

[‘Hanya bila gelombang-gelombang sifat rakus diri didamaikan dan umat manusia berehat  dalam kebeningan dan kedamaian’.]

Tetapi kita perlu menyedari bahawa ajaran tentang mencapai kedamaian dalam diri dengan membebaskannya daripada kongkongan nafsu itu kebenaran yang sarwajagat, bila itu berlaku pada umat manusia dunia akan aman. Tetapi ini bukannya bukti untuk pandangan ‘semua agama adalah benar’, dan itu bukan pegangan Dante pun. Kalau demikian pegangan Dante mengapakah beliau, dalam ‘Divine Comedy’nya, dalam ‘Inferno’ meletakkan nabi Muhammad salla’Lahu ‘alaihi wa sallam dan Ali dalam neraka? Ia menyatakan nabi Muhammad sebagai ‘the chief of those who create schisms’? Ertinya dia menolak Islam, sebagaimana seorang paderi dalam program TV Larry King baru-baru ini menolak kebenaran Islam katanya mereka menyembah Tuhan yang salah! Agama mereka palsu! Jelas Dante bukan tokoh plurarisme agama dalam erti Hicks yang membicarakannya. Maka menyebut Dante dalam konteks pluralisme agama dalam erti Hicks adalah langsung tidak berkenaan.

Adakah boleh dikaitkan Dante yang membenci Islam dan nabi Muhammad dihubungkannya dengan tokoh-tokoh intelektuil dan rohani Islam termasuk al-Farabi atau ibn Rushd untuk membantu manusia berfikir tentang dunia yang perlu diamankan daripada konflik? Adakah ini caranya?

Nampaknya kata-kata Dalai Lama lebih munasabah dalam hal ini.

Orang yang terpengaruh dengan pluralisme agama seperti yang dihuraikan oleh Hicks mungkin berkata bahawa mengutamakan satu agama dalam sesebuah negara seperti menjadikan Islam sebagai agama persekutuan adalah bertentangan dengan semangat pluralisme agama, tetapi ini masih berlaku walaupun dalam demokrasi-demokrasi yang sudah teguh seperti di Eropah dan di Asia Barat dan Asia Tenggara. Dengan itu orang yang berfikir demikian mahu supaya isu asasi tentang kebebasan beragama perlu ditangani dengan disekalikan perbincangan itu dengan kebebasan dhamir atau ‘freedom of conscience’.

Pada kita Muslimin kalau seseorang itu mempunyai agama katakanlah agama Kristian yang yakin dengan kebenaran agamanya dan ia beramal dengan baik dan tidak mengganggu orang lain atau memudaratkan orang lain, maka itu diterima, walaupun agamanya berlainan dengan kita Muslimin. Di negara kita misalnya Islam adalah agama persekutuan tetapi sistem-sistem kepercayaan lain dibenarkan diamal dalam keadaan aman dan sejahtera (‘in peace and security’ tetapi jangan secara tidak aman dan tidak sejahtera).

Mereka yang terpengaruh dengan pluralisme agama dalam erti yang tersebut mungkin berpendapat bahawa apa juga agamanya seseorang itu, baik ia Islam, Kristian, Yahudi, Sikh, dan Hindu dan lain-lain lagi, mungkin mempercayai adanya kebenaran-kebenaran yang lebih tinggi (‘the higher truths’) yang mengatasi amalan-amalan lahiriah semata dan ibadat semuanya tertumpu kepada kebenaran yang satu: yakni kita semua dari Allah dan kepadaNya kita semua kembali. (Whatever the religion, whether it be Islam, Christianity, Judaism, Sikhism, Hinduism and many others, I believe that the higher truths which go beyond mere practice and ritual all converge on the singular truth: and that is from God we were sent forth and unto God shall we return).

Kalaulah pendirian yang demikian ini benar-menganggap sebagai jalan kebenaran di sisi Tuhan- maka perjuangan nabi Muhammad salla’Llahu ‘alaihi wa sallam mendepani agama penyembah berhala, agama Yahudi dan Kristian zamannya adalah tidak bererti lagi sebab semuanya tertumpu kepada kebenaran yang mengatasi bentuk-bentuk lahiriah itu. Ertinya Nabi Muhammad seolah-olah ‘tidak memahami kebenaran yang lebih tinggi’ itu, demikian juga Abu Bakar dan ‘Umar serta para sahabat lainnya. Allah meredhai mereka semuanya. Tidak pernah ada pernyataan sedemikian dalam tamadun Islam dan wacana intelektuil dan rohaniahnya. Yang disebut-sebut sedemikian berhubung dengan nama-nama seperti Ibn ‘Arabi dan Jalal al-Din Rumi, misalnya oleh Schuon dan yang sepertinya adalah perbuatan ‘menjual nama’ bukan berdasarkan hakikat yang sebenarnya. Ini boleh diperhatikan, katakanlah tentang ibn Arabi bahawa syahadahnya dalam awal ‘Futuhat’ adalah syahadah dalam akidah Ahli Sunnah wal-Jamaah, bukan “syahadah” “wahdatul wujud” yang disebut-sebut orang itu. Pencatit yang kerdil ini ada menterjemahkan syahadah wali Allah ini dalam membincangkan kontribusi Hamzah Fansuri dalam persuratan Melayu di Sibolga Sumatra tidak lama sebelum ini. Ini terjemahan syahadah itu, mungkin pertama kali, dalam bahasa Melayu.

Orang yang berfikir demikian mungkin membuat kenyataan bahawa penganjur-penganjur dalam agama-agama mungkin membuat pengakuan tentang benarnya agama mereka, dan tidak menyebut unsur-unsur yang menyatupadukan semua pihak. Dia mungkin berkata bahawa kalau kita boleh menerima perpaduan dalam kepelbagaian (unity in diversity) maka pluralisme agama menjadi tenaga yang menyatukan bukan yang memecahbelahkan. Mungkin padanya itulah jalan menuju cahaya mengelak kegelapan, jalan mengelak perang menuju kepada kedamaian dan keamanan, demikian seterusnya.

Masalah pada Muslimin yang berpegang kepada agamanya ialah pluralisme agama terletak atas asasi sangkaan pandangan yang bercanggah dengan Qur’an, Sunnah dan ijma’. Our’an datang mengajarkan kebenaran agama yang diajarkan para anbia, agama-agama yang berubah daripada yang asal itu tidak boleh kita ikuti, sebab ia bersalahan dengan ajaran tentang penasakhan agama dengan kedatangan Islam dalam wahyu dari Tuhan. Mereka, bagaimanapun, yang mengikut agama-agama mereka dengan baik, yang tidak menggangu kita, kita hidup aman dengan mereka, dan kita boleh berkerjasama dengan mereka dalam ‘commonality’ yang am seperti nabi saw dengan Orang Yahudi dan Kristian di Madinah itu. Ini diamalkan sehingga ke zaman kerajaan Othmaniah Turki dengan sistem ‘millet’nya. Ini juga berlaku di zaman kerajaan Andalusia di Sepanyol. Dan itulah yang menjadi pegangan kita; itulah yang kita yakini sebagai kebenaran. Mereka yang hendak berkongsi dengan kebenaran ini saudara kita, yang tidak memudaratkan kita, bahkan mereka hidup dengan aman damai, kita juga hidup dengan aman damai dengan mereka. Kita boleh menghormati nilai-nilai yang baik yang ada pada sistem-sistem kepercayaan (‘belief-systems’) lain tetapi pada kita agama yang diterima di sisi Allah adalah al-Islam dalam erti Islam yang dibawa oleh nabi salla’Llahu alaihi wa sallam, yang disebut dalam Qur’an, Sunnah dan ijma’ itu dengan perpanjangannya dalam wacana arusperdana umat Islam ini, bukan ‘islam’ yang ditakwil-takwil mengikut huraian peribadi berdasarkan kata kerjanya.

Maka kalau pihak yang terpengaruh dengan teori Hicks dan sepertinya dan berkata bahawa tidak kena Muslimin menolak nilai kebebasan bersuara (dalam erti Barat sekarang), kemerdekaan media, demokrasi (dalam acuan Barat secara totok), dan kemerdekaan dhamir, dan melihat budaya kepelbagaian agama sebagai percubaan untuk mencapai hegemoni, pada kita, yang tidak diterima ialah yang bercanggah dengan batasan-batasan syara’, tauhid, akhlak, dan kerohanian Islam. Aspek-aspeknya yang tidak bercanggahan dengan kita kita menerimanya; ertinya bukan menolak secara total dan bukan menerima secara total.Ini kerana panduan Islam adalah menyeluruh dan sepadu, bukan terpisah-pisah.Kalau ada kecurigaan terhadap konsep pluralisme Barat itu di kalangan Muslimin, itu ada alasannya, dengan kolonialismenya (lihat huraian Edward Said dalam ‘Culture and Imperialism’ dan ‘Orientalism’nya), kemudian sekarang globalisasi dengan kesannya parah ke atas Muslimin, kemudian falsafah pascamodernisme, yang membuahkan ‘Islam Liberal’ yang ditaja oleh mereka. Ini juga mengingatkan kita kepada Rand Corporation Report, Civil Democratic Islam laporan Cheryl Benard itu. Tetapi kita boleh terbuka dalam bertemu dengan mereka dalam ruang-ruang yang munasabah.

Kalau pihak yang berpendirian begini menggunakan nama-nama ulama terkenal, untuk ‘menjual’ konsep pluralisme ala Hicks itu kita merasakan kita perlu bercermat tentang hal ini dan melihat wacana ilmu Islam secara menyeluruh bukan dengan menebok-nebok bahagian tertentu kemudian membentangkannya seolah-olah ia mewakili sikap intelektuil Islam seluruhnya, misalnya hukum bila setengah fuqaha membuat keputusan memberi ruang kepada penganut system kepercayaan lain memutuskan hukum mengikut aturan agama mereka dalam amalan-amalan yang ‘ganjil’ seperti orang Zoroaster mengawini anak perempuannya sendiri atau yang sepertinya. Kita boleh menegaskan bahawa kita tidak tenang menerima konsep pluralisme agama dalam erti seperti yang dihuraikan oleh Hicks dan yang sepertinya kerana pada sisi wacana arusperdana Islam –yang menjadi neraca muktamad dalam umat-ini kezindikan dan kesyirikan bukan kebenaran dan tauhid.

Bila orang yang terlibat dalam pemikiran pluralisme cara Barat ini menyesali bagaimana orang Islam ‘terlupa’ kepada hikmat kebijaksanaan dalam kesarjanaan klasik Islam, maka  mungkin terlintas juga pada kalbu kita, tidak mungkinkah orang yang berkata demikian sebenarnya sudah ‘terlupa’ kepada kebijaksanaan itu, sebab itu ia memilih untuk menerima ‘pluralisme’ dalam erti mereka, dan tidak terus setia kepada wacana arusperdana umat ini yang dijamin oleh nabi salla’Llahu alaihi wa sallam akan kekal sehingga ke akhir zaman.Ini kerana keberadaan alam ini ialah kerana wacana ini dan manifestasi kebenarannya dalam hidup manusia. Kalau tidak ayat-ayat yang bermaksud ‘Tidak Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk beribadat kepadaKu [dalam Islam mengikut epistemology dan kebenaran arusperdananya’ dan ayat yang bermaksud ‘Dialah yang menjadikan tujuh lapis langit dan bumi seperti itu juga, maka turun Perintah antara itu semua supaya kamu mengetahui bahawa Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu dan bahawa Ia meliputi segalanya dalam ilmuNya’ dan ayat yang bermaksud ‘[berkait dengan  nabi Muhammad selamat di gua perlindungannya] supaya jadilah Kalimah Allah itu yang paling tinggi dan yang menentangnya paling rendah’ dan hadis sahih yang bermaksud ‘dunia ini akan kiamat bila tidak ada lagi orang yang menyebut ‘Allah’, ‘Allah,’ dan hadith yang menyebut tentang ‘kiamat berlaku bila semua manusia adalah sejahat-jahatnya’] [tidak ada lagi kebenaran hakiki yang diajarkan oleh para anbia dalam alam ini, maka alam ini hilanglah sebab bagi penerusan wujudnya. (Apa juga yang mungkin dikatakan oleh pascamodernisme dan fahaman-fahaman dari mereka seperti Hicks dan sebagainya).

Adapun tentang adanya konflik di kalangan umat manusia kerana keyakinan agama masing-masing, bila wajar, pada kita konflik umat manusia adalah perkara yang berlaku secara tabi’i, dunia dengan keadaannya sebagai dunia, bukan syurga jannatul firdaus. Kita mengelak konflik yang tidak perlu yang mesti dielakkan; tetapi kalau konflik itu dicetuskan oleh pihak lain untuk tujuan hegemoninya, kita perlu tangani dengan berkesan dan betul; kita tidak berkata bahawa oleh itu kebenaran pada kami adalah kebenaran, kebenaran yang ada pada anda adalah seperti kami, kelainan hanya sangkaan sempit yang tidak benar, timbul daripada kedangkalan akal, keadaan keladak pada roh, sebenarnya semuanya betul dan benar. Jangan kita berkelahi. Yang kita katakan ialah bahawa kebenaran itu kebenaran, dan pada kami kami yakin ada kebenaran, dan apa yang tidak benar adalah tidak benar, tapi kalau anda hendak berterusan dengan pandangan anda anda jangan ganggu kami dan mengatakan bahawa kebenaran yang ada pada kami tidak benar sebetulnya, yang sebetulnya semua benar. Kita katakan: bagi anda pegangan dan agama anda, bagi kami pegangan dan agama kami. Kalau kita bertujuan mengelak konflik lalu kita perkenalkan pluralisme hanya untuk mengelak konflik, itu ertinya kita membatalkan ajaran para anbia, rasul, ulama, mujtahidin, dan para mujjadid dalam umat ini; kita hendak meletakkan kebenaran di bawah peristiwa, bukan menghakimkan peristiwa mengikut kebenaran (we put history above truth and knowledge and not truth and knowledge above history).

Ajaran Quran ialah kita meletakkan ilmu dan kebenaran untuk menghakimkan sejarah bukan sebaliknya. Kita dengan pihak lain berhubung mengikut etika, dan kita mahu mereka berhubung dengan kita mengikut etika, dan kita berbeza pandangan dengan secara beretika, bukan dengan secara memaksa orang, termasuk memaksa ‘secara berwacana’, sebab itu terlarang, lainlah dengan ulil-amri dalam umat Islam, sebab mereka wajib kita taati selepas daripada Allah dan Rasul, melainkan dalam kemaksiatan dan kekufuran. Dijauhkan Allah. Kita tegaskan, kita berbeza pandangan dengan beretika, bukan dengan memperkenalkan ajaran kenisbian dalam ilmu dan kebenaran. Memperkenalkan pluralisme dan kenisbian dalam ilmu, kebenaran dan nilai hanya kerana hendak mengelak konflik, itu kebaculan intelektuil, rohani, moral, dan budaya; ia kemuflisan rohani dan kenaifan intelektui; maha suci Allah. Dunia adalah ‘negeri ujian’ bukan tempat memperkenalkan kenisbian dan pluralisme kerana mengelak konflik. Mereka yang memperjuangkan demokrasi secara falsafah sosial mutlak pun tidak ‘mencairkan’ demokrasi mutlak mereka untuk mengelak konflik dengan pihak lain. Mengapa kita diajar dan dipujuk untuk ‘mencairkan’ pegangan kita atas nama keabsahan kenisbian dan pluralisme? Maka dalam menegakkan kebenaran yang diredhai Allah dan Rasul kita teruji dalam hidup ini, kita redha, dan kita tidak berpegang kepada kenisbian dan pluralisme kebenaran hanya untuk mengelak konflik.

Kalaulah ada pihak yang sengaja berbicara tentang ‘clash of civilizations’ atau ‘pembenturan peradaban’ atau ‘pertentangan peradaban’ kita tidak perlu terperusuk ke dalam ‘lubang biawak’ itu (mengingatkan hadith Baginda s.a.w. tentang umat kita cenderung mengikut Ahlil-kitab sehingga memasuki lubang biawak [intelektuil] mereka), bagi kita umat manusia hendaklah dipandang dari segi kenal mengenali, memandang makhluk sebagai ‘hamba-hamba Tuhan’ baik di Timur atau di Barat, tetapi kita perlu berwaspada tentang kebenaran dan mengikutnya, serta berwaspada tentang kepalsuan dan jangan mengikutnya. Sikap kita bukan tertumpu kepada ‘orangnya’ tetapi kebenaran yang mesti dijadikan pegangan dan kepalsuan yang mesti dielakkan. Ini sedemikian penting sehingga ia wajib kita peringatkan diri tentangnya dalam bacaan sembahyang setiap rakaat. (ayat tentang mereka yang dikurniakan ni’mat dan mereka yang dimurkai Tuhan). Ma sha’Allah. Kita juga tidak memandang kepada label-label, ‘fundamentalis’kah, ‘moderate’kah, atau apa juga yang diberikan oleh pihak luar terhadap umat dan ahlinya, kita dikelas-kelaskan seperti makhluk yang dikaji dalam makmal, makmal budaya. Sebaliknya kita mesti menumpukan perhatian kepada kebenaran dalam umat yang disepakati, dengan menjaga khilaf-khilaf dalam bidang rantingnya. Kita selesaikan perbezaan, dengan beradab, mengikut ‘neraca [intelektuil dan rohani] yang betul’ (al-qistas al-mustaqim). Perbuatan label-melabel itu kita tinggalkan, kecuali ia bersesuaian dengan neraca intelektuil arusperdana umat. Inilah pendirian kita.

Tentang pengajaran daripada sejarah yang mesti dimanafaati , itu jelas dari ajaran Quran yang menyuruh manusia mendapat pengajaran daripada ‘hari-hari Allah’ yang menyebut kemenangan dan rahmat Ilahi bagi mereka yang mengikut kebenaran ajaran para anbia dan mengelak kepalsuan pihak yang menentang mereka. Sebab itu diajarkan supaya kita memberi peringatan tentang ‘hari-hari Allah’[4] dalam sejarah manusia. Demikian pula sejarah disebutkan kepada Nabi kita s.a.w. supaya baginda mendapat kekuatan hati dan keteguhan jiwa dengannya (لنثبت به فواءدك)[5].Kita tidak berbicara tentang sejarah dari segi kebebasan atau sebaliknya, sebab penekanan kita adalah ketundukan kepada Hukum dan kehendak Tuhan, sebab kita ‘khalifah’ dan ‘hamba’Nya. Bacaan sejarah sebagai ‘kebebasan’ atau ‘kehambaan’ itu bacaan pascamodernis atau bacaan liberalis, bukan bacaan secara panduan Quran, sunnah dan epistemologi arusperdana umat Muhammad ini. Maha suci Allah.

Kalau dipuji negara-negara tertentu, kerana Barat memujinya, dengan alasan ia mengamalkian ‘liberal demokrasi’ dan ia sudah berada pada ‘garis penghabisan’ berjaya, kita perlu ingat kepada fahaman memisahkan agama daripada hidup kemasyarakatan dan berkembangnya Islam yang menjadi khadam kepada falsafah pascamodernisme yang mengajarkan kepelbagaian kebenaran dan kenisbian nilai-nilai, yang semuanya menyanggahi Syariat Islam dan ajarannya tentang halal dan haram serta kebenaran dan kebatilan, pahala dan dosa. Adakah ini yang hendak dijayakan dalam negara kita yang berpegang kepada Quran dan hadith serta kefahaman tentangnya mengikut wacana dan epistemologi Sunni? Maha suci Allah. Ini mengingatkan kita kepada ajaran kaum zindik yang disebut-sebut zaman lampau dalam teks-teks Islam klasik yang masih relevan sekarang dan bila-bila sebab wacana asasi Sunni kekal sampai kiamat sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi s.a.w. dalam hadith sahih.

Kalau dalam senario semasa ada berlaku pihak yang memperjuangkan prinsip jihad kemudian itu diberi keabsahan untuk berlakunya keganasan, maka wajib diperhatikan bahawa ini tidak ada dalam takrifan jihad yang muktabar, yang cukup dengan syarat-syaratnya, yang melarang penyerangan atas mereka yang tidak berdosa, kanak-kanak dan wanita, yang melarang merosakkan gereja, tempat penyembahan agama Yahudi, dan seterusnya. Dan ini tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk sesiapa menerima pluralisme dalam erti bahawa kebenaran adalah nisbi, banyak, kalau tidak bacaan fatihah dalam sembahyang dan dalam wacana Islam tidak ada makna, sebab kita diperintah mengikut ‘al-sirat al-mustaqim’ dan mengelak ajaran dan jalan mereka yang dimurkai Allah dan jalan mereka yang sesat (المغضوب عليهم ولا الضالين) .Dan jihad dalam erti yang sahih dengan syarat-syaratnya tidak terbatal. Ia terus ada dan menjadi kewajipan bila cukup syarat-syaratnya dan kita berupaya mengamalkannya. Mungkin bagi mereka yang berpegang kepada pluralisme dalam erti yang batil menganggap jihad terhapus, hukum Tuhan terhapus (pada golongan Islam liberal ‘hukum Tuhan’ tidak ada). Dijauhkan Allah.

Kalau disebutkan bahawa dalam agama Islam kebebasan berupa satu daripada matlamat-matlamat yang lebih tinggi, kemudian disebutkan bahawa ia sama dengan apa yang ada dalam sebuah demokrasi berperlembagaan, dengan kebebasan dhamir atau ‘conscience’ manusia, kebebasan untuk menyuarakan penentangan terhadap penindasan, atau seruan kepada perbaikan dan hak atas harta, itu semua tidak boleh disamakan dengan pluralisme yang dicanangkan oleh setengah pihak yang merancang untuk kepentingan hegemoni mereka. Amalan demokrasi dalam Islam wajib taat kepada peraturan syara’ tentang halal dan haram, kebebasan dhamir atau ‘freedom of conscience’ bukan bererti sama dengan yang ditafsirkan dalam ‘The First Amendment’ bagi perlembagaan Amerika Syarikat kerana kita terpandu oleh tuntutan wahyu dalam Quran dan tuntutan sunnah nabi dalam hadith yang menyuruh kita menerima Islam sebagai kebenaran yang berdiri sebagai mewakili kebenaran agama Islam yang diajar kepada semua anbia dalam sejarah manusia. Oleh itu dhamir orang yang beriman wajib tunduk kepada tuntutan fitrah ini; yang lain mesti dielakkan sebab itu terlarang. Perlu diingatkan lagi: kebebasan dalam Islam tertakluk di bawah ajaran Allah dan Rasul bukan boleh mengikut falsafah pascamodernisme yang mengajar kebenaran yang pelbagai (‘multiple truths’); kalau demikian seruan para nabi sebagaimana yang ada dalam Quran tidak bermakna apa-apa lagi.

Akhirnya, prinsipnya kita mesti kembali kepada wacana arusperdana umat khaira ummatin ukhrijat linnas, yang hakikatnya, tidak ada wacana yang mengatasi kebenaranannya, apapun yang dikatakan oleh pihak postmodernis, Islam liberalis, pluralis agama, pihak perennalists, dan sesiapapun yang seperti mereka. Tetapi kita kena mengetahui perbezaan-perbezaan, persamaan-persamaan, dengan beradab, berdisiplin, menghormati orang lain, dalam batasan-batasan yang wajar. Dari Allah kita datang kepadaNya kita kembali.

Wallahu a’lam. Selawat dan salam kepada baginda, ahli keluarganya dan para sahabatnya, dan semua mereka yang mengikutnya dalam ihsan hingga ke hari penghabisan.Segala puji-pujian tertentu bagi Tuhan Pentadbir sekelian alam.

Sumber-sumber rujukan antaranya:

  1. Abdul Rashid Moten ,”Religious Pluralism in Democratic Societies: Challenges and Prospects for Southeast Asia, Europe, and the United States in the New Millennium”. Contemporary Southeast Asia.Journal Volume: 29. Issue: 1.  2007. pp 204 ff,2007 Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS)
  2. Brad Stetson ,Pluralism and Particularity in Religious Belief.  Praeger Publishers. Westport , CT. 1994
  3. Jeannine Hill Fletcher ,Article  Religious Pluralism in an Era of Globalization: The Making of Modern Religious Identity”. Journal : Theological Studies. Volume: 69. Issue: 2. , 2008.pp. 394 ff.
  4. J. Gordon Melton ,Article : “Religious Pluralism: Problems and Prospects” Journal: Brigham Young University Law Review. Volume: 2001. Issue: 2. , 2001.
  5. Jung H. Lee ,Article : “Problems of Religious Pluralism: a Zen Critique of John Hick’s Ontological Monomorphism” Journal: Philosophy East & West. Volume: 48. Issue: 3. Publication Year: 1998.p. 453+.
  6. Lucas Swaine ,The Liberal Conscience: Politics and Principle in a World of Religious Pluralism. Columbia University Press. New York .  2006.
  7. Michael Jinkins –  Christianity, Tolerance, and Pluralism: A Theological Engagement with Isaiah Berlin ‘s Social Theory. Routledge. New York .  2004.
  8. Peter G. Danchin – editor, Elizabeth A. Cole – editor, Protecting the Human Rights of Religious Minorities in Eastern Europe . Columbia University Press.  New York .  2002.
  9. Richard E. Wentz, The Culture of Religious Pluralism , Westview Press, 1998
  10. Richard Hughes Seager edit. with the assistance of Foreword by Ronald R. Kidd Diana L. Eck ,The Dawn of Religious Pluralism
    Voices from the World’s Parliament of Religions, 1893 ,published in Association with The Council for a Parliament of the World’s Religions
  11. S. Wesley Ariarajah, “Kenneth Cracknell, in Good and Generous Faith: Christian Response to Religious Pluralism”. Journal The Ecumenical Review. Volume: 58. Issue: 3-4. 2006.pp 400ff
  12. William C. Allen “Stephen Kaplan, Different Paths, Different Summits: A Model for Religious Pluralism”, Journal of Ecumenical Studies. Volume: 41. Issue: 1. , 2004. p 102.
  13. Harvard Pluralism project: http://www.pluralism.org/articles/eck_1993_challenge_of_pluralism?from=articles_index

[1] http://www.pluralism.org

[2] Quran Surah al-Hujurat: 13.

[3] Pluralism dalam OED yang terbesar itu ialah:no 4 ialah: The presence or tolerance of a diversity of ethnic or cultural groups within a society or state; (the advocacy of) toleration or acceptance of the coexistence of differing views, values, cultures, etc.

1924 H. KALLEN Culture & Democracy in U.S. 43 Cultural growth is founded upon Cultural Pluralism. Cultural Pluralism is possible only in a democratic society whose institutions encourage individuality in groups, in persons, [and] in temperaments. 1969 Guardian 20 Sept. 4/4 A good deal of discussion at the conference..has been about pluralism as opposed to assimilation. 1976 Times 7 Aug. 14/4 To be in favour of pluralism is to declare that one does not intend to hound or persecute theologians or catechists whose expression of faith differs from your own. 1995 N.Y. Rev. Bks. 19 Oct. 30/1 The institutions and practices of liberalism are likely to open public space to previously repressed and invisible groups, turning a merely theoretical or potential pluralism into an actual on-the-ground pluralism.

[4] Ayat bermaksud ‘Berilah peringatan kepada mereka tentang hari-hari Allah’, Surah Ibrahim:5.

[5] Al-Furqan:”32.

Ciri-ciri Fahaman Pluralisme Agama

Kertas ini adalah salah satu dari yang dibentangkan semasa Wacana Fahaman Pluralisme Agama dan Implikasinya Terhadap Masyarakat Islam:

Ciri-ciri Fahaman Pluralisme Agama[1]

Dr. Anis Malik Thoha

Perdebatan dan kontroversi tentang masalah Pluralisme kembali menghangat di Indonesia. Meskipun masalah ini sudah banyak ditulis dan didiskusikan, pro-kontra itu terus saja berlangsung. Dalam mencermati hiruk-pikuk wacana “Pluralisme” pada umumnya, dan “Pluralisme Agama” khususnya, yang tengah marak di rantau kita pada dasawarsa pertama abad ke-21 ini; pun juga dalam berbagai kesempatan mengisi berbagai workshop, seminar dan konferensi, khusus mengenai isu dan wacana tersebut, saya merasa gamang, ada sesuatu yang sangat mengusik nalar kesadaran.

Bagaimana tidak? Wacana ini sudah sedemikian melebar dan meluas, serta merambah ke berbagai ranah, dan disahami oleh berbagai kalangan – mulai dari politisi, budayawan, agamawan sampai akademik, tapi topik utama yang diwacanakan ini nyaris tidak pernah benar-benar diupayakan pendefinisiannya secara teknis atau sesuai dengan yang dimaksudkan oleh para ahlinya. Padahal inilah langkah metodologis awal yang mesti dilakukan oleh siapa pun yang interest dan berkepentingan dengan isu ini. Lebih dari itu, sebetulnya masalah ini adalah masalah tuntutan logis belaka yang niscaya, yang jika diabaikan maka secara tak terhindarkan akan menciptakan tidak saja kerancuan atau kebingungan (confusion), tapi juga pada akhirnya mengaburkan dan bahkan menyesatkan (misleading).

Para ulama kita terdahulu dari berbagai bidang dan disiplin ilmu ternyata sangat peka dan menyadari betapa krusialnya problem definisi ini sebelum mereka mengupas bahasan-bahasan di bidang masing-masing secara detail. Para fuqaha’, misalnya, begitu sistematis dalam mengupas masalah-masalah fiqh, dimulai dengan definisi-definisi yang gamblang secara lughawy maupun teknisnya: apa itu taharah, wudhu, tayammum, mandi, dsb. Tapi sayang sekali, dewasa ini model dan tradisi semacam ini tampak banyak ditinggalkan oleh kalangan kita, khususnya dalam hal berwacana Pluralisme Agama.

Entah karena sebab oversight atau apa, yang jelas pada hakekatnya tidak banyak di kalangan kita yang mencoba mengerti atau memahami, apalagi mempersoalkan problem definisi ini dengan betul dan bijak. Seakan-akan istilah Pluralisme Agama ini sudah cukup jelas dan, oleh karenanya, boleh taken for granted. Padahal, istilah “pluralisme” itu jelas-jelas istilah (baca: ideology/ajaran) pendatang yang merangsek ke alam sadar dan di-bawah-sadar kita bersama-sama dengan istilah-istilah dan ideologi-ideologi asing yang lain, seperti democracy, humanism, liberalism, dsb. yang tentu saja tidak bisa kita maknai seenak kita atau menurut “selera” dan asumsi kita.

Secara umum dapat dikatakan bahwa kebanyakan orang yang ditokohkan di kalangan kita beranggapan secara simplistis bahwa “pluralisme = toleransi”, dan “pluralisme agama = toleransi agama”. Fakta ini dapat dilihat daripada ingar-bingarnya reaksi dan respons yang cenderung “emosional” terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dikeluarkan pada tahun 2005 tentang hukum haramnya Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme (atau yang dikenal dengan SIPILIS), dan juga terhadap resolusi Muzakarah Ulama Se-Malaysia, 2006, di Negeri Perak, Malaysia, yang dibacakan oleh Mufti Perak, Datuk Dr. Harussani, yang menegaskan hukum yang sama dengan fatwa MUI.

Yang menyedihkan, anggapan atau asumsi simplistik ini tidak hanya terbatas pada kalangan “awam” (yang memang tak terdidik secara akademis dalam bidang ini), tapi hatta kalangan para tokoh atau yang ditokohkan yang memang spesialisasi akademiknya di bidang ini pun tampak begitu over-confident dengan pemahamannya yang simplistic tadi.

Salah satu contoh yang paling konkrit adalah sebuah Disertasi Doktor  di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, yang kemudian diterbitkan pada awal tahun 2009 yang lalu dengan judul Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an. Dalam buku ini tak nampak ada upaya yang serius dari pengarangnya untuk mendiskusikan definisi teori atau faham Pluralisme Agama yang menjadi topik utama bahasannya, malah terjebak pada pengertian yang keliru dan mengelirukan di atas tadi. Pembaca yang cermat tidak perlu bersusah-payah melongok kedalamnya, dari judul saja sudah cukup untuk mengetahui apa gerangan yang dimaksudkan oleh pengarangnya tentang faham Pluralisme Agama ini, yang tiada lain adalah “toleransi agama”. Fatal!

Tapi meskipun demikian, anehnya buku ini mendapat sambutan yang luar biasa oleh media massa kita, dan juga sanjungan dan pujian yang sangat berlebihan dari sederet nama orang-orang yang ditokohkan di masyakarat Indonesia dengan latar-belakang yang beragam yang jumlahnya lebih dari selusin. Hal ini semakin membuktikan betapa kacaunya dunia pemikiran dan akademik di kalangan kita.

Anggapan bahwa “pluralisme agama = toleransi agama” adalah anggapan subyektif yang jelas-jelas ditolak oleh para pakar dan penganjur pluralisme sendiri. Diana L. Eck, direktur The Pluralism Project di Universiti Harvard, Amerika Syarikat, misalnya, dalam penjelasan resminya yang berjudul “What is Pluralism?” dan diulangi dalam “From Diversity to Pluralism”,[2] menyuguhkan empat karakteristik utama untuk mendefinisikan sosok fahaman/ajaran ini secara detail. Dia menyatakan:

Here are four points to begin our thinking:

  • First, pluralism is not diversity alone, but the energetic engagement with diversity. Diversity can and has meant the creation of religious ghettoes with little traffic between or among them. Today, religious diversity is a given, but pluralism is not a given; it is an achievement. Mere diversity without real encounter and relationship will yield increasing tensions in our societies.
  • Second, pluralism is not just tolerance, but the active seeking of understanding across lines of difference. Tolerance is a necessary public virtue, but it does not require Christians and Muslims, Hindus, Jews, and ardent secularists to know anything about one another. Tolerance is too thin a foundation for a world of religious difference and proximity. It does nothing to remove our ignorance of one another, and leaves in place the stereotype, the half-truth, the fears that underlie old patterns of division and violence. In the world in which we live today, our ignorance of one another will be increasingly costly.
  • Third, pluralism is not relativism, but the encounter of commitments. The new paradigm of pluralism does not require us to leave our identities and our commitments behind, for pluralism is the encounter of commitments. It means holding our deepest differences, even our religious differences, not in isolation, but in relationship to one another.
  • Fourth, pluralism is based on dialogue. The language of pluralism is that of dialogue and encounter, give and take, criticism and self-criticism. Dialogue means both speaking and listening, and that process reveals both common understandings and real differences. Dialogue does not mean everyone at the “table” will agree with one another. Pluralism involves the commitment to being at the table — with one’s commitments.

Keempat-empat karakteristik yang diberikan oleh Diana L. Eck ini sudah sangat jelas atau self-explanatory. Tapi dalam essay pendek ini, rasanya perlu sedikit mengulas poin kedua dan ketiga.

Eck menyatakan dalam poin kedua bahwa: “pluralism is not just tolerance,” yang bermakna “pluralisme bukanlah sekedar toleransi.” Pernyataan yang lebih kurang sama juga dia sampaikan dalam keynote addressnya yang berjudul “A New Religious America: Managing Religious Diversity in a Democracy: Challenges and Prospects for the 21st Century” pada MAAS International Conference on Religious Pluralism in Democratic Societies, di Kuala Lumpur, Malaysia, Agustus 20-21, 2002. Lebih lanjut ia berkata dalam keynote addressnya:

I would propose that pluralism goes beyond mere tolerance to the active attempt to understand the other… Although tolerance is no doubt a step forward from intolerance, it does not require new neighbors to know anything about one another. Tolerance comes from a position of strength. I can tolerate many minorities if I am in power, but if I myself am a member of a small minority, what does tolerance mean? … a truly pluralist society will need to move beyond tolerance toward constructive understanding… Tolerance can create a climate of restraint, but not a climate of understanding. Tolerance is far too fragile a foundation for a religiously complex society, and in the world in which we live today, our ignorance of one another will be increasingly costly. (penegasan dari penulis)

Jadi sangat jelas sekali apa yang dimaksudkan dengan pluralisme oleh kaum pluralis sejati. Mereka tidak mengingkari pentingnya toleransi, “There is no question that tolerance is important,” kata Eck dalam makalahnya yang lain (“From Diversity to Pluralism”), tapi segera setelah itu ia tambahkan: “but tolerance by itself may be a deceptive virtue” (tetapi toleransi itu sendiri boleh jadi menjadi suatu budi-pekerti/kebaikan yang menipu). Pandangan miring terhadap toleransi ini sebetulnya sudah mulai dilantunkan kalangan pemikir pluralis semenjak tahun 60-an pada abad ke-20 yang lalu.

Sebut saja, misalnya, Albert Dondeyne yang dalam bukunya, Faith and the World, yang terbit di Dublin oleh Gill and Son pada tahun 1963, menulis: “Let us note that was what then called tolerance would be considered today as the expression of systematic intolerance. In other words, tolerance was then almost synonymous with moderate intolerance.” (Mari kita catat bahwa apa yang dahulu dinamakan toleransi, kini telah dianggap sebagai sebuah ekspresi ketidaktoleranan yang sistematis. Dalam istilah lain, toleransi dengan begitu hampir sinonim dengan intoleransi yang moderat).[3]

Bahkan sebelumnya Arnold Toynbee, seorang sejarawan Inggris terkemuka, dalam bukunya, An Historian’s Approach to Religion, yang terbit di London oleh Oxford University Press, tahun 1956, sudah mewanti-wanti bahwa “toleransi tidak akan memiliki arti yang positif,” bahkan “tidak sempurna dan hakiki, kecuali apabila manifestasinya berubah menjadi kecintaan.”[4]

Yang perlu digaris-bawahi di sini adalah bahwa bagi kalangan pluralis sejati, Pluralisme pada umumnya dan Pluralisme Agama pada khususnya bukanlah sekadar toleransi belaka, sebagaimana yang jamak di(salah)fahami oleh kalangan pentaklid pluralis. Penekanan Pluralisme lebih pada “kesamaan” atau “kesetaraan” (equality) dalam segala hal, termasuk “beragama”. Setiap pemeluk agama harus memandang sama pada semua agama dan pemeluknya. Oleh kerananya, sejatinya pandangan ini pada akhirnya akan menggerus konsep keyakinan “iman-kufur”, “tawhid-syirik”, dalam sangat sentral dalam agama Islam.

Sedangkan poin ketiga, “pluralism is not relativism, but the encounter of commitments,” penulis terus terang merasa gagal untuk dapat memahaminya dengan baik. Poin ini sebetulnya juga sudah lebih dahulu dinyatakan secar argumentative oleh John Hick, salah seorang “nabi” pluralism, dalam bukunya The Rainbow of Faiths, untuk merespons tuduhan relativisme ajaran pluralism agamanya yang diangkat oleh para pengkritiknya. Tapi saying sekali respons ini terasa hambar.[5] Begitu juga pernyataan Diana Eck, meskipun ia kemudian berusaha memberikan penjelasan bahwa: “The new paradigm of pluralism does not require us to leave our identities and our commitments behind, for pluralism is the encounter of commitments,” namun poin ini justru semakin kabur atau bahkan bercanggah dengan poin pertama. Sebab, bagi seorang beragama (apa pun agamanya), identiti dan komitmennya adalah terletak pada “keimanan akan kebenaran tunggal dan absolute agamanya”. Dalam berinteraksi atau berdepan (encounter), atau membangun hubungan, dengan pemeluk agama lain, ianya akan selalu committed pada prinsip keyakinannya tadi dan tak akan pernah kompromi atau merelatifkannya. Tetapi pertanyaan yang berbangkit kemudian adalah, pada level keyakinan, apakah mungkin seseorang yang committed memegang teguh keyakinannya yang absolute, akan dapat mengakui/menerima kebenaran agama lain? Atau dengan kata lain, apakah mungkin seseorang yang committed memegang teguh keyakinannya yang absolute akan dapat mengakui/menerima bahwa “semua agama adalah valid dan otentik”, sebagaimana yang diajarkan oleh, misalnya, John Hick?[6]

Berdasarkan penalaran seperti ini, saya berpendapat, yang ternyata banyak juga para peneliti/penulis berpendapat seperti saya, bahwa “pluralisme = relativisme”, sebab kesimpulan bahwa “semua agama adalah sama, valid dan otentik” tidak mungkin atau mustahil dapat tercapai tanpa didahului proses relitivisasi dan reduksionisasi agama-agama.[7]

Memang sedari awal konsep/fahaman/ajaran pluralisme agama ini sudah tampak jelas berbenturan dengan akal dan logika sehat, maka argumen apa pun yang dikembangkan untuk menyokongnya akan semakin menambah dan memperjelas kerancuannya.

Dari paparan ringkas ini dapat disarikan bahwa pluralisme agama sebetulnya adalah ajaran demokrasi dalam beragama yang lebih menitik-beratkan pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Sebab secara nasab, pluralism agama ini adalah “anak sah” yang terlahir dari “rahim” demokrasi. Oleh kerananya, secara geneologis pluralisme agama ini secara otomatis dan tak-terhindarkan mewarisi watak dan karakter demokrasi; diantaranya yang paling kentara dan menonjol adalah:

  1. Kesetaraan atau persamaan (equality). Ajaran pluralisme agama mengajarkan semua agama sama dan setara, tak ada yang paling baik dan tak ada yang paling buruk.
  2. Liberalisme atau kebebasan. Ajaran pluralisme agama mengajarkan hak kebebasan beragama, dalam arti keluar-masuk agama. Hari ini seseorang boleh menjadi Muslim, esok menjadi Kristen, esok lusa menjadi Hindu, dan seterusnya.
  3. Relativisme. Sebetulnya ini adalah implikasi dari kedua watak yang sebelumnya. Ajaran pluralisme agama mengajarkan kebenaran agama relative.
  4. Reduksionisme. Untuk sampai kepada kesetaraan atau persamaan, ajaran pluralisme agama telah meredusir jati-diri atau identiti agama-agama menjadi entiti yang lebih sempit dan kecil, yakni sebagi urusan pribadi (private affairs). Dengan kata lain pluralism agama itu berwatak sekular.
  5. Eksklusivisme. Ramai orang yang gagal mengidentifikasi dan memahami watak atau ciri yang satu ini. Hal ini disebabkan selama ini ajaran pluralisme agama ini diwar-warkan sebagai anti-eksklusivisme. Ia sering menyuguhkan dirinya sebagai ajaran yang “tampak” ramah dan sangat menghormati ke-berbedaan (the otherness) dan menjunjung tinggi kebebasan. Tapi pada hakikatnya, dia sebetulnya telah merampas kebebasan pihak lain dan menginjak-injak serta memberangus ke-berbedaan, apabila dia mendeklarasikan-diri sebagai pemberi tafsir/teori/ajaran tentang kemajemukan/keberagaman/keberbagaian agama-agama yang absolute benar, i.e., “bahwa semua agama sama.” Jadi sesungguhnya ia telah merampas dan menelanjangi agama-agama dari kleim kebenaran absolute-nya masing-masing untuk kemudian dimiliki dan dimonopoli oleh dirinya sendiri secara eksklusif.

Barangkali inilah ciri-ciri utama yang menonjol yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi atau mengenal-pasti sosok ajaran pluralisme agama, sehingga kita tidak keliru memahaminya dan tidak terjebak dalam ketersesatan akibat ke-tidak-tahuan yang kita ciptakan sendiri.

Kerana itu, memang umat Islam harus sangat berhati-hati dalam mengadopsi satu istilah atau fahaman yang jika tidak berhati-hati akan dapat merusak keimanannya sendiri. Islam – sejak awal kelahirannya – sudah memiliki konsep yang jelas bagaimana memandang agama lain dan bagaimana berhubungan dengan pemeluk agama lain. Seharusnya konsep inilah yang digali dan dikembangkan, bukan justru mengadopsi konsep yang lahir dari masyarakat yang selama ratusan tahun tidak mengakui, bahkan menindas keberagaman (pluralitas).


[1] Makalah ini disampaikan dalam symposium Wacana Fahaman Pluralisme Agama dan Implikasinya Terhadap Masyarakat Islam, anjuran bersama Pertubuhan Muafakat Sejahtera Masyarakat Malaysia (MUAFAKAT) dan Himpunan Keilmuan Muda (HAKIM) dengan kerjasama Jabatan Agama Islam Selangor (JAIS), pada hari Sabtu, 1 Mei 2010, bertempat di Conference Hall, Tingkat 3, Kulliyyah Ekonomi UIAM, Gombak.

[2] Masing-masing dapat diakses dan dibaca pada link berikut:  http://pluralism.org/pluralism/what_is_pluralism.php; dan http://pluralism.org/pluralism/essays/from_diversity_to_pluralism.php),

[3] Albert Dondeyne, Faith and the World (Dublin: Gill and Son, 1963), hal. 231.

[4] Arnold Toynbee, An Historian’s Approach to Religion (London: Oxford University Press, 1956), hal. 251.

[5] John Hick, The Rainbow of Faiths (London: SCM Press, 1995), hal. 50ff.

[6] Lihat John Hick, The Fifth Dimension (Oxford: One World, 2004), hal. 10, 77-79; dan bukunya, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent (London: Macmillan, [1989] reprinted 1991), hal. 247.

[7] Lihat analisis lebih lanjut dalam Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama:Tinjauan Kritis (Jakarta: Perspektif GIP, 2005).